4 Mimpi Buruk

"Terpaksa, Yit. Aku tidak bisa meninggalkan kamu sendirian untuk saat ini. Percayalah, aku tidak akan melakukan apa pun kepadamu."

Yita segera menggeleng. "Maaf … tadinya aku sempat meragukan. Aku hanya sedang kacau. Aku lupa kalau sudah bersamamu, Ka."

Dika mengangguk paham. "Silakan istirahat, Yit."

"Tapi pakaianku basah." Yita melepas jaket Dika, lalu meletakkan pada kursi yang tersedia di dekat ranjang. Ada sebuah nakas kecil di depannya. Tempat ini benar-benar penginapan kelas melati. Murah dan tak terlalu banyak fasilitas.

Dika melirik sebuah lemari kecil di dekat jendela. Semoga saja ia bisa menemukan sesuatu yang dapat dikenakan oleh Yita malam ini.

Ada dua buah handuk berwarna putih, kemudian sepasang manik matanya juga menatap sebuah pakaian tidur wanita menggantung di hanger. Dika meraihnya.

'Ini terlalu seksi dan menerawang," bisik pemuda itu di dalam hati.

Dika kembali meletakkan pakaian itu pada tempatnya. Ia lantas mengambil dua handuk yang terletak pada tingkatan teratas lemari.

"Ini Yit, keringkan saja badanmu dengan handuk ini." Dika mengulurkannya ke arah Yita yang masih berdiri di sisi ranjang.

Gadis itu lantas meraihnya. Ia berjalan ke arah jendela. Menyibak sedikit gorden. Tadi di luar sana, cukup banyak kendaraan roda empat yang terparkir. Mestilah sedang banyak orang yang menginap di sini. Apa yang sedang mereka lakukan di tengah hujan yang kian deras ini? Tidak ada satu pun yang terlihat berdiri di teras kamar. Apa karena takut terkena tempias hujan? Atau mereka justru sedang menyibukkan diri dengan hal kotor bersama pasangan illegalnya.

Yita menyadari dirinya saat ini juga tengah bersama dengan Dika. Namun, mereka bukanlah pasangan. Tidak mungkin melakukan perbuatan itu.

"Apa yang kamu pikirkan?"

Dika mengejutkan Yita dari lamunan panjangnya. Gadis itu lantas menoleh. Cahaya lampu yang tidak terlalu terang, membuat redup di wajah manis tersebut sedikit tersamarkan.

"Bagaimana kamu bisa menemukanku?" tanyanya kepada Dika.

*

Dika lantas menceritakan semuanya. Di saat ia tak sengaja melewati rumah Yita, ketika hendak pulang ke kos-an. Pemuda itu menghentikan sepeda motor tak jauh dari rumah gadis itu. Ia lantas masuk melalui pagar yang terbuka setengah. Kemudian terus melangkah menuju kedai milik Anindya.

Dika terkejut mendapati Anin sudah memegang sebilah pisau yang berdarah-darah. Tiga sosok lelaki sudah bersimbah darah, mereka mati tergolek di lantai.

"Dika, pergi temukan Yita, tolong selamatkan dia."

Anindya berujar saat melihat sahabat anaknya berdiri di dekat etalase dengan bola mata yang melotot.

Tanpa pikir panjang, pemuda itu pun pergi sebelum ada warga yang melihatnya. Dika memacu kendaraan kencang. Hanya satu yang terpikir, Yita pasti akan ke makam ayahnya. Beruntung sekali, tebakannya tidak meleset sedikit pun.

*

"Aku menemukanmu berkat instingku sendiri. Dan helm ini, memang sudah kubawa karena sebelumnya sempat pergi bersama teman."

Yita mengangguk pelan.

"Teman?" tanyanya terdengar putus asa. Ia tidak mengerti dengan perasaan yang ada di hati. Namun, jika mendengar Dika pergi bersama 'teman' yang sudah pasti perempuan, dadanya selalu saja bergemuruh. Apakah ia seposesif itu sebagai seorang sahabat? Bukankah Dika berhak jalan bersama yang lain? Tak melulu dengan dirinya.

Dika memilih tak menanggapi. Saat ini, yang terpenting adalah kondisi Yita sudah mulai membaik. Tubuhnya yang dibaluti pakaian yang masih lembab, tak terlihat bergetar seperti tadi.

"Tidurlah, Yit. Aku akan duduk di kursi itu saja. Aku bisa tidur dalam posisi apa pun."

Dika meraih kepala kursi, lalu menariknya mendekat ke arah jendela.

"Terima kasih, Ka. Kau selalu ada untukku."

"Welcome. Itulah gunanya sahabat."

YIta kemudian naik ke atas ranjang. Ia tak pasti akan bisa tidur dengan pakaian yang lembab begitu. Akan tetapi, semua harus dilakukan, saat ini kondisinya sedang darurat. Tubuhnya lelah, butuh istirahat.

Dalam tidur, Yita gelisah. Tangannya menggapai-gapai ke atas. Lalu beberapa detik kemudian, diturunkan lagi. Dika sering terjaga karenanya.

Gadis itu terus mengigau. Ia bermimpi buruk. Beberapa kali terdengar mengumpat, lalu ketakutan, kemudian menangis.

"Yita."

Pelan, Dika menepuk pipi sahabatnya. Yita pun membuka mata. Ia langsung menghela napas panjang, lalu mengembuskannya pelan, saat mendapati wajah Dika di depan mata.

"Pukul berapa, Ka?" tanyanya setelah itu.

"Baru pukul dua malam. Apa kamu baik-baik saja?"

Yita mengangguk. Ia mengusap wajah beberapa kali. "Aku bermimpi buruk."

"Ya, aku akan mengawasimu terus. Tenanglah. Pejamkan saja matamu. Kau aman bersamaku." Dika mengusap kepala Yita, lembut. Ia paham betul, bahwa saat ini tak mudah bagi gadis itu untuk menjadi tenang. Yita pasti dihantui bayangan kematian tiga pria yang telah ditusuknya dengan keji.

"Jangan sampai ada orang lain yang tahu, kalau yang melakukan semua ini adalah Yita, Dika."

Dika kembali ingat permintaan Anindya sebelum langkah kakinya meninggalkan kediaman Yita. Sepercaya itu Anin kepadanya.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter