3 Melarikan Diri

Gelap, Yita berlari di tengah kelam yang kian mengaburkan pandangan. Entah apa yang telah ditubruknya, hingga gadis itu terjatuh. Ia segera berdiri, lalu kakinya tersandung sesuatu menyebabkannya tersungkur di atas tanah yang berkerikil serta terdapat ranting-ranting pohon yang bertebaran. Napas Yita terus memburu, ketakutan kian merayapi diri. Segala macam pikiran buruk sudah bersarang di dalam kepala.

Yita kembali bangkit. Ia terus berlari melewati pepohonan. Ini bukan rimba, hanya semak belukar yang berada tak jauh dari kawasan rumah di pinggiran kota. Gadis itu mengayun langkah kian menjauh. TIdak ada bintang di langit sana, bahkan rembulan pun hanya terlihat sedikit saja semburatnya. Malam yang gulita mengantarkan Yita pada takdir baru yang tak bisa dielakkan lagi.

Entah sudah sejauh apa Yita berlari, hingga ia sampai di jalanan beraspal. Ia yakin jalan ini bisa mengantarnya pada lokasi pemakaman Teja, sang ayah.

"Ayah."

Yita menangis menatap sekitar. Tak ada satu kendaraan pun yang lewat. Di satu sisi gadis itu merasa lega, sebab ia tidak dalam keadaan baik-baik saja. Bercak darah di bagian wajah dan pakaiannya tak sempat dibersihkan. Ia takut ada orang yang melihat kondisinya saat ini.

Yita bahkan menghindari berdiri di bawah lampu jalan, supaya benar-benar tidak ada yang bisa melihat keberadaannya di sana. Gadis itu menahan isakan dengan menggigit pergelangan tangan. Sementara air mata yang menjatuhi pipi secara berduyun-duyun telah mampu membuktikan, betapa tangisannya begitu hebat.

"Ayah, Bunda, Ina. Maafkan Yita," gumamnya sembari menjatuhkan diri di atas rerumputan liar. Ia terduduk, kaki itu seolah tak kuat menumpu tubuh yang tengah memikul beban teramat berat.

Lampu sorot sebuah sepeda motor mengenai raga Yita yang masih bersimpuh di atas rumput. Gadis itu tersentak. Ia seketika mencari tempat persembunyian, tetapi sebuah tangan sudah lebih dulu meraih lengannya. Tubuh kurus gadis itu ditarik agar berdiri, lalu wajahnya dibenamkan ke dada sesosok yang menemukannya.

"Tenang, ini aku, Dika."

Mendengar nama tersebut, Yita pun refleks mengangkat kedua tangan lalu melilitkan di belakang punggung Dika, sahabatnya.

"Aku takut, Ka. Takut sekali."

Dika mengangguk. Pemuda itu bisa merasakan tubuh Yita yang gemetar di dalam dekapannya.

"Ikut denganku. Kita akan pergi menjauh."

Dika melepaskan pelukan, lalu menarik Yita agar naik ke atas sepeda motor sport miliknya. Tak lupa sebuah helm juga dipasangkan ke kepala Yita.

"Peluk erat, Yit. Kita akan keluar kota malam ini."

Sedetik setelah Dika mengatakannya, Yita langsung melingkarkan tangan di pinggang Dika. Ia sudah bersiap melarikan diri dari kota ini. Setidaknya ia tak sendiri, Dika selalu bersamanya.

Malam kian dingin, sepeda motor yang dikendarai Dika melaju dengan kencang mendaki jalan terjal menuju sebuah perbukitan. Lalu tak lama turun lagi ke lembah. Perjalanan yang cukup mencekam, di tengah gerimis hujan, serta angin yang kencang. Sepeda motor itu seolah terseok-seok diterpa badai yang datang tiba-tiba. Beruntung Dika mampu mengendalikannya dengan baik.

Dari kaca spion, Dika dapat melihat wajah Yita yang memutih serta bibirnya yang bergetar menahan dingin. Sejenak ia merutuki diri, seharusnya tadi menyempatkan pulang ke-kos untuk mengambil jaket.

"Sebentar lagi kita akan masuk kota. Di depan sana ada sebuah penginapan sederhana. Kau percaya kepadaku, kan?" tanya Dika saat memperlambat laju kendaraan. Ia ingin memberitahu agar Yita sudi bertahan sedikit lagi.

Meski tak mendengar dengan jelas, tetapi Yita tetap menganggukkan kepala. Ia kedinginan.

Mereka sudah berada di kota lain, mungkin pula telah melampaui dua-tiga kota. Dika hanya ingin menyelamatkan Yita, membawa gadis itu pergi sejauh mungkin.

"Pakai jaketku. Jangan sampai mereka melihat bercak darah di bajumu."

Dika melepaskan jaket itu, lalu memakaikannya di tubuh Yita yang sudah basah kuyup. Gadis itu bersedekap mengikuti langkah Dika yang berjalan memasuki ruang resepsionis.

"Berhenti di sini. Biar aku saja yang masuk. Kamu tunggu di sudut sana, Yit. Jangan ke mana-mana."

Yita menurut. Ia membalik tubuh, lalu berdiri di dekat pot bunga yang ditanami oleh beberapa tangkai bambu. Pikirannya masih menerawang membayangkan beberapa kejadian yang baru saja dilalui.

Tak lama Dika pun keluar. Di tangannya sudah terdapat sebuah kunci ruangan. Penginapan ini layaknya rumah kos-kosan. Di mana, kamar-kamar itu berjejer membentuk leter U di bagian dalam kawasan. Setiap tamu yang datang, akan langsung bertemu dengan ruangan resepsionis, kemudian mereka diperbolehkan masuk ke dalam kawasan penginapan, melalui sebuah pintu kecil yang terletak di kiri bangunan.

Kamar mereka nomor lima di sudut kanan. Saat Dika membuka pintu, ia meminta Yita untuk segera masuk. Jangan sampai ada yang melihat gadis itu di sini. Sekarang, semua hal bisa mencurigakan.

"Apa kita akan satu kamar di tempat ini, Ka?" tanya Yita berdiri di sisi ranjang yang hanya ada satu buah saja, saat Dika menutup pintu lalu menguncinya dari dalam.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter