webnovel

Berpikir Untuk Masa Depan

Yita sudah membereskan barang-barangnya dan Ina. Mereka akan kembali ke rumah, tinggal di kediaman sendiri, meski harus dibaluti rasa takut yang tak terperi. Bagaimana tidak, mereka hanyalah dua orang kakak beradik, perempuan pula yang akan dengan mudah merasa terancam jika sewaktu-waktu Yohanes datang ke rumah itu.

Ina semula tidak ingin pulang. Ia sudah merasa nyaman tinggal bersama dengan Bu Neni yang juga terlanjur sayang kepadanya. Hanya saja, Yita terus meyakinkan, mereka tidak boleh menyusahkan orang lain terlalu lama. Lagi pula, ATM Anindya juga masih berada di rumah itu, di bawah baju, dalam lemari pakaian sang bunda.

"Ina, kita akan memulai hidup baru berdua di rumah kita lagi. Kamu jangan pernah jauh-jauh dari Kakak, ya." Yita sudah mengunci semua pintu dan memastikan tidak ada celah yang bisa dicongkel oleh orang lain dari luar sana.

"Iya, Kak. Ina juga tidak mau jauh-jauh dari Kakak." Gadis kecil itu mengangguk.

"Kalau begitu, ayo kita tidur. Sudah malam."

"Tapi, Ina lapar, Kak." Sang adik memegang perutnya. Ia memang merasa sangat lapar sekali, sebab tadi hanya makan sekali saja di pagi hari, di rumah Bu Neni. Sementara siang hingga malam, mereka tidak menyantap apa pun, selain mie instan yang dibeli Yita di warung tadi siang. Tidak ada beras yang bisa dimasak, sebab sudah terserak dan kotor.

Yita tercenung sejenak. Ia merasa sangat sedih sekali dengan kondisi yang saat ini mereka hadapi. Namun, tiba-tiba bayangan Padika melintas di pelupuk mata. Gadis itu pun segera meraih ponsel.

"Kakak akan hubungi Bang Dika dulu, ya. Kamu sabar ya, Ina," ujar Yita sembari menempelkan benda pipih itu di telinga.

Baru sekali terdengar nada masuk, telepon tersebut sudah dijawab oleh Dika.

"Hallo, Yit, ada apa?"

"Dik, Ina belum makan seharian. Saat ini ia sangat lapar sekali, bisakah kamu membawakan kami sesuatu yang dapat disantap?" Dengan hati-hati Yita mengatakannya. Ia tidak ingin membebani siapa pun, termasuk orang terdekat sekali pun.

"Oke, aku akan datang dalam sepuluh menit."

"Cepat sekali!" Yita terdengar takjub.

"Jam segini masih ada gerobak ketoprak yang ada di depan gang. Aku akan pergi ke sana sekarang."

"Kamu di mana sekarang, Dika?"

"Aku di kosan. Apa kamu sudah pindah ke rumahmu lagi?" tanya pemuda itu dari seberang telepon.

"Iya, kami sudah pindah. Maaf, tidak memberitahumu. Aku yakin kamu seharian sangat sibuk kuliah."

"Iya, Yita. Maafkan juga karena tidak memberi kabar kepadamu."

"Tak apa, Dika."

"Baiklah, tunggu sebentar, ya. Aku keluar dulu."

"Iya."

Setelah telepon disudahi. Yita pun tersenyum ke arah Ina yang sudah berbaring sembari memegangi perutnya yang lapar.

"Bang Dika akan segera datang, Ina. Kamu sangat suka ketoprak, bukan?"

Ina mengangguk sembari mendesis. Ia meremas-remas perut yang sudah kurus itu.

"Maafkan Kakak, ya, Dek." Yita ikut berbaring di sebelah sang adik, lalu mengusap kepala Ina dengan sayang. Jika dirinya bisa menahan rasa lapar, akan berbeda dengan Ina. Gadis kecil itu sudah terbiasa dengan makanan yang cukup. Lagipula perutnya yang kecil memang benar-benar tidak kuat jika tidak diisi terlalu lama.

"Coba ada Bunda di rumah, ya, Kak. Kita pasti bisa makan enak tiap hari." Dengan polos Ina kembali mengungkapkan keinginan hatinya yang mengharapkan bunda kembali pulang ke rumah.

"Iya," ujar Yita dengan bibir bergetar. Ia terluka dengan semua yang terjadi kini. Akan tetapi, saat ingin mengakui dan menggantikan bunda di penjara, Anindya tak mengizinkan sama sekali. Rasanya ini adalah dilema terberat di dalam hidup.

Yita yang melakukan kesalahan, tetapi sang bunda yang menanggung hukumannya. Belum lagi derita Ina yang ikut terseret karena ulah pikiran dangkal sang kakak.

Sekira lima belas menit kemudian, suara motor Dika terdengar berhenti di depan pagar. Yita buru-buru bangkit, tetapi ingat tak ingin meninggalkan Ina sendirian di dalam. Gadis itu pun akhirnya menggendong sang adik supaya bisa ikut duduk bersama di teras rumah.

Malam belum terlalu tinggi, masih pukul sebelas. Besok Ina juga tidak sekolah, karena libur nasional.

"Buka pagarnya, apa kamu membawa kunci?" Dika tersenyum lebar.

"Ada, ini." Yita kepayahan memperlihatkan benda tersebut karena sembari menggendong Ina juga.

"Oke, serahkan sama aku. Biar aku yang buka dari luar."

Sedikit tergesa langkah kaki Yita membawa raga. Ketika sampai di depan pagar, ia pun menyerahkan kunci tersebut kepada Dika. Pagar terbuka, pemuda tampan itu pun masuk membawa dua kantong berisi makanan yang bisa disantap oleh Yita dan Ina.

"Ini, Ina, ayo dimakan dulu." Dika membukakan ketoprak itu untuk Ina. Ia kasihan melihat wajah gadis kecil itu, sudah pucat.

"Makasih banyak, ya, Kak," jawab Ina dengan mata yang berembun.

Dika menemani dua kakak beradik itu menyantap ketoprak yang dibelikannya hingga tandas. Mereka makan dalam hening, dan Dika sama sekali tidak ingin mengganggu keduanya. Air mata juga berhasil lolos di sudut mata pemuda itu. Mengingat bagaimana nasib sahabat dekatnya dan Ina yang saat ini seolah terombang ambing. Demi dapat mencukupi kebutuhan mereka, Dika rela bekerja paruh waktu di cafe langganan anak-anak muda sebaya.

Pemuda itu sama sekali tidak malu. Meski ada beberapa yang mengenalnya sebagai anak dari pasangan kaya raya, tetapi hal tersebut bukanlah suatu aib buatnya.

"Terima kasih banyak, ya, Dik. Kamu memang sahabat yang paling baik sedunia." Lengkungan indah menghiasi wajah ayu Yita. Ini dilakukan hanyalah untuk meredam rasa pilu di dalam dada. Sesungguhnya gadis itu malu melakukan ini. Namun, apa boleh buat? Ia tak punya tempat lain untuk bersandar saat ini, selain kepada Dika seorang.

"Kamu jangan pernah sungkan kalau ingin sesuatu, aku pasti akan mengupayakan semampu yang kubisa."

"Aku ingin mencari pekerjaan, Dik. Tidak mungkin selamanya akan seperti ini terus. Aku belum tentu akan diterima lagi kuliah di kampus itu. Alangkah lebih baik, kalau aku bekerja saja. Lumayan, untuk mencukupi kebutuhan kami berdua. Ina harus sekolah tinggi." Yita mengusap kepala adiknya yang sudah tersandar di dada. Setelah perutnya terisi, gadis kecil itu pun mulai diserang kantuk. Ingin masuk ke dalam untuk tidur, tetapi takut sendirian.

"Memangnya kamu ingin kerja apa, Yita?"

"Apa aja, Dik. Yang penting bisa menghasilkan uang. Sehingga aku bisa kasih jajan untuk adikku." Gadis itu menghela napas panjang. "Apa kamu punya kenalan yang bisa memperkerjakanku. Apa saja, aku bisa melakukannya, Dik."

Dika sempat terpikir untuk mengajak Yita bekerja di cafe yang sekarang menjadi tempat mencari uangnya kini. Tetapi kemudian terpikir sesuatu, ia tak ingin Yita digoda oleh pemuda-pemuda yang sering mangkal di tempat itu.

***