13 Benawat (Sombong)

Ketika di dalam perjalanan menuju kantor polisi, ponsel Bagas berdering. Tertulis nama Anila di layarnya. Yita sempat melirik. Ia bahkan merasa tidak enak sekali, jika Anila yang dimaksud benar-benar orang yang selalu membuat kegaduhan dalam hidupnya.

"Iya … kenapa?" Bagas terdengar sedikit enggan. "Di mana, Dek? Kakak lagi sama temen ini?" Ekor matanya melirik Yita yang terlihat menatap lurus ke depan. "Ya sudah, ya sudah. Iya, Kakak jemput sekarang. Tunggu di gerbang."

Setelah itu panggilan telepon tersebut disudahi. Bagas kemudian melirik Yita di sebelahnya. "Yita, Ina." Ia pun menatap Ina dari spion depan.

Gadis kecil yang sedang melihat pemandangan di luar, memajukan tubuhnya untuk menatap Bagas. "Ada apa, Kak?" tanyanya kemudian.

"Tadi adiknya Kak Bagas telepon, dia minta dijemput. Katanya pagi ini tidak ada jadwal kuliah. Mumpung belum lewat di kampusnya, Kak Bagas izin dulu sama Ina, boleh?" Bagas terlihat suka sekali dengan anak-anak. Tampak dari caranya berbicara kepada Ina.

"Yang punya mobil 'kan Kak Bagas, jadi semua terserah Kakak." Ina pun tertawa lebar. Ia sudah terlihat lebih ceria, jauh berbeda dari tadi pagi.

"Oh, kalau begitu boleh, ya. Baiklah. Terima kasih, Ina."

"Sama-sama, Kak Bagas." Senyum Ina benar-benar menunjukkan bahwa ia bahagia saat ini.

Berbeda dengan Yita. Gadis itu bahkan tidak nyaman. Bagaimana kalau benar, Anila adalah orang yang sering sekali bertengkar dengannya. Gadis yang sangat mencintai Dika, tetapi pemuda itu malah memilih tetap dekat dengan Yita.

Tepat sekali, setelah berada di depan kampusnya sendiri, Yita tampak kian tidak nyaman. Terlebih ketika Anila membuka pintu dengan memaksa, meski tahu ada orang lain yang sudah duduk di sana.

"Nila, kamu duduknya di belakang saja." Bagas membujuk, tetapi gadis itu tidak mau. Ia menarik lengan Yita yang memang sudah ingin keluar, dengan kasar. Sorot matanya menyiratkan kebencian teramat sangat.

"Nila, kenapa kamu kasar sekali dengan Yita?" Bagas tidak suka dengan sikap yang ditunjukkan oleh Nila kepada Yita, sebab ia tidak tahu-menahu jika Anila dan Yita adalah teman satu kampus.

"Kakak kenal dengan ini orang dari mana?" tanya gadis judes itu setelah duduk dan menutup pintu. Sementara Yita juga telah berpindah posisi ke belakang, duduk bersebelahan dengan Ina yang terkejut akan sikap Nila yang kasar kepada kakaknya.

"Kak Bagas, maaf. Kalau boleh, kami turun di sini saja. Saya dan Ina bisa pergi ke sana dengan naik kendaraan umum. Tidak apa-apa." Yita tak ingin menjadi penyebab kakak dan adik itu bertengkar. Ia lebih baik menjauh saja, ini akan lebih menentramkan.

"Kak." Ina menyentuh lengan kakaknya. Ia tidak ingin, sebab gadis kecil itu tahu kalau kakaknya belum pernah ke sana. Mereka pasti akan kesusahan menemukan jalan. Sementara Bagas jelas-jelas bekerja di lokasi yang hendak mereka tuju. Ina menatap penuh harap kepada Yita, agar tetap berada di dalam mobil ini. "Kak Bagas 'kan sudah janji," bisiknya pelan kepada Yita.

"Tidak Yita. Ina benar, Kak Bagas sudah berjanji. Jadi kalian akan sampai dengan selamat di sana." Bagas ikut menimpali. Ia abaikan saja pertanyaan Anila tadi.

"Tapi, Kak—"

"Heh, kalau kamu mau turun, turun saja sana, tidak perlu minta izin segala. Cepat! Mumpung kakakku belum jalankan mobilnya!" Nila membentak gadis yang menjadi rivalnya di kampus itu. Mereka memang tidak pernah akur sejak lama, terlebih karena Dika tak pernah bisa jauh dari Yita.

Baru saja gadis yang diberi tumpangan itu hendak membuka pintu, Bagas segera menekan central lock sehingga pintu terkunci otomatis. Ia lantas melajukan kendaraan menuju kantornya sendiri.

"Kak, Nila mau pulang," rengek gadis manja itu di depan Yita dan Ina.

"Nanti. Kakak mau ke kantor dulu." Bagas mulai geram. Ia merasa sikap Nila ini sudah tidak pantas. Gadis itu perlu diberikan pengajaran.

"Enggak mau, pokonya Nila mau pulang." Gadis itu terus saja merengek. Ia tidak peduli dengan dua penumpang di belakang yang menatap dengan heran.

"Kakak 'kan tadi sudah bilang, kalau saat ini Kakak sedang ada perlu. Kenapa kamu memaksa untuk dijemput? Kalau mau pulang, 'kan bisa sendiri?" Polisi tampan itu akhirnya membentak sang adik. Membuat Nila langsung merungut dan cemberut.

"Kamu itu sudah besar, tolong jaga sikapmu!" Bagas masih menasihati. Namun, Nila enggan untuk menerima. Baginya sikap Bagas itu sama saja dengan mempermalukan dirinya di depan Yita dan Ina.

Perjalanan tetap dilanjutkan meski Anila bertahan dengan kekesalan di dalam hatinya. Hingga sampai di kantor, adik Bagas nan manja itu tetap cemberut. "Ayo, kamu ikut turun."

"Tidak." Anila menolak. Ia ingin berada di dalam mobil saja.

"Sebentar saja." Bagas masih membujuk.

"Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau berdampingan dengan anak pembunuh macam dia. Lagi pula kenapa sih, Kakak peduli sekali sama mereka? Tidak ada faedahnya juga." Anila tak bisa menyembunyikan perasaannya saat berbicara dengan Bagas, ketika Yita dan Ina sudah keluar dari kendaraan mewah itu.

"Kamu tidak boleh berkata demikian."

"Memang nyatanya begitu! Kakak kenapa baik sekali sama dia? Suka juga? Hah! Kenapa semua orang menyukai gadis predator seperti dia?"

"Cukup, Nila! Kakak tidak suka, ya, kamu bersikap seperti ini!" Mata Bagas pun nyalang. Ia seperti tidak mengenali gadis di sebelahnya kini. Yang ia tahu, Anila tidak berperangai seperti itu. Nila memang manja, tetapi tidak suka berkata kasar mengenai orang lain.

"Ya sudah, kalau kamu mau tetap di dalam sini, silakan saja. Kakak mau masuk ke dalam dulu."

"Kenapa Kakak sampai tega membentakku hanya karena membela dia?" Tak disangka, gadis manja itu pun berurai air mata. Baru kali ini Bagas membentak dan itu semua karena Yita. Semakin besar kebenciannya terhadap gadis yang sudah berada di luar sana.

"Kakak minta maaf. Sudah, jangan menangis lagi." Kalau sudah begini, Bagas pun tak sanggup marah terlalu lama. Pria itu lalu menarik kepala Nila ke dalam dekapan, diusapnya lembut rambut sang adik. "Kamu tunggu di sini, ya. Kakak akan segera kembali, setelah menyelesaikan urusan di dalam sana."

Nila hanya mengangguk menanggapi ucapan kakaknya. Biar bagaimanapun, ia sudah sangat membenci Yita. Gadis itu akan memikirkan cara untuk menghancurkan orang yang sudah membuat Bagas membentaknya untuk pertama kali.

Sorot tajam mata Nila seolah mampu menembus kaca pintu mobil milik Bagas. Ia menatap Yita tak lepas dari dalam sana. Seolah ingin menerkam gadis itu hidup-hidup.

"Jangan pernah kau bermimpi akan bisa mendapatkan kakakku juga, Murahan! Akan kubuat kau kehilangan wajah yang kau miliki itu. Percuma saja cantik kalau hanya digunakan untuk menggoda laki-laki!" geram Nila dalam kesendirian.

***Next>>>

avataravatar
Next chapter