9 Tersipu Malu

Ameera menghepaskan tubuhnya di tempat tidurnya. Dia segera memejamkan mata tanpa membersihkan diri terlebihdulu. Sangat lelah untuknya berjalan sejauh itu. Kesialan yang bertubi-tubi menimpanya. Entah kesalahan apa yang diperbuat leluhurnya hingga dia harus menjalani kehidupan yang sungguh sulit di masa sekarang.

Ponsel yang mendadak mati, hujan yang tak kunjung reda membuatnya benar-benar muak malam ini. Berjalan sendirian di tengah malam di bawah rintik hujan, seperti sebuah adegan di drama romantis. Hanya saja Ameera sendiri dan jaraknya cukup jauh untuknya, tanpa ada mobil atau kendaraan yang hendak memboncengnya.

Jalanan bahkan sepi tidak seperti biasa, memang hujan membuat banyak orang malas untuk bepergian.

Masih beruntung dia tadi bertemu dengan pria asing itu yang meminjaminya payung. Walau tidak membuatnya sampai rumah dengan cepat, setidaknya dia tidak basah kuyup.

"Kuharap bayaranku full sehingga setimpal dengan lelahku ini ya Tuhan," gerutunya dengan posisi yang tengkurap.

Dia malas sekali bangun untuk membersihkan diri, namun tidur dengan mengenakan mini dress bukanlah pilihan yang tepat. Sehingga dia tetap harus berganti pakaian walaupun sangat malas.

Perutnya yang mulai lapar semakin memaksanya untuk bergerak menuju dapur mencari-cari makanan di dalam lemari. Dia menemukan mie instant, ya itulah satu-satunya yang dapat ia makan dengan cepat.

Dia segera menuangkan air panas dalam cup lalu meninggalkannya ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Riasan tebal membuatnya lelah untuk menghapusnya, dia telah memutuskan untuk makan terlebihdulu sebelum menghapus riasan.

Kling!

Ah benar. Ameera bahkan telah melupakan ponselnya yang sedari tadi mati. Anehnya kini berbunyi dan menyala seperti sedia kala.

Ameera mengeceknya lagi, tidak ada keanehan hanya tadi dia sedang sial memang.

Sebuah pemberitahuan dari internet banking yang menampilkan nominal uang masuk ke rekeningnya, itu adalah bayaran dari Al atas sewanya selama di kampus sejak pagi hingga sore.

"Whoah apa ini?" Ameera sangat histeris ketika melihat rincian dari pemberitahuan itu.

"Apa dia sedang mengantuk ataukah mabuk? Ini terlalu banyak untuk sewa enam jam. Kenapa dia membayar untuk sehari penuh. Ini juga ada bonusnya?" Ameera segera menghitungnya dengan kalkulator. Benar saja itu adalah nominal untuk biaya sewa sehari penuh juga tambah bonus jika Ameera melakukan semua tugas dengan baik.

Bonus tidak pernah dituliskan oleh Ameera, itu hanyalah kebiasaan dari Al yang mengatakan kalau dia selalu merasa senang saat bersama dengan Ameera. Yah tentu saja Ameera tidak keberatan dengan itu, karena uang seberapapun itu akan sangat berguna baginya.

"Apa kamu sedang mabuk? Kamu hanya perlu membayarku enam jam! Aku tidak suka mempunyai hutang!"

Ameera mengirim pesan pada teman sekelasnya itu. Dia sangat heran, apakah orang kaya memang tidak pernah merasa sayang dengan uang mereka sehingga dapat menggunakannya sembarangan begini.

Kling

Ameera segera membuka pesan balasan dari Al.

"Jika begitu maka jadilah kekasihku lagi besok selama enam jam."

"Aishh sialan memang. Apa aku miliknya? Dapat semudah itu menyewa tanpa persetujuan?!" Ameera terus mengumpat kesal. Namun tidak dapat dipungkiri kalau dia juga senang dengan pekerjaan yang mudah itu.

Beberapa kali Ameera mengetik dan kembali menghapus untuk balasan pesan kepada Al. Dia hendak menyetujuinya, namun dia juga merasa berat karena sosok Al yang sangat populer di kampus cukup menyiksa dirinya. Sebisa mungkin dia bersikap cuek, namun tetap saja para penggemar Al membuat hidupnya tak tenang.

"Jangan besok. Aku ada klien. Lusa saja."

Kirim.

Ameera menunggu balasan dari Al. Dia pasti akan menyetujuinya, pikir Ameera. Menjadi kekasih sewaan untuk lelaki tampan itu tidaklah sulit, hanya menemaninya makan, mencari buku, belajar, dan pergi ke sebuah toko figur tokoh anime kesukaannya. Ameera bahkan tidak merasa menjadi kekasih sewaan, lebih seperti adik sewaan baginya.

Hanya dibaca.

Ameera mendengkus kesal. Selalu saja lelaki itu mengabaikan pesan Ameera jika dia merasa tidak ada hal yang perlu dibahas lagi. Padahal Ameera masih memerlukan jawaban "iya" atau "tidak" dari Al.

"Ah terserah dia saja. Yang penting dia telah membayarnya, aku hanya perlu berperan sebagai kekasih yang baik baginya," ujarnya pada diri sendiri.

Dia segera menikmati makan malamnya yang sudah mulai mengembang.

Mie instant rasa kari putih adalah kesukaannya. Dia telah memiliki persediaan yang sangat banyak di lemarinya. Telur dan sarden adalah persediaan lainnya yang paling banyak. Dia memang tidak begitu pandai memasak terlebih harus memasak yang ribet, dia akan memilih untuk makan di luar.

Ameera masih memantau ponselnya, entah apa yang sedang ia tunggu namun dia terus memandangi layar ponselnya itu sambil menikmati makannya.

"Apa dia sudah tiba di Banjarmasin?" gumamnya.

Jemarinya mulai menekan ikon aplikasi percakapan. Dia mengecek pesan terakhir yang ia kirim ke kakak angkatnya yang lain. Kakak tertuanya.

09.09

Jam yang sangat cantik. Itulah jam terakhir mereka saling bertukar kabar.

Ameera mehela napas panjang. Dia memberanikan diri untuk mengirim pesan terlebih dulu.

"Kak Teza sudah tiba di Banjarmasin?"

Kirim.

Huhh, Ameera mehela napas panjang lagi. Dia kembali gemetar memayangkan pertemuannya dengan lelaki itu.

"Sudah, cantik. Kenapa belum tidur? Mengkhawatirkanku?"

Ahh sial. Ameera tersedak saat membaca balasan dari Teza. Dia selalu bisa membuat Ameera tersipu malu online. Ameera segera meraih air minum dan meneguknya beberapa kali.

"Oh ya ampun! Kak Teza jangan membuatku susah tidur," gerutunya. Dia segera membalas pesan itu.

"Syukurlah. Aku baru saja pulang."

Kirim.

Ameera terus menatap layar ponselnya dan melupakan makan malam yang mulai dingin.

"Pulang? Apa Neandro buka 24 jam?"

Hah? Ameera kurang fokus. Dia kembali membaca pesannya yang tadi ia kirim. "Duh kenapa aku mengatakan kalau baru pulang …," Ameera memukul kepalanya sendiri.

"Maksudku aku baru saja terbangun, hehe. Aku membuka ponsel dan ingat kak Teza."

Kirim.

"Ah bisa-bisanya aku mengatakan yang sebenarnya. Bagaimana kalau dia mengira aku berkencan? Jangan bodoh Ameera! Fokuslah!" dia kembali memukul pelan dahinya.

"Wah aku sangat terharu kalau dipikirkan begitu. Sekarang tidurlah kembali. Kita bertemu besok siang di kafe. Selamat malam."

"Baik kak. Selamat malam."

Kirim.

Huhh

Ameera mehela napas panjang. Senyumnya merekah sangat lebar. Dia merasakan jantungnya berdegup dengan sangat kencang hingga dia dapat mendengar detaknya. Wajahnya memerah, dia bahkan hingga menutup wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Hanya membayangkan wajah Teza saja dia sudah sangat tersipu. Sungguh, hanya lelaki itu yang berhasil membuat Ameera merasa hampir gila hanya dengan memikirkannya.

Walau sama-sama kakak dari panti, namun sosok Teza sangat berbeda dengan Neandro bagi Ameera. Tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata, intinya Ameera menghormati Neandro dan Teza namun dia juga beberapa kali menghayalkan Teza untuk menjadi pendamping hidupnya.

***

Sementara itu di tempat lain, di sebuah kamar mewah putra Gubernur. Al telah kembali duduk di sofanya dengan masih menggenggam ponsel. Dia baru saja menelpon dan hal itu membuatnya semakin marah namun dia hanya bisa diam dan mengutuki dirinya sendiri karena ceroboh tidak membawa ponsel dan tidak mengabari perempuan yang sedang menunggunya di Bandara.

Dia juga sedang memikirkan hutang seorang perempuan yang selama ini menjadi kekasih sewaannya. Dia baru mengirimkan uang sewanya, sengaja membayar untuk sehari penuh karena dia telah bersama dengan perempuan itu lebih dari enam jam. Namun perempuan itu malah menolak, hal itu membuatnya tertawa kecil.

"Dia membutuhkan uang, namun tidak mau menerimanya dengan cuma-cuma," pikir Al.

***

avataravatar
Next chapter