20 Nao Jazztin

Kekerasan dalam rumah tangga, bermula dari mabuk-mabukan dan berjudi lalu tidak bertsnggung jawab kepada anak dan istri. Lalu kini tengah siap untuk perpisahan juga kasus pembunuhan. Komplit. Semuanya tercatat di buku kecil milik Barra dengan ditambah poin kecil karena dia berhasil membisikkan kejahatan kepada para pemuda untuk merampok dan menyerang seorang pria tua di dekat mesin ATM.

Barra tersenyum simpul, dia harus memejamkan matanya cukup lama untuk mengubah kedua manik matanya kembali menjadi hitam seperti manusia pada umumnya.

Dia sedang duduk di depan kemudinya, bersiap untuk menemui Gavin untjk menyombongkan pencapaian besarnya hari ini. Namun dia merasa ada yang aneh dengan buku catatannya, segera diambilnya kembali dan dibukanya untuk perhatikan dengan sungguh-sungguh.

Barra mengernyitkan dahinya, membaca dan menghitung ulang poin yang ia dapatkan.

"Pembunuhan? Hilang? Lalu perceraian? Kenapa poinnya hanya setengah?" Barra menggigit ujung bibirnya sedikit seraya berpikir.

Dia segera menginjak gas menuju halte tempat dia dapat pergi untuk menemui seniornya dan Ketua Dewan Iblis untuk memperjelas tentang poinnya.

Saat ia hendak menambah kecepatan mobilnya, tiba-tiba seorang pria dengan pakaian rapi berstelan hitam berdiri menghalangi jalannya dan membuat Barra segera menginjam rem dan membanting setir.

Barra mengumpat sekenanya. Dia tidak menyukai hal seperti itu karena dia tahu kalau hanya rivalnya seoranglah yang selalu mengejutkannya di tengah jalan.

"Beruntung aku tidak dapat membunuhmu hanya dengan menabrakkan ini!" geramnya. Dia harus mehela napas panjang untuk menetralkan emosinya.

Pria itu, Nao, segera mengetuk perlahan kaca mobilnya untuk meminta dibukakan. Dengan menggerutu, Barra membiarkan pria itu untuk masuk dan duduk di sampingnya.

"Tolong bergegas ke halte," ujar Nao tanpa mempedulikan ekspresi Barra yang masih sangat geram.

"Kamu pikir ini adalah taksi yang bisa kamu hentikan dan kamu naiki sesuka hatimu?" celoteh Barra kesal.

"Memangnya bukan ya? Wah mobil ini berwarna kuning sehingga aku tidak begitu mengenalinya. Maaf paman, tapi bisakah kamu mengantarku ke halte dekat lampu merah?" Nao menyeringai memamerkan deret figinya yang rapi sekaligus menambah kekesalan pada diri Barra.

"Jika tidak ada hal penting yang ingin kamu bicarakan, maka turunlah sekarang. Aku sibuk." Barra memgalihkan pandangannya ke jalanan di depan tanpa menoleh Nao sedikitpun.

"Alu yakin kita punya tujuan yang sama," ujar Nao lagi. "Aku dapat merasakan sesuatu dari buku catatanmu. Dia ingin meminta stempel, kurasa."

Barra sedikit mendengkus. Dia kembali menginjak gas tanpa mempedulikan ocehan Nao di sampingnya.

"Terimakasih," ujar Naom dia segera mwmbenarkan posisinya agak merebHkan kepalanya yang lelah.

Dia menatap jalanan dengan sedikit bergumam.

"Kurasa aku mulai menyukai ini. Sekali lagi terimakasih. Kamu memang iblis berhati mulia yang pernah ku temui."

Barra sedikit melirik Nao. "Aku heran kenapa pria kaya sepertimu sangat menyukao tumpangan dan tidak ingin mengeluarkan uang sedikitpun. Kamu pelit untuk dirimu sendiri!"

Nao tertawa ringan, "Aku bukan pelit, namun hemat." Sahutnya.

"Di dunia manusia, semuanya membutuhkan uang. Kita harus hemat agar semuanya tercukupi karena kita harus tinggal cukup lama di sini." Nao masih memandangi jalanan. "Tapi aku tadi berterimakasih bukan karena tumpanganmu, Barra," celetuk Nao lagi.

"Hah?" Barra tidak begitu minat untuk meliriknya.

"Aku berterimakasih atas kepolosannu, atas rasa cepat puas dan acuh yang ada pada dirimu," kata Nao yang tidak begitu dimengerti oleh Barra. "Lakukanlah pekerjaanmu hingga tuntas jika tidak ingin poinmu berpindah pada orang lain. Kamu tahu, aku sering kali mendapatkan poin atas kejahatan yang kamu mulai. Aku beruntung karena tidak perlu mencari target, namun dapat mengakhirinya dengan sempurna."

Barra mendengarkan dengan seksama. "Kamu mencurinya?!"

"Tentu tidak. Aku hanya mengiringi semua langkahmu dan memastikan kalau kejahatanmu tidak tuntas lalu akulah yang menuntaskannya, hingga poin itu tercatat untukku." Nao menjelaskan.

Drrttt ....

Barra menginjak rem mendadak hingga membuat tubuh Nao maju dan kepalanya nyaris terbentur kaca depan. Dia tidak memasang sabuk pengamannya.

"Hey sial! Kamu ingin mencelakaiku?" Nao melirik tajam Barra yang tak berekspresi di sampingnya.

"Katakan semuanya terlebihdulu. Aku tidak akan membawamu ke halte jika masih banyak yang ingjn kamu katakan," seru Barra.

"Aku tidak akan mengatakan apapun jika kamu tidak bertanya!"

Barra menatap Nao tajam, dia bahlan sedikit mengubah posisi tubuhnya agar dapat menatap rivalnya itu dengan lekat. "Sejak kapan kamu melakukan itu?"

"Melakukan apa? Mengambil poinmu? Tentu saja sejak lama. Sejak kamu ceroboh dan tidak menyelesaikan tugasmu," sahut Nao lantang.

Barra mengertakkan giginya, dia geram, dia jiga menyesali kecerobohannya juga.

"Lihatlah, aku hanya perlu menunggu gerhana maka tugasku selesai." Barra membuka buku catatan kecil miliknya dan menampakkan isinya pada Barra. "Ketua Dewan bilang kinerjaku bagus sehingga tidak perlu menunggu gerhana bulan merah untukku diperiksa dan di tes ulang. Aku sudah dapat menjadi iblis senior mendahuluimu," ujarnya menyombongkan diri.

Barra mengernyitkan dahi. Dia ingat kalau dirinya lebih dulu pergi ke bumo dibanding Nao, dia tidak dapat menerima kalau pria itu yang akan menjadi iblis senior terlebihdulu.

"Ada apa dengan wajahmu? Kamu marah?" celetuk Nao dengan nada mengejek. "Hey ingatlah, aku turun ke bumi bukan untuk dihukum seperti dirimu, tentu saja tugasku tidak sebanyak dirimu. Aku ke bumi untuk naik jabatan. Kamu tahu, aku adalah kesayangan Ketua Dewan, maka dari itu aku mudah untuk naik."

Barra mendengkus. Benar. Pria di sampingnya itu seringkali membuatnya merasa iri karena memang menjadi kesayangan Ketua Dewan. Gavinpun pernah mengatakan kalau menjadi Nao itu sangatlah beruntung karena dia mendapat kesitimewaan di Kantor Pusat.

"Barra Javas. Apa kamu ingin kuberitahu sebuah rahasia?" ujar Nao lagi, sengaja menarik perhatian Barra yang wajahnya hampir merah.

"Bekerjalah siang dan malam. Berbaurlah dengan manusia saat siang dan malam, maka kamu akan segera dapat menyelesaikan tugasmu."

Barra berdecih, dia segera memalingkan wajahnha dan kemabali menatap jalanan.

"Hey dengarkan aku. Percayalah, bekerja hanya saat siang itu juatru akan menguras banyak energimu. Jika kamu berbaur dengan manusia saat siang dan malam, maka energimu akan terbagi sehingga kamu dapat terus bekerja walau berpenampilan sebagai manusia."

"Aku sudah melakukannya, hari ini," sahut Barra ketus.

"Hari ini? Itupun terpaksa 'kan?"

"Tidak."

Nao terkekeh. "Lakukanlah setiap hari. Kurasa hanya perlu waktu beberapa bulan tugasmu akan segera beres. Ah satu lagi, kamu jangan terlaku memilih kejahatan. Jangan hanya fokus dengan yang berpoin besar, namun lakukanlah juga yang berpoin kecil."

Suasana diantara keduanya hening sejenak. Barra yang keras hati itu tidak mempedulikan kalimat Nao.

"Baiklah. Aku akan turun sekarang. Aku sudah tidak ingin ke halte ,"

"Baguslah, aku muak mendengar suaramu," ujar Barra melirik Nao kesal.

Nao terkekeh segera. "Dasar keras kepala!" dengkus Nao. "Ah tolong sampaikan salamku untuk senior Gavin dan ketua Dewan."

"Sampaikanlah sendiri," celetuk Barra. "Sana pergi! Jangan membuatku semakin kesal!"

Nao memgangkat kedua alianya dan sedikit mencibir. Segera saja dia turun dari mobil berwarna kuning itu. Baru juga hendak melambaikan tangan dengan hangat, pemilik mobil sudah menginjak gas dan melaju kencang di jalanan.

***

avataravatar
Next chapter