18 Kejahatan Terbesar

Barra mengantar Sesil pulang. Sepanjang jalan keduanyaa tidak saling bicara dan hanya diam.

"Sesil, Maaf." Barra tahu perempuan disampingnya sedang menahan air mata yang mulai mendesak keluar. "Aku tidak bermaksud membentak dan berkata panjang lebar denganmu. Sekali lagi, Maaf."

Sesil masih menunduk. "Apa orang jelek sepertiku memang tidak layak untuk dicintai?" suaranya mulai parau, Barra sangat yakin kalau perempuan itu akan segera menangis jika terus dibiarkan.

"Kemarilah. Aku tidak melihatmu seperti orang jelek. Kamu akan mendapatkan cinta yang benar-benar tulus, jika waktunya telah tiba." Barra meraih kepala Sesil dan memeluknya. Dia sangat tidak menyukai ada seorang perempuan yang menangis di hadapannya.

"Apa aku boleh terus menyewamu? Walau kamu sedang bekerja, namun aku senang karena kamu menganggapku spesial." Isakan Sesil mulai terdengar oleh Barra.

"Jangan!," jawab Barra spontan. "Maksudku, jangan tidak menyewaku! Karena aku akan sangat senang jika kamu terus menjadi langgananku. Tapi bukankah kamu juga ingin dicintai dengan sepenuh hati? Kurasa jika kamu sering bersamaku, pria diluar sana akan mengira kamu sudah ada yang punya sehingga mereka akan merasa tidak enak untuk mendekatimu."

"Adakah pria yang akan menyukaiku? Aku bahkan selalu dikatakan jelek saat berdandan."

Sial, bisik Barra dalam hati. Dia tadi bahkan menyebutkan bibir yang terlalu merah.

"Ada, kuyakin ada. Kamu hanya perlu percaya dengan dirimu sendiri." Barra mendadak menjadi seorang motivator untuk seorang perempuan yang merasa rendah diri.

Sesil mengangguk, dia melepaskan pelukannya dan menghapus air mata dengan tisu. Sesil mengeluarkan uang dari tas, menghitungnya dan segera membayarkannya untuk Barra.

"Aku sudah bilang akan membayarmu dobel. Ini adalah bonus lain karena kamu menenangkanku." Perempuan itu menyerahkan uang yang sangat banyak pada Barra.

"Tapi aku …," Barra belum sempat melenjutkan kalimatnya, Sesil telah meletakkan jari telunjuknya di bibir Barra.

Perempuan itu mendekatkan wajahnya ke wajah Barra, lirih, dia berbisik dengan suara yang sangat lembut. "Jangan menolak. Aku bilang ini bonus," ujarnya yan berhasil membuat Barra menggidik ngeri.

Sesil turun dan segera masuk ke rumah. Sementara Barra menghitung ulang lembaran uang itu sebelum memasukannya ke dalam laci mobil.

Dia melihat catatan kecilnya di dalam laci, spontan saja dia mendengkus karena dia bahkan melupakan pekerjaan pokoknya.

"Masih kurang sembilan puluh lima? Kukira aku telah melakukan banyak tugas," gumamnya saat melihat kembali catatan tugas miliknya.

.

.

Sepasang suami istri di daerah pinggiran kota telah menjadi incaran Barra sejak beberapa waktu terakhir. Dia sedang berusaha untuk membuat hubungan mereka kandas dan berakhir dengan sidang perceraian.

Itu adalah kejahatan dengan poin tinggi yang dapat membuatnya segera menyelesaikan misi dan kembali ke Neraka untuk menjadi iblis senior. Dia akan menjadi satu derajat dengan Gavin.

Barra tidak mengganti pakaiannya, dia masih berkeliaran di dunia manusia dengan berpenampilan seperti mereka. Setelah melakukan perjalanan cukup panjang, dia berhenti di sebuah rumah di daerah pinggiran sungai.

Di sana, di dalam rumah sederhana yang serba kekurangan, seorang perempuan sedang mengemasi barangnya sambil terisak. Dia memasukan satu per satu pakaian yanh ia ambil dari dalam lemari ke dalam koper besar. Dia juga mengganti pakaian bayinya yang masih tertidur dengan cepat.

Sesekali dia menundukkan kepalanya, tidak kiat menahan air mata yang mendesak keluar.

Dari kejauhan, Barra memantau dengan sesekali mehela napas panjang. Dia menyampaikan energinya pada perempuan itu.

"Pergilah. Itu yang terbaik untuk kalian," gumamnya seraya mengeluarkan buku catatan kecil miliknya.

Suami perempuan itu nampak menghampiri dengan sempoyongan dan masih memegang botol minuman keras di salah satu tangannya. Dia menghampiri dan mendorong istrinya hingga jatuh. Mereka kembali berkelahi.

Sang istri melawan, namun dia semakin mendapat perlakuan yang kasar.

Barra masih memantau, namun dia mulai geram saat melihat suaminya itu menampar istrinya dan bayinya nampak menangis menjerit.

"Ambil botolnya. Bunuh dia!" Barra menggenggam tangannya erat, tatapannya sangat tajam tertuju pada rumah sederhana itu.

Sang istri meraih botol minuman suaminya yang terjatuh, dia menggenggamnya. Barra tersenyum dan mengangguk pelan.

Namun ada sesuatu yang menunda tindakannya, sang suami meraih ponsel yang tergeletak di atas tempat tidur. Barra memekakan pendengarannya, dia dapat mengetahui kalau itu adalah panggilan dari seorang rekan si istri.

"Halo, Sarah …" Barra mendengarkan pembicaraan di ponsel itu.

"Ah berhentilah bicara kamu berisiik! Sarah tidak ingin bicara dengan siapapun. Dia gila!" ujar pria mabuk itu dengan sangat kasar.

"Ameera! Apa itu kamu? Ameera tolong aku!" teriak si istri yang bernama Sarah itu. Dia masih dalam posisi tercekik pengan kiri suaminya yang kuat. Suaranya serak, dia lemas.

Spontan, sang suami melempar ponsel dan mencekiinya lebih kuat membuat tubuh Sarah semakin lemas dan perlahan botol minuman itu terlepas dengan sendirinya.

"Lebih seru dari yang kukira," bisik Barra. "Kalian segeralah saling bunuh!"

Sarah masih mampu bertahan, suaminya melepaskan cengkeramannya dan dia menyandarkan tubuhnya pada dinding dan nampak menangis.

"Kumohon bertahanlah, aku tidak dapat jauh darimu," suara beratnya menjadi serak karena dia menangis.

Hal itu membuat Barra geram. Dia mengeluarkan energinya hingga maksimal,. Matanya berubah menjadi merah menyala, seluruh tubuhnya pun menjadi sangat merah, dia merasakan tubuh yang panas.

"Bunuh dia!" geramnya sambil terus mengebdalikan diri Sarah.

Perempuan itu nampak mengumpulkan jekuatan, dia gemetar namun perlahan meraih lagi botol yang tadi terlepas dari tangannya. Dalam hitungan detik, dia memukul kepala suaminya dengan botol itu hingga pecah.

Suaminya tergeletak seketika, kepalanya berlumuran darah dan langsung tidak sadarkan diri.

"Aku membencimu, Sialan!" teriak Sarah yang sungguh menggila.

Barra mengulum senyumnya, dia segera berkedip dan dirinya kembali seperti semula yang nampak seperti manusia normal.

"Melelahkan sekali," gumamnya.

Saat ia hendak menyalakan mobil dan pergi, dia melihat ada taksi yang datang dan berhenti tepat di depan rumah yang sedang ia pantau. Sedikit mengernyitkan dahi, Barra melihat sosok perempuan yang tadi sempat bertemu dengannya di taman turun dan menerobos masuk ke rumah itu.

Barra mengurungkan niatnya untuk pergi, dia mengamati apa yang terjadi. Perempuan itu, Ameera, dia menghampiri Sarah yang tangannya masih menggenggam botol pecah dengan gemetar.

Barra mehela napas panjang, dia segera menyalakan mobil dan pergi.

"Perkelahian, pembunuhan, dan perceraian. Kurasa ini akan menjadi prestasi baru untukku," gumamnya.

Dia menuliskan kejahatan yang telah ia lakukan, melaporkan pada atasannya dan menunggu keputusan Ketua.

"Bertahanlah sebentar lagi, Barra Javas. Dunia manusia sungguh memuakkan!" geramnya.

Segera menginjak gas dan pergi untuk menenui targetnya yang lain.

Sepasang muda mudi, adalah incarannya. Di jaman yang serba modern dan bebas ini, tidak akan sulit baginya untuk membuat sepasang kekasih terjatuh di lubang asmara yang kelam. Hanya dengan membuat keduanya dibutakan oleh cinta satu sama lain, dia sudah mendapatkan poin untuk kejahatannya.

***

avataravatar
Next chapter