14 Jantungnya Berdebar

Beberapa detik, Barra merasakan dia sudah sangat lama berdiri di halte. Dia sedang mengantar seniornya untuk kembali ke alam baka. Gavin sedang mabuk parah, dia hingga berbicara tak keruan yang tidak dipahami oleh Barra.

Ini adalah yang paling dibenci oleh Barra. Gavin banyak menghabiskan waktunya di alam baka hingga membuat tubuhnya tidak sekuat manusia, setidaknya tidak sekuat tubuh Barra yang sudah tinggal di dunia manusia sejak dua ratus lima puluh tahun terakhir.

Minuman berakohol bukan hal yang mudah untuk diterima tubuh mereka, karena mereka memang tidak seharusnya meminum itu. Gavin sangat menyukai makanan dan minuman manusia, dia bahkan sempat mengatakan kepada Barra untuk membawa makanan itu ketika berkunjung ke alam baka. Namun Barra menolak, karena memang dua dunia yang berbeda tidak akan dapat dilewati oleh sebuah objek yang tidak diijinkan.

"Kakak pulang sekarang, besok kamu harus ada pertemuan dengan Ketua." Barra masih memegang erat lengan Gavin yang menggelayut di tubuhnya karena sangat lemah.

"Aku akan mengunjungimu lagi nanti. Masaklah mie yang dengan telur yang banyak, aku menyukainya," ujar Gavin dengan mata yang terpejam dan tubuh yang siap untuk terjatuh jika Barra melepaskan pegangannya.

"Hemmm," Barra memalingkan wajahnya. Bau alkohol dari mulut seniornya membuatnya tak nyaman. Sungguh sangat tidak normal, Gavin bahkan hampir meminum semua minuman yang tadi ia bawa, ia bahkan memasak tiga bungkus mie instant dengan tambahan telur.

Sangat wajar jika tubuh senior Barra itu menjadi lemah karena perutnya tidak akan merasa baik saja sekarang.

Gavin didorong oleh Barra menuju pintu yang berupa pusaran bayangan hitam yang terbentuk di depan halte dengan dipanggil oleh Barra. Memang, hanya di halte lah ia dapat memanggil pintu itu, mungkin karena di tempat itulah dia pertama kali diturunkan di dunia manusia oleh Ketua.

Barra menggeleng, ia bahkan kesulitan untuk melepas pegangan erat Gavin yang tidak ingin pulang. Lelaki itu menjadi sangat manja saat mabuk, padahal dia adalah sosok yang sangat cerewet dan penuh kekhawatiran terhadap semua juniornya.

"Yahhh sana!" Barra berhasil mendorongnya dengan kuat hingga seniornya terjatuh ke pusaran bayangan. Dia mepeuk kedua tangannya seolah telah berhasil melakukan sesuatu yang hebat. Dia tertawa ringan karena sikap Gavin yang sungguh dapat berubah-ubah tidak mudah ditebak.

Dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku hoodie yang ia kenakan, masih memandangi jalanan kosong. Namun pandangannya teralihkan pada sosok perempuan yang mengenakan jaket berwarna marun sedang berjalan menujunya. Perempuan yang pernah ia temui sebelumnya, dia juga melihatnya sedang membawa sebuah payung hitam yang dia ingat juga kalau itu miliknya.

Perempuan itu mengikat rambut ikal panjangnya, celana jins berwarna gelap sepertinya adalah ciri khas darinya.

.

.

"Ini, Tuan. Terimakasih," ujarnya seraya menyerahkan payung hitam yang sejak tadi dipegangnya.

"Untukmu saja, aku sudah tidak membutuhkannya," sahut Barra tidak terlalu minat untuk menanggapi.

"Anda mungkin akan membutuhkannya nanti saat hujan. Sekarang langitnya sedang cerah, jadi anda belum membutuhkannya."

Sial, perempuan itu merasa lidahnya terbelit hingga mengatakan hal yang agak rumit untuk dicerna.

"Sudah kubilang untukmu saja. Sebentar lagi akan turun hujan."

Perempuan itu menatap Barra tanpa eksresi. Dia kembali memperhatikan langit yang sangat cerah dengan jutaan bintang yang bertabur dengan indahnya. Ia sedikit mengerucutkan bibirnya, menggerutu tidak jelas karena jawaban tidak menyenangkan dari lelaki ber-hoodie kuning.

Barra berbalik hendak kembali ke rumah, namun perempuan itu kembali memanggilnya dengan nyaring.

"Tuan, maaf …," kata perempuan itu.

Barra menghentikan langkahnya, agak ragu namun dia berbalik untuk merespon perempuan itu.

"Ehmm, terimakasih." Perempuan itu sedikit menundukkan kepalanya. Barra mengernyitkan dahinya, tidak mengerti dengan maksudnya.

"Eh ada apa dengan dahimu?"

"Hah?" Barra semakin tidak mengerti.

"Eh tidak apa-apa. Hehe, maaf. Aku hanya ingin berterimakasih atas payungmu. Kemarin aku sungguh terbantu dengan ini, jadi aku …"

Perempuan itu terlalu manis untuk terus dipandang. Senyumnya menampakkan lesung pipi juga sorot matanya berbinar.

Entah apa itu, entah juga kenapa, namun Barra memutuskan untuk berbalik untuk tidak memandangnya terlalu lama.

"Tidak perlu berlebihan. Aku tidak sedang membantu, jadi kamu tidak perlu berterimakasih."

Barra dapat merasakan wajahnya memerah. Kenapa? Jantungnya berdetak lebih cepat bahkan membuatnya terkejut. Dia mendadak seperti manusia padahal selama ini dia tidak pernah dapat mendengar detak jantungnya itu. Perlahan, dia memegang dadanya untuk memastikan sumber detakan itu. Dia hanya sedikit memiringkan kepala sambil berdecak heran.

"Eh berbalik? Tidak sopan. Aku bahkan belum selesai bicara," gerutu Ameera.

"Tidak apa, Tuan. Aku tetap berterimakasih apapun itu." Ujarnya lagi, dia masih tersenyum walau lawan bicaranya tidak sedang melihatnya.

Barra mengangkat lengan kirinya tinggi, kode agar Ameera berhenti bicara dan menganggapnya sudah selesai. Dia segera melanjutkan langkahnya menuju rumah masih dengan perasaan bingung akan detakan jantungnya.

"Namaku Ameera, jika kamu ingin menemuiku bisa ke kampus BE atau ke kafe ILY. Aku akan membantu masalahmu!" teriaknya.

Beruntung saat itu suasana sangat sepi sehingga tidak ada yang mendengar suara nyaringnya itu selain si lelaki berhoodie kuning yang sudah semakin jauh.

"Ah dia kenapa? Aku bahkan belum mengetahui namanya," gumam Ameera seraya menghembuskan napas panjang karena kesal.

"Dia menyuruhku untuk mengembalikannya di halte, tapi dia malah memberikannya padaku? Apa dia sedang mengerjaiku atau apa?" Ameera masih menggerutu. Pandangannya belum teralihkan dari lelaki yang berjalan semakin jauh dan sama sekali tidak menolehnya.

Ameera memutuskan untuk segera pulang, karena dia sudah terlalu lelah dengan pekerjaannya hingga membutuhkan istirahat yang cukup untuk tubuhnya. Dia memesan taksi online kali ini karena langit yang mendadak gelap dengan mendung hitam. Ameera hanya menatap langit dari dalam mobil, sedikit menggidik saat mengingat lelaki tadi yang mengatakan kalau sebentar lagi akan turun hujan.

"Apa dia seorang cenayang?" gumamnya.

.

.

Sementara itu, Barra yang baru saja sampai di rumah segera menjatuhkan diri di sofa. Dia masih terus memegang dadanya, jantungnya masih berdetak namun kini tidak terlalu nyaring seperti tadi.

"Kenapa ini? Apa aku sedang sakit? Setelah dua ratus lima puluh tahun? Apa aku akan sakit hanya karena menggendong orang mabuk?"

Barra benar-benar memutar kepalanya, dia mencoba mengingat hal apa yang mungkin membuatnya menjadi seperti ini.

Duar!

Dia bahkan harus terkejut saat petir menyambar. Tidak pernah sebelumnya.

Dia mendekati dinding kaca yang masih belum ia tutup gordennya. Pemandangan malam gelap penuh lampu bangunan di tengah kota diguyur hujan yang sangat lebat dengan sesekali petir yang menyambar.

Huhh

Kembali mehelakan napas panjang. Dia harus menghentikan Gavin di kemudian hari karena sikap buruknya sebagai senior akan mendapatkan hukuman dari Ketua juga akan merugikan dunia karena marahnya Ketua akan membuat hujan deras mengguyur alam manusia.

"Kurasa aku harus memeriksakan diri besok. Kurasa aku sedang tidak sehat." Barra menyentuh wajahnya. Dia juga sempat merasakan tubuhnya panas, namun kini sudah tidak terlalu.

***

avataravatar
Next chapter