6 Bukan Klien

Selama di mobil Ameera hanya diam dengan sesekali memperingatkan Al untuk menyetir dengan hati-hati.

"Katakan, Saveri. Kamu tadi melihat apa?" tanya Al yang terus menanyainya karena khawatir dengan kondisi Ameera yang pucat.

"Aku tidak melihat apapun."

"Tolong jangan bohong. Kamu melihat aku mengalami kecelakaan? Atau aku meninggal?" pertanyaan Al sontak membuat Ameera menoleh heran.

"Kamu tahu aku bisa melihat hal semacam itu?" tanya Ameera semakin heran.

"Sejak lama. Kamu pernah mengatakan itu pada Neandro di kanton dan aku tidak sengaja mendengarnya. Awalnya aku tidak percaya, namun setelah aku melihat Neandro yang tidak pernah menyentuhmu aku sedikit percaya. Karena, sangat tidak mungkin jika seorang kakak tidak pernah menyentuh adiknya, untuk bersalaman misal."

Ameera menunduk, dia tidak ingn mengakuinya namun lelaki ini sudah mengetahuinya.

"Aku sungguh tidak melihat apapun. Teruslah menyetir dan tetap berhati-hati," ujarnya lirih sambil membuang pandangan ke luar jendela.

Mereka tiba di sebuah mini market dengan selamat, Ameera dapat bernapas lega karenanya. Dia segera turun dan membeli beberapa bahan makanan juga keperluan kafenya yang lain yang telah dia catat di lembar kecil. Al berjalan mengekor sambil sesekali membantu memilih produk.

"Kenapa Neandro tidak menambah karyawan?" tanya Al yang berjalan di belakang Ameera.

"Karena kami berdua masih sanggup menghadapi pelanggan," sahut Ameera singkat.

"Bukannya kamu sering ijin karena pekerjaanmu?"

Ameera berhenti pada rak mie instan, dia sedang mencari rasa yang disukai oleh kakaknya, Limau Kuit. "Ah ini." Ameera segera mengambilnya beberapa dan memasukannya pada keranjang.

"Hanya dua kali seminggu. Itu tidak akan mengganggu pekerjaan, lagipula aku hanya pergi setelah jam delapan, jadi aku bekerja tiga jam sebelum pergi," sambung Ameera yang merespon pertanyaan Al.

Al mengamati rambut Ameera yang diikat tinggi dan bergerak ke kanan ke kiri berirama. Lalu pandangannya teralihkan pada susu rasa pisang pada rak sebelah. Segera saja dia mengambil lima kotak dan dipeluknya erat hingga menuju kasir.

"Apa ini? Kamu pikir kamu bocah? Minum susu sebanyak ini?" Ameera menatap heran pada Al yang hanya menyeringai kembali memamerkan deret gigi kelincinya.

"Ini adalah minuman kesukaanku selain bir," bisiknya pada Ameera.

Ameera menggeleng tidak paham dengan sikap temannya itu.

Belanjaan yang sangat banyak, sangat tepat sekali kali ini Ameera ditemani Al yang membawa mobil sehingga dia tidak akan kesulitan jika membawanya dengan taksi.

Ameera sedikit mengipasi wajahnya yang berpeluh. Dia segera masuk ke mobil dan mengecek daftar belanjaan yang tadi disebutkan oleh Neandro.

Al menawarinya susu rasa pisang, awalnya Ameera menolak namun elaki itu terus memaksanya hingga akhirnya dia menerima.

"Ini tidak memabukkan," ujarnya terkekeh. "Lagipula kalau ini memabukkan, kamu tidak akan keberatan kan? Kita akan sama-sama mabuk di mobil, kita tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, haha"

Ameera menatapnya tajam, dia sama sekali tidak berekspresi. "Kamu ingin mati?"

"Ey aku hanya bercanda!"

Ameera mendengkus kasar, "Fokuslah. Ayo segera ke kafe."

"Siap tuan putri!"

Al menginjak gas dan segera meluncur ke kafe tempat Ameera bekerja, namun seorang pria berpakaian serba hitam tiba-tiba menyebarang dan membuat Al mengerem mendadak. Pria itu terpental, segera saja Al memejmkan mata karena harus membanting stir di tengah keramaian jalan raya.

Ameera tidak berteriak, dia hanya mampu menahan napas dengan apa yang baru mereka alami.

Al keluar dan mengecek keadaan pria yang baru ditabraknya itu, namun tidak ada apapun di depan mobil. Dia clingukan dan merasa sangat bodoh. Diceknya bagian mobil yang terdapat sedikit goresan karena bekas menabrak, tetapi dia masih heran karena pria tadi tidak ada.

"Apa dia baik-baik saja?" tanya Ameera dengan wajah yang sangat khawatir.

"Kurasa begitu. Dia sudah pergi," sahut Al menjelaskan.

"Huhh …," Ameera menghela napas lega. Dia masih dapat merasakan jantungnya berdegup kencang tak beraturan.

Al menatap perempuan di sampingnya itu iba, dia semakin paham kenapa perempuan itu tidak menyukai sentuhan. Karena itu akan membuatnya terbebani dengan bayangan kejadian yang akan dialami seseorang.

"Selesaikan minummu. Tidak apa, kita semua baik-baik saja." Al mengangkat lengan hendak menepuk bahu Ameera, namun ia urungkan dan hanya menepuk pahanya sendiri.

Mereka melanjutkan perjalanan dengan saling diam. Al masih memikirkan sosok pria yang tadi ia tabrak. Jelas sekali tadi pria itu terpental namun dalam hitungan detik, dia sudah tidak ada dan hanya meninggalkan bekas kecil pada mobil sportnya.

Ponsel Al berdering sebuah panggilan masuk. Dia menoleh sedikit pada Ameera, perempuan itu pasti masih memikirkan kejadian tadi juga. Al tidak mengangkat panggilan itu, dia akan kembali menghubungi saat mereka telah tiba di kafe.

Kedatangan mereka di kafe disambut Neandro dengan tatapan tak suka. Pemilik kafe itu melipat kedua tangannya dan berdiri di dekat meja kasir sambil menunggu keduanya masuk membawa semua belanjaan.

"Hai kak, kamu tampan hari ini dengan bandana seperti itu," sapa Ameera yang baru masuk dengan satu tas penuh barang, diikuti oleh Al yang membawa tas penuh yang lain.

"Kenapa kamu datang sama dia?" tanya Neandro ketus.

"Dia membantuku, kebetulan dia juga berbelanja jadi sekalian saja," sahut Ameera lagi. Dia segera meletakkan barang-barang itu di dapur.

Dia kembali ke depan dengan membawakan minuman dingin untuk Al dan dirinya sendiri.

"Kamu pikir setelah berhasil mengalahkan timku, kamu dapat pergi dengan adikku semaumu?" Neandro masih menatap Al dingin.

"Tentu tidak. Aku hanya membantu, bukan mengajaknya keluar. Lagipula lelaki mana yang akan tega membiarkan seorang perempuan belanja sebanyak itu sendirian?"

Neandro mengerutkan dahinya tak suka dengan kalimat Al. "Dia bisa naik taksi seperti biasa."

"Hemm …," Al sedang minum. "Tentu saja bisa. Namun tidak hari ini," sambungnya lagi.

"Ah sudahlah kalian terus meributkanku," Ameera duduk dan meminum minuman dinginnya. "Kak, tadi uangnya juga kurang jadi aku meminjam kepada Al."

Neandro melotot mendengarnya, "Kenapa kamu enggak nelpon? Kan aku bisa transfer cepat!"

"Al berdiri di dekatku dengan uang yang banyak. Aku hanya berpikir meminjam adalah cara cepat," sahut Ameera polos.

Neandro mendengkus kesal. Dia memutar bola mata dan segera mengambil uang di laci untuk membayar Al.

"Tidak perlu. Aku membantu Saveri, jadi itu gratis."

"Aku tidak menyukai hal gratis."

"Aku sudah bilang ini untuk Saveri. Jika kamu mau menggantinya, berikan saja itu untuknya."

Neandro melirik Ameera yang diam-diam meliriknya dari balik cangkir minum. "Dia pelangganmu?" tanyanya pada Ameera.

"Bukan," sahut Al tanpa memberi kesempatan Ameera menjawab. "Jangan pernah berpikir kalau semua orang yang bersikap baik dengan adikmu adalah pelanggannya. Aku hanya teman sekelas yang seringkali membantu karena dia juga sering membantuku dalam pelajaran."

Ameera melirik Al tak bereaksi.

"Baiklah. Ini untuk kamu, Ameera. Tolong katakan pada temanmu yang putra Gubernur itu untuk tidak lagi memberikan bantuan dalam bentuk apapun untuk kita. Aku tidak suka lelaki sombong."

Al hanya berdecak dan kembali menikmati minuman dinginnya.

***

avataravatar
Next chapter