webnovel

BAB 26: LENGAN DIBALAS LENGAN

BAB 26

Persetan dengan kata "rekan". Menurut Mile, Max berubah karena tidak paham pemikirannya. Mereka sudah di sini. Berhadapan. Saling mengadu ideologi dan kekuatan. Lupakan tata krama antar saudara atau semacamnya. Mereka sudah gelap karena darah di tangan masing-masing sejak saling pukul di depan Apo pertama kali.

Mile bahkan tak ragu menyeret dan melempar Max untuk menjebol dinding sebelum bertarung dengannya di langit.

"KEPARAT KAU MAX!! BAJINGAN!" teriak Mile. Dalam bentuk naga dan naga, mereka saling mengejar di udara. Mile mengerahkan segala kekuatannya untuk bertarung dengan Max hingga napasnya serasa berat.

BRAAKKKHHHHHH!!!

"SADARLAH KAU, BRENGSEK!" teriak Max tidak mau kalah. Mereka saling menyemburkan api, bahkan mencakar dan mencekik dalam kondisi badan tertumbuk.

BUAGHH! CRAKH!!

"AARRRRRRGGGGGHHHHH!!

"ARRRGHHHHHHHH"

Darah dan hantaman keras beruntun datang. Dan mereka berguling-guling saling memberangus dengan cakar.

Di atas tanah kotor yang berdebu. Jatuh lalu terbang lagi, meski akhirnya terbalik lagi ke bumi.

Mile benar-benar murka. Dia sempat tidak bisa kendalikan diri sendiri dan mencabut sebelah tanduk Max yang membuatnya oleng dan tersungkur.

Wajah Max menyuruk kerikil dan debu kotor, tetapi Mile belum puas juga. Dalam bentuk manusia kembali, mereka kemudian saling meninju dan mencekik hingga pakaian robek, tetapi akhirnya Max lah yang muntah darah di bawah kaki sang panglima perang.

BRAKHHHH!!

"UHOOOOOKKHHHH!!! MILE--!"

"AKU TIDAK MENGADAKAN PERNIKAHAN TANPA MEMIKIRKAN RESIKONYA, MAX!" bentak Mile. Kali ini, tubuh Apo dia sambar dari ranjang, lalu dia peluk dalam selimut sembari mendekati sang rekan.

Max belum sempat bangun saat Mile menginjak dadanya.  "Apa? Memang apa kesepakatanmu?" Iblis itu meludahkan darah di sudut bibirnya. "Cuh!!!"

"Harusnya kau paham kenapa namamu termasuk daftar tamu undangan itu," kata Mile. "Aku punya kaisar bukan untuk kutusuk dari belakang, paham? Kau pikir sumpah setia padanya itu permainan?"

Pandangan Max mengabur. Mungkin pertarungan belum seberapa, tetapi dia terlalu banyak menggunakan energi untuk memasang tabir di sekitar Mile sebelumnya.

Setiap terbangun. Jatuh lagi. Setiap akan merangkak. Lututnya melemas hingga nyaris bersujud kepada Mile.

"Aku mungkin akan membunuhmu bila bukan demi keselamatannya."

KRATAAAAKKKKHHH!!

"ARRRGHH!"

Mile menginjak satu lengan Max dan menekannya ke tanah.

"Tapi tetap. Lengan dibalas lengan, dan darah dibalas darah. Aku tak peduli apakah kau bisa berperang di sisiku lagi suatu hari nanti."

"ARRGHHH! ARRGGGGGHHHHH!!"

Mile sudah melesat hilang sebelum ngilu Max menyebar hingga ke seluruh tulang-tulangnya.

Apo tidak mengatakan sepatah kata pun. Rasa bersalah membuatnya ingin hati-hati berbicara, bahkan setelah Mile membawanya pulang.

Tak ada satu pelayan pun di rumah. Mereka ikut dimantrai Bas sebelum misi penculikan, dan sekarang rasanya tak ada yang peduli.

Bagaimana pun, Max baru selesai menyetubuhinya di depan Mile. Pasti kondisi di bawah sana masih sangat berantakan.

"Aku ini sebenarnya kenapa?" batin Apo. Sebelum peristiwa tadi, dia ingin dijauhi Mile. Namun, sekarang dia tak ingin Mile marah apalagi pergi darinya.

Bukankah impiannya sejak dulu terwujudkan? Kekecewaan Mile harusnya sangat bagus. Sebentar lagi, Apo pasti akan dibuang, ditinggalkan, dan bisa menyusul Bible dengan mudah.

"Tunggu sebentar," kata Mile. "Aku akan menelpon dokter kemari."

Apo tidak mampu membaca isi pikiran Mile. Raut iblis itu tetap datar saat merebahkannya di ranjang, lalu mengambil kotak P3K. Hei, sejak kapan ada benda itu di rumah ini? Mile harusnya tidak punya karena bukan manusia.

"Iya, iya. Hm. Secepatnya kemari. Aku butuh bantuanmu."

Apo rebah memunggungi saat mendengar percakapan serius Mile dengan dokternya. Dia menutup mata yang begitu lelah. Pasrah dengan segala yang akan terjadi.

"Aku tidur dengannya, Mile. Aku ini lacur yang disebut toilet kotor," kata Apo ketika sang suami duduk di sisinya. Giliran Mile tidak mengatakan apa pun. Iblis itu hanya membersihkan luka Apo dengan peralatan seadanya sebelum si dokter datang. "Pernikahan kita besok. Tapi kurasa, aku paham kenapa rekanmu marah. Kau memang berubah banyak hanya karena keegoisanku. Tentang Bible. Tentang semuanya. Kau tidak harus begini dan jadilah dirimu sendiri."

Mile memeriksa jari Apo. "Kau masih mengenakan cincin dariku," katanya. "Itu artinya tak ada rencana yang dibatalkan."

Dada Apo memanas. "Kau tidak paham ucapanku?" tanyanya.

Pelipis Mile berkedut pelan. "Kau lebih suka kukasari setelah semua ini?" dia meletakkan kapas ke baskom, lalu menghadapkan Apo padanya. "Dengar, kata-kata Max memang tidak salah. Tapi tidak sepenuhnya benar juga."

"Maksudmu, apa?"

"Aku tidak mengkhinati kaisarku."

Apo diam sejenak. "Tapi apa yang kau berikan padanya, Mile?" tanyanya. "Karena selalu ada harga di balik pencapaian."

"...."

"Kau pikir aku tak mengerti hal semacam ini?" Napas Apo tersendat karena menahan emosi. "Jika itu bisa mengancam nyawamu, maka keegoisanku tidak pantas, Mile," katanya. "Mengertilah hubungan kita sejak awal sudah cacat sekali."

Mile meremas kepalanya frustasi.

Apo memang belum tahu pengorbanan macam apa yang dilakukannya, tetapi prediksi lelaki itu benar. Hari setelah mereka bercinta pertama kali, Jeje memberi Mile beberapa nasihat. Apalagi Apo ternyata masih menginginkan pernikahan resmi yang pernah diimpikannya.

"Kau tak bisa bertindak sendiri, Mile," kata Jeje. "Itu menyalahi aturan. Tapi, jika diberikan pengertian, mungkin Yang Mulia menawarkan kesepakatan."

"Begitu."

"Ya, tapi jangan berharap harga yang diminta kecil. Karena Yang Mulia bisa saja meminta keabadianmu menjadi rusak. Maksudku, kau mungkin tidak bisa lagi--"

"Aku tahu, Phi. Aku sangat-sangat paham," sela Mile. Kemudian saat Apo tidur, Mile pun menyebrang ke alam iblis untuk mengurus hal itu. Kondisi di sana masih aman dan makmur, tetapi sang kaisar terkejut saat mendengarkan kesaksiannya.

"Kau bukan yang pertama mengatakan ini kepadaku," kata Rouhan. Iblis itu berjalan turun dari singgasananya. "Dan kupikir kau takkan jadi salah satu dari mereka."

"Saya minta maaf, Yang Mulia," kata Mile. Di balairung istana megah itu, dia berlutut memberikan penghormatan. "Tapi, saya tetap ingin mengatakannya agar Anda tahu."

Sang kaisar mengelus jenggotnya yang panjang. "Apa kontrak perkawinan tidak cukup untuk hubungan kalian?" tanyanya. "Aku khawatir kau menyepelekan aturanku."

"Bukan, Yang Mulia. Saya tak pernah berpikir begitu," balas Mile. Iblis itu berdiri tegap untuk mengutarakan maksud lebih mantab.

"Baik, beri aku alasan yang cukup meyakinkan," titah Rouhan. Kaisar itu memang bengis bila ada ada masalah menerpa, tetapi menghargai kejujuran bawahannya. Baginya, Mile cukup istimewa karena tak seperti yang lain. Iblis itu mau mengadu, dan tidak berkhianat dengan melakukan suatu hal tanpa sepengetahuannya.

Lamat-lamat, Rouhan mendengarkan penjelasan Mile. Tentang masalah Apo, kesulitan Mile dalam melaksanakan misi dari Bible, dan sindrom aneh yang sempat Apo derita.

Mile memutuskan untuk meringankan beban hati pasangannya yang terobsesi untuk bunuh diri. Kontrak jiwa diantara iblis memang bukan permainan. Bila Apo mengakhiri nyawanya sebelum durasi kontrak berakhir, maka Mile pun sampai pada kematiannya.

"Baik, terserah. Tapi apa yang akan kau tawarkan padaku," kata Rouhan. "Kuharap kata-kata tolol macam pengabdian tidak diikutkan di sini."

Mile pun memberikan kendali jantungnya kepada Rouhan. Itu artinya, bila suatu saat Mile tak setuju perintah kaisar, tubuhnya akan tetap menjalankan misi demi kerajaan. Dia akan jadi iblis tak sempurna yang hanya tahu mengacau, meski kemampuan bertarung tetaplah sama. Sementara kontrak perkawinan takkan lebih berharga daripada sumpah tersebut.

Mendengar pengakuan itu, kini Apo terpekur diam.

"Sekarang apa maumu?" tanya Mile dengan suara memberat. "Terakhir kali kita berdebat, kau sempat ingin menujuku. Tapi, aku sadar kau juga ingin pergi dariku."

Tubuh Apo seketika panas dingin "Maaf."

Mile menatapnya begitu dalam. "Jangan berkata begitu. Aku hanya ingin dengar harapan terbesarmu."

Apo pun menggulung dirinya seperti terenggiling. Dia terlalu takut membalas mata emas Mile, dan memilih mengatakannya sepelan mungkin. "Aku ingin pulang ke negaraku," katanya. "Aku muak di sini, Mile. Pikiranku berubah karena Milan-dan iblis-iblis yang menghuni di dalamnya-tidak semudah itu menerimaku." Dia menarik selimut hingga menutupi seluruh wajah. "Aku ingin ketenangan. Aku janji takkan bunuh diri seperti yang kau takutkan."

Mile tampak ingin tertawa, tetapi hanya kegetiran yang melukisi wajahnya. "Begitu?"

"Aku ingin kita saling menyembuhkan diri." Suara Apo bergoyang, dan sepertinya lelaki itu terisak pelan di dalam sana. "Dan jika kau mau, kita bisa memulai segalanya setelah hati benar-benar lega, pikiran waras, dan tidak melukai satu sama lain."

"Aku ingin sekali bersamamu, Mile. Tapi aku tidak tahu apa aku yang sekarang pantas ...."

Mile pun mendesah pelan. "Jadi, kau memang sebegitunya ingin pergi."

Sumpah demi apa pun, Apo tidak tahan mendengar kalimat tersebut. Dia meremas dadanya sendiri, dan tidak sanggup mengucap maaf lagi saat Mile mengantarkannya ke Bandara Malpensa.

***

Pagi itu, kepergian Apo disaksikan tujuh puluh ribu iblis lebih. Mereka merupakan rekan-rekan Mile yang diundang ke resepsi. Semuanya menggunakan tubuh Asia, pakaian rapi, gaya rambut yang ditata, bahkan ada yang membawa pasangannya juga.

Mereka di sisi Mile yang hanya diam mematung. Menatap pesawat Apo terbang semakin jauh.

Katedral D'uomo batal ramai oleh gaung sumpah pernikahan. Dan kata-kata maaflah yang ditelan para tamu undangan.

"Sebagai tamu, kami tidak apa-apa," kata Man. Dia menepuk bahu Mile pelan. "Kuharap, hubungan kalian membaik suatu hari nanti."

Pin ikut menghibur Mile dengan sebuah pelukan. "Kau bisa. Dia bisa. Karena hati selalu berubah," katanya. "Dia hanya butuh waktu, Mile. Toh dia takkan bisa menikah dengan orang lain karena ikatan kalian."  (*)

(*) Stempel iblis itu ikut abadi. Apo gak bakal bisa lepas dari Mile. Misal dia suka orang lain dan sumpah nikah sama tuh orang, abis sumpah langsung mati. 😊

"Yeah."

Man tersenyum tipis. "Iya, suamiku benar," katanya. "Kalau pun bisa, bukankah orang itu mati setelah menikah dengannya? Kau tak perlu takut dia akan dimiliki orang lain."

Bagi Mile, itu justru bukan kata-kata penghiburan. Sebab jika sejarah bisa ditulis ulang, dia takkan memilih jalan mengikat Apo secara paksa. Lelaki tercintanya itu berhak bahagia. Toh sekarang dia benar-benar ingin menjalani hidup sebagaimana wajarnya.

"Rasanya, sekarang aku paham kenapa Bible mengatakan paling suka saat kau tersenyum ...." batin Mile sembari menatap kepergian pesawat Apo. "Atau seandainya ikatan kita bisa dibatalkan, maka aku akan melakukannya untukmu. Bahkan jika menghidupkan Bible masih mungkin, maka aku takkan melarangmu lagi bersamanya."

Hari itu Mile mendadak teringat  momen kematian Davikah. Ah, bagaimana ekspresi bocah itu jika tahu kakaknya seperti ini? Dia pasti akan membenci dongeng "Devil Bride" yang selama ini dikagumi.

Bersambung ....