webnovel

BAB 13: BOLEHKAH, MILE?

BAB 13

Max batuk darah begitu bisa duduk leluasa. Iblis itu muntah cairan bening juga. Aneh, Apo tak pernah melihat yang seperti itu dalam seumur hidupnya.

Apa itu tanda Max terluka parah? Memang sejauh apa Mile mengeluarkan kekuatannya?

"Aku tidak—ehem, maaf apa aku mengganggu kalian?" tanya Apo. Dalam setelan piama hitam, dia membawa seekor kucing terluka yang kini terdekap di pelukkannya.

"Tidak. Samasekali tidak." Mile langsung melompat turun. "Ada apa, Apo? Kenapa mendadak kemari?"

Max melotot di atas ranjang. Rautnya sangat syok seolah tak pernah terluka separah itu.

"Aku tadi jalan-jalan di halaman," kata Apo. Dia tak berhenti mengelus meski si kucing sudah mulai tertidur. "Terus kutemukan dia. Sepertinya habis berkelahi dengan yang lain. Jadi, boleh kupelihara? Setidaknya sampai sembuh saja."

Percaya tak percaya, mata Mile sempat berkilat saat menatap binatang mungil lusuh itu. "Tentu, rawatlah," katanya. "Lagipula rumah sekarang tempat tinggalmu. Kenapa masih minta izin?"

Mereka saling bertatapan lurus.

"Ah, anu ... begitu." Apo tampak gugup untuk beberapa saat. Sadar atau tidak sadar, dia juga melirik ke dalam sekilas sebelum pamit. "Baiklah, terima kasih. Kucarikan dia tempat istirahat dulu."

"Hm."

"Selamat malam."

Ketika punggung Apo berbalik, Max bisa merasakan atmosfer ruangan itu berubah. Tadi, dia mungkin mengatakan hal apa pun semaunya. Sekarang, dadanya justru ikut ngilu melihat sorot mata Mile. Seolah-olah rekannya jatuh cinta dan ingin mendekap, tapi sekuat tenaga bertahan di tempat.

"Luka apa yang kau pendam sendirian, Mile? Apakah rekanmu ini tidak pantas tahu? Padahal kita sudah sempat melewati hidup dan mati bersama di medan perang," kata Max dalam hati.

"Yakin tak menerima caraku?" tanya Max. Iblis itu sepertinya tidak marah, meski darah sudah tumpah-tumpah di pangkuannya. "Aku bisa melakukan segala cara sampai dia melihatmu."

"Cukup. Aku bisa mencabut nyawamu sungguhan jika melewati batas."

"Oh, ya?"

"Kau takkan paham pikiran seseorang yang memiliki ikatan sepertiku," kata Mile tegas. "Bahkan kakakku yang sudah meniduri sejuta orang."

Apo lega saat dia menemukan sofa telur di ruang bersantai. Benda itu bulat, mungil lucu, empuk, dan cocok untuk si kucing terluka yang napasnya patah-patah. Meski sudah diusapi dengan alkohol, darah segarnya tetap ada yang merembes. Bulu-bulu putih rontok di sekitar sofa itu.

Apo pun sangat hati-hati saat menyelimuti menggunakan handuk rambut. "Tenang, Cattawin Junior. Ini tidak akan sakit, oke?" bisiknya pelan. "Kau justru hangat karena menggunakannya."

"Lagipula aku belum benar-benar memutuskan. Akan pelihara husky atau kucing saja." Batin Apo.

***

"Memang kenapa, Phi? Bukankah kau sangat suka kucing?"

Apo pun tersenyum manis. Entah kenapa dia bahagia mengingat percakapan sederhana Sang kekasih benar. Kenapa memaksakan diri?

Cattawin memamg takkan tergantikan, meski kucing putih ini datang. Dia tetap Cattawin Apo yang paling menggemaskan selama mereka bersama-sama dulu.

"Letakkan di dekat perapian saja." Suara Mile mendadak terdengar. Apo pun refleks menoleh ke sisi, tetapi iblis itu justru tidak ada.

"Ah?"

Mile ternyata baru turun tangga dari lantai dua. Iblis itu melangkah layaknya manusia normal dan tak lagi mengejutkan Apo dengan kehadirannya yang tiba-tiba.

"Bukankah baru kau pungut dari luar?"

"Iya."

"Aku tak suka binatang basah. Tapi dia pasti cepat kering kalau istirahat di sana."

Apo berkedip-kedip bingung. Sejauh yang dia tahu, Mile sungguh kasar saat mengatakan sesuatu. Yang barusan juga agak membuatnya sangsi, tetapi nadanya lebih nyaman didengar telinga.

"Umn, kalau begitu pasti akan kupindah lagi," kata Apo. Keningnya mengernyit dalam saat Mile ikut hadir menjenguk, bahkan mengelus pucuk kepala si kucing.

"Dia kucing asli dengan umur 7 hari," kata Mile. Rasa-rasanya Apo paham kenapa sejak tadi dia sempat begitu selidik, tapi sekarang melemahkan penjagaan. "Namanya Archilles. Dan si pemilik sudah membuangnya karena sempat disangka mati."

DEG!

"D-Disangka mati? Kenapa bisa?"

"Ya karena sempat tak bernafas," kata Mile. Dari posisi jongkok, iblis itu beranjak menjulang di sisi Apo. "Dia dibuang setelah diajak berkelahi.Dan karena ibunya benci kucing sejak awal, bangkai dia langsung dimasukkan kardus ke sembarang tempat."

Jemari Apo saling meremas mendengarnya. "Darimana kau tahu semuanya, Mile?" Dia mengerjap kepada si kucing. "Apa bisa membaca pikiran seperti kakakmu?"

"Bukan. Imajinasi kucing mana bisa kutelaah," balas Mile. "Lebih tepatnya melihat masa lalunya."

"Oh ...."

"Jadi, itu kemampuan lain yang Mile miliki," batin Apo. "Apa lagi yang belum kutahu?"

Apo pun menggeleng pelan sebelum menatap sang suami.

"Intinya dia akan bernasib buruk jika kembali lagi," kata Mile. "Jadi, terserah akan kau apakan."

"Aku ... Aku boleh memeliharanya sampai nanti-nanti?" tanya Apo memastikan.

Mile hanya meliriknya sekilas, tetapi Apo seperti bisa membaca perasaan iblis tersebut. Rasanya aneh. Hal sederhana ini membuatnya panas dingin. Namun, daripada sensasi itu berlanjut lagi, Apo pun segera mengambil si kucing dalam gendongan.

"Kalau begitu kupindahkan dia dulu," kata Apo. Terlalu gugup, dia sampai melewati sang suami langsung. Langkahnya terdengar mengetuk cukup berisik di ruangan luas itu, seolah ingin segera menghilang.

"Apo."

Dia hanya tak menyangka Mile mengawali percakapan setelah hampir empat hari ini. "Ya?" sahut Apo tanpa berbalik.

"Besok kau ada wawancara pekerjaan seharian?"

"Iya."

"Di mana saja?"

Apo berpikir sejenak sebelum menjawab. "Umn, meski entah darimana, kupikir kau sudah tahu sendiri detailnya."

"Aku hanya ingin memastikan."

Mile menyembunyikan kepalan tangannya waktu itu. "Jika tak bertanya, menurutmu kapan kita akan bicara?" batinnya kesal.

"Di Perusahaan Alegama, Prada, Pirelli, Fiera Milano, Banca Intensa-ke mana pun. Aku hanya ingin mendapatkan pekerjaan secepatnya," kata Apo. "Jika tak mendapat posisi bagus, tak masalah. Lagipula pengalamanku justru banting setir di dari manajemen sentral."

Mile malah terdiam lama. "...."

"Kenapa, Mile?" tanya Apo penasaran. Lelaki mancung itu baru berbalik karena merasa topik ini teramat penting.

"Kau tak harus berusaha sejauh itu," kata Mile lugas. "Aku bisa biayai semuanya. Kau mau apa bilang saja. Lagipula aku tak pernah gunakan hartaku untuk banyak hal."

Apo pun diam begitu lama. Dia hanya menatap Mile, tampak kecewa, tetapi kemudian tersenyum manis. "Aku tahu," katanya. "Dilihat dari mansion ini, kau pasti iblis dengan status sosial yang tinggi. Maksudku, lebih-lebih di kalangan manusia."

"...."

"Aku juga ingat kau mengaku punya beberapa rumah lain," kata Apo lagi. "Tapi, maaf. Apapun latar belakangmu, aku tak akan bergantung selama bisa."

Apo kira Mile akan menentangnya seperti Bible dulu. Lebih-lebih perilakunya jadi mending seiring waktu. Apo rasa, dia tak sepatutnya lengah hanya karena-

"Itu bagus, aku menghargai siapa pun yang suka bekerja keras," kata Mile. Langsung membuat pikiran Apo jungkir balik.

"Apa?"

Mile mendadak berjalan mendekat. "Hanya saja, sampai kapan kau menghindariku seperti ini, Apo?" tanyanya. Apo sampai meremas handuk si kucing tanpa sadar ketika pipinya diraih. "Kau dewasa, aku dewasa. Kenapa tidak bicarakan ini dengan cara yang lebih baik?"

Deg ... deg ... deg ...

"Maaf?"

"Jangan pura-pura tak mengerti. Aku sangat menahan diri tidak mendekatimu hingga hari ini."

Apo pun terperangah ketika ibu jari itu menekan lembut bibirnya. Rasanya ingin menolak, entah kenapa tubuhnya justru kaku di tempat.

"Bisa kau memberiku waktu lebih?" tanya Apo.

"Untuk apa?" tanya Mile balik.

***

Memikirkan kekasihmu lagi?

Apo sempat berprasangka Mile akan mengatakan hal-hal sekasar itu. Namun, kali ini mereka hanya terus berpandangan. Apo sampai merona tipis melihat ada pantulan wajahnya di mata Mile.

"Aku tidak tahu pasti," kata Apo.

"Menurutmu aku bisa terima alasan semacam itu?" bantah Mile.

Apo yakin, Mile pasti mendengar detak jantungnya yang mulai berisik. "Aku tak berharap lebih, Mile-"

"Kalau begitu berhenti." Kala dagunya ditarik, Apo pun tersentak dan memejamkan mata. Bulu mata halus ikut gemetar, sementara Mile justru menikmati pemandangan itu. "Karena sekarang atau besok, kau pasti tetap berurusan denganku. Aku suamimu, kau milikku. Itu takkan berubah mulai sekarang."

Sambil menahan rasa terbakar di lehernya, Apo pun menahan diri untuk berteriak. Dia tak mau dianggap ketakutan hanya karena lari lagi dari situasi, lebih-lebih saat Mile menginginkan ciuman darinya.

"Aahhh ... mmhhh ...."

Bibir mereka beradu. Lidah mereka bergulat. Apo juga berusaha membalas, meski menekan batinnya sendiri. Hanya saja, setelah membuat Mile puas menjelajahi mulutnya, kata-kata yang tersumpal dalam dada justru keluar dengan sendirinya.

"Apa ada cara untuk membatalkan kontrak kita?" tanya Apo.

DEG

Seketika bola mata Mile pun menggelap.

"Tidak ada."

Bersambung ....