webnovel

Awal Cerita

Dua hari yang lalu, Katrina Hillman telah berhasil lulus dari sebuah Universitas yang cukup ternama di kota Venezia, Italia. Langkah selanjutnya yang harus dia jalani adalah melamar pekerjaan sesuai dengan keahliannya, sekretaris. Menjadi seorang sekretaris di sebuah perusahaan atau kantor apapun yang berskala menengah ke atas merupakan pekerjaan impiannya Katrina sejak kecil. 

      Meskipun Katrina berasal dari desa, dia sangat ingin bekerja di kota, terutama di kota Venezia, untuk mencari pengalaman dan meningkatkan taraf kehidupannya sendiri. Bermodal ilmu kesekretarisan yang sudah mumpuni, kesexian, kecantikan, dan kepintarannya, Katrina sangat yakin bisa mendapatkan pekerjaan impiannya tersebut dengan mudah dan cepat. 

      Selama kuliah dulu, Katrina tinggal di sebuah apartemen yang sekarang bersebelahan dengan seorang kenalannya yang belum lama dia kenal, Anna Marine, dan sesekali pulang kampung untuk mengobati kerinduan terhadap kampung halaman dan kedua orang tuanya. Sebagai seorang anak tunggal dari keluarga peternak dan petani di desa, Katrina bertekad membahagiakan kedua orang tuanya dengan jalan kesuksesannya sebagai seorang sekretaris kelak. 

      Banyak lelaki yang berusaha merebut hati Katrina selama mengenyam pendidikan di Universitas hingga sekarang ini. Namun, tidak satupun Katrina hiraukan, karena Katrina hanya fokus pada keberhasilan kuliahnya terlebih dahulu. Sehingga, dari awal kuliah hingga sekarang Katrina masih jomblo. Katrina punya prinsip dan kriteria tentang seorang lelaki impiannya yang bisa memilikinya seutuhnya. 

      Berbeda dengan teman-temannya satu kelas yang kebanyakan terlihat sexi dan cantik dengan make-up dan operasi plastik, penampilan Katrina sangat alami, sederhana, dan pakaiannya cenderung tertutup. Meskipun demikian, Katrina tetap menyimpan pesona kecantikan dan kesexiannya yang luar biasa di antara teman-teman sekelasnya tersebut. Katrina tidak suka berbasa-basi kepada siapapun, termasuk kepada kedua orang tuanya.

      Setelah lulus kuliah, sebagian besar teman satu kelasnya mencari pekerjaan sekretaris ke luar kota bahkan ke luar negeri. Namun, tidak demikian dengan Katrina. Dia masih bertahan di sebuah kota di mana dia dulu mengenyam pendidikan tinggi kesekretarisan, Venezia. Selain itu, Katrina tidak ingin jauh meninggalkan kedua orang tuanya di desa agar apabila dia kangen kepada mereka berdua Katrina bisa dengan cepat menemuinya.

      Di pagi hari ini sekitar pukul 6 lebih sedikit Waktu Bagian Italia, Katrina sudah berdandan rapi dan wangi menuju ke tepi Rialto Bridge atau Jembatan Rialto yang sudah mulai ramai lalu lalang orang dan perahu. Seperti biasanya, Katrina memakai jaket tebal berbulu di bagian kerahnya, celana kain panjang, sepatu boot wanita, dan topi kain rajutan dengan bulu di atasnya. Katrina tidak bermake-up apalagi memakai lipstik dan rambutnya yang panjang lurus hitam bercampur pirang dibiarkan begitu saja tergerai.

Dengan membawa sebuah tas selempang berisi sebuah notebook dan pulpen, Katrina sangat berharap bisa menemukan sesuatu yang sangat berharga di tepi Jembatan Rialto sebelum mulai mencari pekerjaan impiannya. Saat ini, Katrina duduk di sebuah kursi besi seorang diri sambil menikmati udara pagi yang sejuk dan pemandangan yang menakjubkan di tepi Jembatan Rialto. 

Tidak beberapa lama kemudian, agak dari kejauhan tampak lima pria datang menuju ke sebuah café di dekat Jembatan Rialto. Kelima pria tersebut semuanya berjas dan bersepatu pantofel. Salah seorang pria tersebut berada di depan sebagai pemimpinnya.

      "Boss, bagaimana nasibku dan ketiga temanku ini satu bulan ke depan?" Seorang anak buahnya bertanya kepadanya dengan serius. 

      Paul James segera berhenti berjalan setelah mendengar pertanyaan seorang anak buahnya tersebut, lalu Paul menghadap kepadanya.

      "Kamu sudah bertanya berapa kali kepadaku tentang nasibmu dan ketiga temanmu ini?" Paul balik bertanya kepadanya dengan marah. 

      "Aku jawab sekarang dan kalian semua jangan bertanya kepadaku lagi tentang ini!" Paul berkata dengan marah sambil mengacungkan jari telunjuk kanannya kepada keempat anak buahnya tersebut. 

      "Apakah kalian semua sudah mengerti?" Paul bertanya masih marah. 

      Keempat anak buahnya tersebut sekarang menunduk di hadapan pemimpinnya tersebut, lalu Paul melepas topi Fedoranya dengan menghembuskan nafas kesal. Biasanya, Paul memakai topi Fedora berwarna coklat berpadu dengan jas dan celana hingga sepatunya juga berwarna coklat. Tetapi, hari ini Paul memakai topi Fedora berwarna putih, karena dia merasa bosan dengan topi Fedoranya yang berwarna coklat tersebut. Sementara itu, sudah sebulan ini Paul masih memakai dasi kupu-kupu berwarna hitam bercampur putih, karena Paul belum bosan memakainya. 

      "Bagaimana kalau nanti kita berempat sampai dipecat boss besar, boss?" Seorang anak buahnya bertanya kepadanya dengan penuh cemas. 

      "Itu sudah konsekuensi dari keputusannya boss besar kita dong!" Paul menjawabnya agak membentak, lalu dia memakai kembali topi Fedoranya. 

      Katrina sempat melihat dan memperhatikan mereka berlima cukup lama dari tempat duduknya. Batinnya, Katrina menganggap kelima pria tersebut adalah orang-orang penting, terutama pemimpinnya, sehingga Katrina juga sangat berharap mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dari dia, terutama sangat berharap bisa mendapatkan pekerjaan impiannya. 

      Paul masih berbicara kepada keempat anak buahnya tersebut.

      "Jawabanku adalah jika kalian berempat membantuku dengan sungguh-sungguh, aku pasti akan melobi boss besar untuk terus memperpanjang kontrak kerja kalian berempat!" 

      "Apakah kalian semua sudah mengerti?!!" 

      "Sudah mengerti, boss!" Keempat anak buahnya tersebut menjawabnya serentak. 

      "Pertanyaan-pertanyaan kalian membuatku semakin pusing dan gila!" Paul masih marah, lalu membalikkan badannya dan segera berjalan lagi ke depan menuju ke sebuah Café langganannya. 

      Keempat anak buahnya segera mengikutinya lagi berjalan di belakangnya. Ketika Paul dan keempat anak buahnya itu hampir berada tepat di hadapan Katrina, Katrina segera menghadangnya. 

      "Maaf, bolehkah aku mengganggu kalian semua sebentar?" Katrina mulai memberanikan diri. 

      "Mengganggu sebentar?" Paul bertanya karena kurang paham. 

      "Kamu ingin mengganggu kita semua sebentar dengan apa?" Paul bertanya lagi. 

      Katrina tersenyum.

      "Boss, maksud dia itu…..!" Salah seorang anak buahnya mencoba menjelaskannya dengan agak berbisik. 

      "Diam kamu!" Paul memotongnya dengan marah. 

      "Aku tidak sedang bertanya kepadamu!" Paul marah kepada seorang anak buahnya tersebut. 

      "Aku sedang berbicara dengan perempuan ini!" Paul berkata dengan marah kepada seorang anak buahnya tersebut. 

      Katrina sekarang diam dengan memperhatikan baik-baik mereka semua, terutama Paul.

      "Biarkan dia saja yang menjawabnya! Kamu tidak berhak menjawab bahkan menjelaskannya kepadaku, karena aku sedang tidak membutuhkanmu!" Paul menjelaskannya dengan marah kepada seorang anak buahnya tersebut. 

      Seorang anak buahnya tersebut segera terdiam dengan menundukkan wajahnya di dekat pemimpinnya tersebut.

      "Maaf, pak. Maksudku tadi aku ingin bertanya kepada Anda saja." Katrina berkata dengan hati-hati, lemah lembut, dan tersenyum kepada Paul. 

      "Bertanya tentang apa?" Paul bertanya sangat serius kepada Katrina. 

      "Tentang kalian semua." Katrina menjawabnya singkat dengan tersenyum sambil menyingkirkan rambutnya kembali ke belakang ketika angin sejuk agak kencang membuat wajahnya tertutup. 

Paul sejenak menatap tajam Katrina dengan serius mulai dari topi kain rajutannya, jaket tebal berbulu di kerah, celana kain panjang, dan kedua sepatu bootnya. 

      "Silakan, nona!" Paul sekarang mempersilakan Katrina bertanya kepadanya. 

      "Kalau pertanyaanmu tidak sulit, pasti aku bisa menjawabnya!" Paul berkata.

      "Baik! Terima kasih banyak sebelumnya ya pak!" Katrina menjawabnya dengan tersenyum lagi. 

      "Apakah Anda dalam masalah, pak?" Katrina langsung to the point.

      Paul sekarang diam dengan melipat tangan kirinya dan tangan kanannya menopang dagunya sambil tatapan tajam kedua matanya kembali mengarah ke Katrina. Tidak beberapa lama kemudian, Paul menghembuskan nafasnya agak panjang dan menganggukkan kepalanya empat kali.

      "Sebenarnya sih iya aku semua dalam masalah, nona!" Paul menjawabnya dengan menunduk, lalu membelakangi Katrina untuk menendang beberapa kerikil di bawahnya secara cepat dengan perasaan kesal ke arah sungai. 

      "Pergilah kalian semua menjauh dariku!!" Paul berkata agak keras setelah menendang beberapa kerikil tersebut.

      Katrina dan keempat anak buahnya melihatnya.

      "Kalau boleh tahu, masalah apakah itu, pak?" Katrina bertanya lagi dengan serius. 

      Tidak beberapa lama kemudian, Paul menghadap Katrina lagi.

      "Tapi…tapi…kalau boleh tahu, kamu tahu dari mana bahwa aku dan anak buahku ini sekarang dalam masalah?" Paul bertanya dengan mencurigai Katrina. 

      "Aku sejak tadi duduk di sini dan sempat memperhatikan kalian semua dari sini, pak." Katrina menjawabnya dengan tersenyum. 

      Paul segera diam dengan menatap tajam Katrina lagi dari ujung kepala hingga ujung kedua kakinya. Katrina pun sekarang menjadi diam. 

      "Boss, sebaiknya kita semua ke Café itu untuk melanjutkan obrolan-obrolan!" Salah seorang anak buahnya membisikinya. 

      Paul sekilas melihat ke sebuah Café langganannya yang hendak dituju sejak tadi. 

      "Kenapa?" Paul bertanya kepada seorang anak buahnya yang membisikinya barusan. 

      "Kaki kita semua bisa pegal berdiri di sini, boss!" Seorang anak buahnya itu menjawabnya. 

      Paul diam lagi dan sesekali melirik Katrina dengan tajam dan cemberut. 

      "Oke!" Paul menjawabnya dengan mengangguk. 

      "Nona, mari ikuti aku ke Café itu untuk melanjutkan obrolan-obrolan kita." Paul mengajak Katrina dengan menunjuk ke Café langganannya. 

      "Baik, pak!" Katrina menjawabnya. 

      Setelah itu, Paul berjalan lebih dulu menuju ke Café langganannya, sedangkan keempat anak buahnya dan Katrina mengikutinya dari belakang. Tidak beberapa lama kemudian, Paul, keempat anak buahnya, dan Katrina duduk di kursi-kursi Café yang berada di luar menghadap sungai dan beberapa pohon rindang di tepinya. 

      Sebelum memulai obrolan-obrolannya lagi dengan Katrina, Paul memerintah salah seorang anak buahnya memesan enam cangkir kopi Cappuccino dan beberapa roti Sandwich. Katrina dan Paul duduk berdekatan, sedangkan keempat anak buahnya Paul duduk berderet di samping kanannya. Setelah membuka topi Fedoranya, lalu ditaruh di pangkuannya, sehingga kepala botaknya terlihat, Paul menyulut sebatang cerutu kesukaannya. 

      "Aku sangat berharap kamu bisa membantuku juga, nona!" Paul berkata kepada Katrina dengan menghembuskan asap cerutunya. 

      "Aku akan membantu Anda apabila aku sanggup, pak!" Katrina menjawabnya dengan tersenyum.

      Tidak beberapa lama kemudian setelah Katrina berkata, cangkir-cangkir berisi Cappuccino hangat dan piring-piring kecil berisi Sandwich segera dihidangkan oleh seorang pelayan. 

      "Bisakah kamu memperkenalkan kepadaku siapa nama kamu dan siapa kamu sebenarnya terlebih dahulu sebelum nanti kamu bisa membantuku?" Paul bertanya kepada Katrina sambil memegang cangkirnya untuk menikmati kopi Cappuccino dan menatap Katrina. 

      Katrina segera menjawabnya.

      "Namaku Katrina Hillman." 

      "Nama panggilanku Katrina."

      "Dua hari yang lalu aku lulus kuliah S1 jurusan sekretaris dari Universitas Venezia."

      "Sekarang aku sedang mencari pekerjaan sebagai sekretaris." 

      "Aku berasal dari desa Malcesine." 

      Paul seketika itu sedikit terserdak kopi Cappuccinonya setelah tahu bahwa Katrina adalah seorang lulusan Universitas Venezia jurusan sekretaris yang saat ini sedang mencari pekerjaan sebagai sekretaris. 

Salah seorang anak buahnya segera memijat-mijat tengkuknya Paul. 

      "Sekretaris?" Paul bertanya dengan sangat terkejut. 

      Paul sekarang terbatuk-batuk, karena pengaruh dari sedikit terserdak kopi Cappuccino dan roti Sandwich tadi.

      "Kamu seorang lulusan sekretaris dari Universitas Venezia dan ingin menjadi sekretaris?" Paul bertanya lagi untuk memastikannya setelah berhenti dari batuk-batuk. 

      "Betul, pak!" Katrina menjawabnya singkat dengan mengangguk dan tersenyum. 

      Setelah itu, Katrina mulai menyeruput kopi Cappuccinonya sejenak, lalu mulai menikmati sebuah roti Sandwichnya. 

      "Kebetulan sekali kalau begitu, nona!" Paul berkata, lalu tertawa terbahak-bahak. 

      Katrina sangat kaget dengan gelak tawanya Paul hingga membuatnya tersenyum-senyum sendiri. 

      "Bagaimana caranya aku bisa membantu permasalahan Anda, pak?" Katrina bertanya kepada Paul, sehingga Paul segera berhenti tertawa. 

      "Permasalahan apa sebenarnya sih, pak?" Katrina bertanya lagi untuk memastikannya dia bisa membantunya apa tidak.

      Paul sekarang mengambil dompetnya di saku belakang celananya.

      "Ini kartu namaku!" 

"Di kartu namaku itu ada alamat kantorku!" 

      Katrina menerima kartu namanya Paul, lalu membacanya sejenak.

      "Nanti siang jam 1 tepat datanglah ke kantorku!" Paul menyuruh. 

      "Aku sangat membutuhkan kamu untuk segera bekerja denganku, Katrina!" Paul memberitahukannya. 

      "Baik, pak." Katrina menjawabnya. 

      "Tapi apakah aku nanti bekerja untuk Anda sebagai sekretaris, pak?" Katrina bertanya dengan menyungging senyum manisnya. 

      "Oh tentu! Tentu saja sebagai sekretaris, nona!" Paul menjawabnya dengan sangat mantap, lalu dia tertawa terbahak-bahak lagi. 

      "Baik, pak! Terima kasih banyak, pak!" Katrina berkata dengan tersenyum-senyum. 

      "Kita akan keluar dari kesulitan ini!" Paul berkata lirih kepada salah seorang anak buahnya yang sejak tadi masih memijat-mijat bahu dan tengkuknya. 

      Salah seorang anak buahnya itu segera memberitahukan kepada teman-temannya di dekatnya. Dia dan ketiga temannya pun tertawa-tawa bahagia. Beberapa pengunjung Café di sekitarnya menjadi sangat terganggu dengan tertawa mereka. 

      "Kalau boleh tahu, sebenarnya permasalahan apa sih, pak?" Katrina bertanya lagi kepada Paul, karena pertanyaannya itu tadi masih belum dijawab Paul. 

      "Namaku Paul James!" 

      "Boss besarku biasanya memanggilku Paul saja."

      "Dan, aku sangat senang dipanggil Paul daripada James atau Paul James sekalian." 

"Aku asisten pribadinya boss besarku."

      "Empat orang tolol itu adalah bawahanku." 

      Setelah itu, Paul tertawa-tawa. 

      "Permasalahan sebenarnya, pak?" Katrina bertanya lagi dengan serius untuk segera memotong tertawanya Paul agar Katrina bisa segera mengetahuinya. 

      Seketika itu, Paul berhenti tertawa-tawa.

      "Kamu jangan kuatir, nona!" 

"Boss besarku pasti bisa menggajimu besar sekali!" 

"Sebesar Istana Ducale, nona!" 

Paul kembali tertawa terbahak-bahak. Katrina pun kembali tersenyum-senyum sendiri melihat gelak tawanya Paul, lalu Katrina menikmati Cappuccino dan Sandwichnya perlahan-lahan. 

Paul sekarang berhenti tertawa.

"Permasalahannya adalah boss besarku mulai dipusingkan dengan catatan-catatan keuangan dari klien-kliennya!" 

Katrina segera berhenti menikmati Cappuccino dan Sandwichnya, lalu Katrina menyimak baik-baik perkataan-perkataannya Paul.

"Aku dan keempat orang tolol itu akan dipecatnya apabila tidak becus membantunya."

"Melihat lembaran-lembaran kertas yang hampir semua dipenuhi angka-angka saja aku sudah mual-mual apalagi melaporkannya ke boss besarku." 

 "Jika aku langsung bilang tidak bisa ke boss besarku, tentu saja aku segera dipecat dan begitu juga dengan keempat orang tolol itu." 

"Itu masih mending bila dibandingkan dilempari sebuah kursi besi ke arahku dulu, lalu dipecat dengan teriakannya!" 

Katrina sekarang tersenyum-senyum setelah mendengarnya.

Paul kembali berkata kepada Katrina. 

"Dan, keempat orang bodoh itu masih lebih baik aku." 

Paul sekarang tertawa-tawa lagi. 

"Baik, pak! Nanti aku pasti ke kantor Anda!" Katrina menyanggupinya. 

Seketika itu, Paul berhenti tertawa.

"Terima kasih banyak, nona!" 

"Kamu adalah harapan besarku saat ini!" 

Paul kembali tertawa-tawa. 

"Izinkan aku sekarang untuk pulang agar aku bisa menyiapkan apa saja yang dibutuhkan boss besar Anda nanti apabila aku ditanya tentang syarat-syarat sebelum bekerja untuknya, pak!" Katrina menyelanya dengan pamit kepada Paul. 

"Baik, nona! Silakan…silakan!" Paul mempersilakan Katrina pulang ke apartemennya. 

Katrina segera beranjak dari kursinya untuk berjalan pulang ke apartemennya. Paul kembali tertawa terbahak-bahak lagi. Tetapi, seorang pria separuh baya yang berkumis tebal segera mencegahnya, lalu membentaknya dengan marah-marah. Kemudian, dia menegurnya sambil mengancamnya. Paul pun ketakutan hingga membuatnya segera membayar ke kasir, lalu menyingkir dari Café itu bersama keempat anak buahnya menuju ke kantornya lagi. Setibanya di kantor, Paul menceritakan semuanya tadi kepada boss besarnya, David Cordoba yang sering dipanggil Mr. David. 

Paul dan keempat anak buahnya sejak kemarin hingga saat ini sangat leluasa pergi kemana-mana, karena boss besarnya belum membutuhkan mereka. Sejak pagi pukul enam hingga pukul sepuluh menjelang siang saat ini, majikannya itu duduk seorang diri di dalam ruang kerjanya mencoba membukukan transaksi-transaksi keuangan. Boss besarnya itu sangat senang mendengar cerita-cerita dari Paul bersama Katrina tadi. 

Next chapter