1 1 - Dewa Mimpi

"Kalian harus saling mencintai, bukan sebagai saudara kembar melainkan sebagai pasangan,"

Kalimat itu diucapkan Vina, Mama kandung Farhan dan Farhana, panggil saja Ahan dan Hana, setelah mengajak Ahan dan Hana berkumpul di ruang tamu usai pesta ulang tahun mereka yang ke tujuh belas.

Vina sempat mengurungkan niat mengatakan kebenaran kepada kedua anak kembarnya karena tidak masuk akal. Dia jelas tahu permintaan itu tidak akan begitu saja diikuti Ahan, apalagi Hana. Kekhawatiran terbesar Vina adalah membuat Hana sedih karena mau tidak mau Hana harus melupakan Abyan, sahabat sekaligus cinta pertamanya.

Hana menggaruk rambutnya yang tidak gatal. "Maksudnya?"

Vina terdiam sejenak. Sedari tadi dia berpikir kalau Hana akan memberontak. Bagaimana lagi, raja para dewa sudah memberinya amanah untuk mengandung serta melahirkan Ahan dan Hana, sekarang waktunya Vina untuk mengungkapkan kebenarannya. Sekarang atau tidak sama sekali.

"Sebenarnya kalian bukan manusia, melainkan dewa takdir yang dilahirkan dari rahim Mama,"

Hana tersentak, beranjak dari sofa. Tatapannya berubah menjadi tidak enak kepada Vina.

Sebelum Hana membantah, Ahan mengambil kesempatan bicara lebih dulu. "Kalau memang kita dewa takdir, kenapa harus saling mencintai?"

Mulut Hana terkunci. Dia masih memandang Mama tak percaya. Dalam pikirannya berkecamuk bagaimana bisa dia mencintai kakak kandungnya sendiri sebagai pasangan?

Vina menghela napas. "Dewa takdir diciptakan untuk saling mencintai, delapan belas tahun yang lalu, kalian sepasang suami istri yang sudah hidup ratusan tahun, tetapi, Hana diam-diam mencintai manusia, akhirnya, kalian dimatikan dan dilahirkan kembali tanpa mengingat apapun,"

Hana berdelik langsung menuju kamarnya. "Aku lebih baik mati dan dilahirkan lagi daripada harus ngelupain Abyan,"

"Hana! Mama belum selesai bicara!" Vina berseru sebelum Hana masuk ke kamar. "Kamu dan Abyan cuma sahabat, kalau dia tahu tentang perasaan kamu, persahabatan kalian bisa hancur, kamu mau kehilangan dia?"

Hana mengabaikan pertanyaan Vina.

"Apa harus pindah kota supaya kamu bisa lupain Abyan?"

Hana berdecak, berhenti sebelum mendorong pintu kamarnya. Meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan, Hana tetap mencintai Abyan, bahkan sudah banyak upaya yang dilakukannya untuk melupakan sahabatnya itu, tetap tidak bisa.

"Aku nggak mau pindah!" Hana berbalik, menghadap Vina dengan cemberut. Kejengkelan tergambar jelas di wajahnya. Matanya menatap kesal kepada Ahan dan Vina. "Bilang ke dewa para dewa, jangan lahirin aku sebagai dewa, aku pengen jadi manusia!" serunya.

Vina terenyak mendapatkan reaksi sekeras itu dari Hana. Remaja itu bergegas membanting pintu.

Ahan menarik napas panjang menatap kejadian itu. Dia berpaling kepada Vina yang masih menatap ke arah pintu kamar Hana. Hatinya terasa pedih, ingin sekali menangis. Vina hanya takut kehilangan Hana dan Ahan kalau mereka tidak bisa saling mencintai sebagai pasangan. Seharusnya, Vina langsung pindah kota saat pertama tahu kalau anak gadisnya jatuh cinta kepada Abyan.

Ahan meraih tangan Vina, menggenggamnya. Perhatian Vina teralih kepada Ahan, mata Mamanya terlihat sendu. "Mamah tenang aja, biar aku yang urus Hana," dia berusaha meghibur Vina.

"Kamu bisa mencintai Hana?" pinta Vina.

"Bisa, Ma," jawab Ahan jujur.

Ahan memang tidak ingat kapan tepatnya dia jatuh cinta kepada Hana, yang dia tahu, dia tidak bisa jatuh cinta kepada wanita mana pun, kecuali Hana, yang ia tahu, perasaan itu sangat tidak wajar. Bagaimana bisa adiknya sendiri menjadi cinta pertama Ahan? Dan ternyata inilah jawabannya, Ahan dan Hana memang diciptakan untuk saling mencintai. Sebelum masuk ke kamar, Ahan menyempatkan memeluk Vina. Keduanya sama-sama mencoba tersenyum.

***

Perasaan melankolis itu terbawa hingga hari selanjutnya. Begitu tiba di sekolah, Hana segera ngeloyor masuk kelasnya. Abyan, teman satu bangku Hana, meneliti raut wajahnya. Kusut. Hana memaksakan senyum kepada Abyan, mengambil tempat duduknya.

"Kenapa? Cemberut gitu," tanya Abyan. Lelaki manis berkulit sawo matang, dengan hidung mancung dan bibirnya yang mungil. Ya, mereka berdua telah ditakdirkan untuk satu kelas selama tiga tahun. "Ahan mana? Tumben nggak bareng," lanjutnya.

Hana menoleh ke Abyan. "Apa iya, cinta nggak harus memiliki?" raut wajah Hana berubah serius.

Tumben. Abyan terdiam sejenak dengan kedua mata terbuka sempurna. Ia berusaha mencerna baik-baik pertanyaan yang baru saja diucapkan oleh Hana.

"Iya, contohnya, kisah cinta sesama jenis," jawab Abyan.

"Abyan!" pekik Hana kesal.

"Kamu kenapa, sih? Kamu terlibat cinta terlarang?" heran Abyan tak mengerti apa yang sedang dikatakan Hana.

"Bukan!" kesal Hana masih terasa emosi.

"Terus kenapa tiba-tiba nanya itu?" tanya Abyan.

Hana mengangkat kedua bahunya. "Kalau misalnya, kamu dijodohin sama orang tua kamu, tapi kamu mencintai orang lain, gimana?"

"Nurut aja sama orangtua," jawab Abyan.

"Semudah itu?" gidik Hana. Ia menghela napas, merasakan otaknya yang bertambah panas. Membuat permisalan kepada Abyan tidak menghasilkan solusi sama sekali.

"Kalau udah menikah, cinta itu akan datang dengan sendirinya," tegas Abyan.

Hana terdiam mendengar penuturan Abyan yang terlihat begitu serius dan sedikit meyakinkan. "Kalau orang lain itu cinta pertama kamu, gimana? Cinta pertama kan susah dilupain," tanya Hana.

"Seiring berjalannya waktu pasti bisa," tegas Abyan. "Kamu mau dijodohin?" tanya Abyan.

"Tau ah," gidik Hana makin kesal.

Tak lama kemudian, Ahan masuk ke dalam kelas dengan wajah tanpa ekspresi, datar dan dingin seperti biasanya. Ahan menaruh tasnya di atas meja paling depan, lalu duduk tenang. Ya, Ahan dan Hana memang anak kembar yang memiliki banyak kesamaan, sama-sama peringkat satu di kelas. Ahan peringkat satu dari atas, sedangkan Hana peringkat satu dari bawah.

"Kok nggak bareng Hana?" tanya Abyan langsung beranjak ketika melihat keberadaan kembaran dari sahabatnya itu di kelas.

"Nggak," jawab Ahan malas.

Abyan mendekat sedikit ke Ahan. "Lagi berantem sama Hana?" goda Abyan.

"Nggak,"

"Masa? Terus kenapa nggak bareng?"

Ahan melirik tajam ke arah Abyan, membungkam mulut lelaki itu dengan sorot mata tak sukanya. Abyan mengerti arti dari tatapan mata tersebut dan memilih diam sejenak. "Hana mau dijodohin?" tanya Abyan.

Entah mengapa ketika mendengar nama Hana disebut, kedua mata Ahan perlahan terbuka. Tiba-tiba pertanyaan Abyan mulai membuatnya sedikit tertarik. Ahan menghela napas berat, menegakkan tubuhnya. Ia menatap Abyan dengan malas. "Hana cerita apa?"

Abyan tersenyum senang karena Ahan mulai menanggapinya. "Dia cuma nanya pendapat soal perjodohan, sih, emang dia mau dijodohin? Sama siapa? Lulus SMA kan masih lima bulanan lagi,"

"Tanggapan kamu gimana?"

"Aku bilang, nurut aja sama orangtua," jawab Abyan dengan bangga.

"Bagus!" seru Ahan bersiap untuk tidur di atas mejanya.

Abyan menepuk bahu Ahan, tersenyum senang karena merasa sudah tahu akar permasalahan Hana. "Tenang aja, aku yang bakal bujuk Hana soal perjodohan ini," ucap Abyan sebelum berlalu.

Diam-diam Ahan menoleh ke arah Hana di bangku paling belakang, menatapnya dengan teliti. Senyum terbentuk di bibirnya. Rambut gadis itu berwarna hitam kelam dibiarkan menggantung di belah dua melewati bahu, bola matanya hitam bening. Mata, hidung, bibirnya mungil. Seperti sedang bercermin. Namanya juga anak kembar. Menatapnya seperti ini saja sudah berhasil membuat jantungnya berdegup tak keruan.

Mungkin sekarang detak kita belum sama, detakku untukmu, detakmu untuknya. Tak apa, semua butuh waktu dan proses untuk menyamakan.

avataravatar