webnovel

BAB 1: Gadis Dalam Foto

Partitur piano di sudut ruang tamu masih terbuka, sisa semalam pemiliknya memainkan not-not piano lantas lupa membereskannya karena lelah berkepanjangan. Pagi ini rambutnya setengah basah, disisir rapi setelah mengaplikasikan minyak rambut. Standing mirror di tengah-tengah area kamar, menjadi saksi bisu bagaimana goresan memanjang di sekitar dadanya terlihat. Kemeja biru di tariknya dari kedua lengan, menutupi sempurna sisa-sisa yang menjadi rangkaian peristiwa kehidupan yang telah sang pemilik lalui.

Terlepas dari masa-masa seseorang dalam kegelapan, waktu berjalan tanpa ampun. Tidak peduli bagaimana efek kepada manusia, karena berperan seperti pisau yang bisa menyakiti atau dimanfaatkan. Waktu adalah hal hampa itu sendiri. Akan tetapi tidak pernah sembuh meskipun dengan ribuan waktu yang terlewat.

Jam hitam tanpa detail pasti menjadi aksesoris akhir setelannya sepanjang hari nanti. Perawakannya tinggi, rambutnya hitam dan akan bersinar saat terkena cahaya, saking lembut dan terawatnya setiap bagian tubuhnya. Dagunya lancip, rautnya lembut dengan bentuk mata turun dengan alis naik ke atas tebal seolah menunjukkan bahwa dia orang yang tegas.

Fokus matanya terurai saat memeriksa email masuk dari tabletnya—sebuah rutinitas pagi sambil menikmati perjalanan menuju kantor. Ada dua email yang pagi itu berhasil menarik atensi sang pemuda. Pertama, dari tender yang mengkonfirmasi persetujuan kerja sama; tentunya adalah bentuk dari kabar baik. Kedua, undangan untuk datang ke sebuah pameran fotografi dengan tema Cinta di Belahan Dunia yang cukup mengejutkan karena dia tidak pernah tertarik pada hal ini.

"Pak, katanya proyek mangkrak yang ditawarkan oleh Pak Dean adalah real estate yang gagal pembangunan di daerah Buah Batu." Aji—sang sekretaris menarik kertas kerja dari papan dada, memberikan informasi penting tersebut dengan menyodorkannya pada Gideon. "Beliau menawarkan beberapa renovasi juga."

"Renovasi apanya? Ini proyek setengah jadi, dia pikir saya bisa di bohongi, tolong berikan kepada bagian R&D, biar mereka menyelesaikan studi kelayakan."

Aji pamit dari ruangan, menarik diri agar tidak membuat sang atasan murka. Terkadang Aji masih sanksi jika Gideon—selain usianya yang muda, pikirannya masih cukup muda untuk berada di posisi ini. Akan tetapi, semua hal bisa di patahkan, termasuk asumsi tidak berdasar itu, Gideon lebih dari mampu jauh dari apa yang mereka ekspektasikan kepadanya. Sebagai pewaris muda, sudah bukan hal umum lagi jika sejak kecil sudah di bekali dan di jejali segala hal tentang dunia bisnis.

Sikap terlalu teliti yang dimiliki oleh Gideon agaknya menyusahkan beberapa karyawan dengan permintaan dan seberapa banyak detail yang diinginkan sang atasan. Hal itu termasuk dengan tidak memancing amarahnya.

Sekalipun, tidak ada yang lebih pahit daripada kenyataan.

Tidak lama setelah keluar dari ruangan khusus direktur, Aji kembali lagi, kali ini membawa berkas schedule yang sudah di susun khusus untuk hari ini.

"Rapat dengan direksi dari pukul 9 sampai 10, meeting kesepakatan tender dengan pengguna jasa pukul 11, lalu pukul 1 anda ada undangan untuk ke pameran." Gideon mendengarkan dengan seksama sembari memeriksa laporan yang ada di meja kerjanya. Aji melanjutkan. "Saya yakin undangannya sudah di kirimkan ke email anda, Pak."

"Pameran itu, apa saya bisa lewatkan?" Menimbang-nimbang, memainkan pulpen dengan memutarnya di antara ibu jari dengan telunjuk. "Ada satu tender yang masih kita kejar, tapi saya minta team buat studi dulu. Team Pak Kromo gimana? Kalau bisa nanti siang saya mau meeting."

Tanpa mengurangi rasa hormat dan berbicara dengan hati-hati, Aji mempersiapkan mental agar tidak disemprot karena akan menyamapaikan pendapat oposisi. "Team Pak Kromo sepertinya bisa dipercayakan, beliau baru selesai proyek, akan saya sampaikan garis besarnya nanti pada Pak Kromo, tapi Pak, maaf pameran ini tidak bisa di lewatkan. Investor baru di proyek mall kemarin yang secara pribadi mengirimkan undangan, akan beresiko jika Bapak tidak ke sana. Katanya beliau ada di sana."

Untuk sejenak, rasa sunyi menyelimuti keduanya. Mendengarkan denting jam yang terpasang di dekat foto presiden di sisi kanan ruangan. Agak mencekam untuk Aji, karena setiap pertimbangan Gideon akan menghasilkan keputusan mutlak. Aji paham jika atasannya selalu hati-hati menjaga harkat dan martabat yang di bebankan padanya, untuk hal remeh sekalipun jika untuk citra perusahaan, apa yang tidak untuk dilakukan.

Bekerja selama lima tahun dengan Gideon tidak lantas membuat Aji benar-benar mengenal pemuda itu dengan baik. Sekalipun kinerjanya menuai pujian, tetapi Aji tidak bisa membaca apa yang dipikirkan Gideon. Pada saat-saat tertentu, Gideon seperti memang menutup rapat informasi tentang dirinya. Dia selalu hati-hati dalam bertindak.

"Pak Lukman?"

Aji mengangguk. "Betul Pak, salah satu anaknya menjadi fotografer di sana. Beliau ingin Bapak datang."

"Oke, satu acara nggak akan bikin kita rugi."

***

Gideon menepati janjinya untuk datang ke pameran foto. Undangan sudah di cetak oleh sekretarisnya dan untung saja lokasi pameran tidaklah jauh pertemuan dengan tender. Hanya berjarak satu blok dari hotel dan Gideon bisa merasakan keramaian pameran yang sedang digelar.

Pameran itu dibagi menjadi dua lokasi, lokasi indoor dan outdoor. Foto-foto yang ada di luar ruangan, memiliki tema yang lebih bebas dan romantis, berbau keceriaan pad setiap kebahagiaan yang terukir dari setiap foto. Awalnya Gideon mengira datang ke pameran akan membosankan, hanya melihat gambar-gambar yang ditangkap sebagai masa lalu.

Namun, pikirannya berubah ketika melihat bagaimana sebuah foto dengan satu tangkapan gambar, memberikan kesan sedalam memori tatkala memandangnya. Foto-foto yang ditangkap dengan effort itu berhasil membius Gideon. Beberapa seolah berbicara mengenai memori yang tertinggal dari sebuah foto, beberapa lainnya seperti bercerita kepadanya. Gideon seperti masuk ke dalam ruang hangat yang mereka ciptakan dengan sebuah foto.

Ajaibnya dari sebuah foto bukan hanya karena gambar yang tertangkap saja, tetapi mungkin untuk momen-momen yang mereka dapatkan dengan makna tersembunyi dari setiap tangkapannya. Gideon bukan penggiat seni pun memiliki pendapat positif dalam pameran ini, seperti melepaskan kacamata kudanya dan melihat dunia lebih luas.

"Pak Gideon?"

Saat menikmati sebuah potret lawas dua pasangan tua yang bahagia, fokus Gideon diputus dengan sapaan dari sisinya. Ternyata benar, Lukman—investor besar di salah satu proyeknya, ada di sana menyambut dengan senyum hangat.

"Senang rasanya, saya tidak menyangka Pak Gideon menyempatkan datang." Langkah perlahan Lukman memasuki auditorium membuat Gideon mengikutinya.

"Kebetulan saya ada sedikit waktu."

Penampilan Lukman tampak santai dengan lengan baju yang di gulung, menanggalkan jasnya entah dimana dan rambut yang agak basah. "Terimakasih sudah datang Pak, silakan melihat-lihat, lorong ini hasil foto anak kedua saya."

Gideon menemukan kesamaan dari semua foto-foto di sini, yaitu bagaimana memukaunya dari setiap tangkapan gambar dan memiliki ciri khas masing-masing. Bagusnya di sini, mereka tidak begitu membicarakan mengenai pekerjaan, sebagian besar yang Gideon lakukan hanyalah mendengar pujian dan seberapa bangganya Lukman terhadap anak-anaknya yang bisa berdiri dengan kaki mereka sendiri. Tidak menyerah pada mimpi-mimpi mereka meskipun harus gagal berkali-kali.

Mereka pun membahas makna dari setiap potret dari sejauh pandangan Lukman berdasarkan apa yang anaknya katakan padanya. Anehnya, Gideon tidak merasa terganggu, tetapi merasa tertarik dari setiap maknanya. Foto adalah memori, itulah mengapa terkadang seseorang ingin memiliki sebuah potret yang indah, meskipun hanya berbentuk foto, yang bisa mereka lihat dan ingat bagaimana perasaan yang tertinggal bersamanya.

"Ah, Pak, saya tinggal dulu, saya harus segera kembali. Selamat menikmati pamerannya Pak, semoga bisa memberikan hiburan sejenak untuk Bapak di kala jadwal yang padat."

"Terima kasih, Pak Lukman."

Raut Lukman tampak ragu, terlihat dari gurat-gurat kegelisahan yang sedikit tertangkap oleh indera Gideon. Lalu, tanpa aba-aba, beliau berkata dengan agak terbata. "Agaknya saya menyarankan Bapak untuk melihat ke dalam, mungkin ada yang menarik untuk bapak."

Gideon memicing, tidak mengerti ucapan Lukman. Tampaknya Lukman memiliki pesan tersembunyi pada kalimatnya kali ini. Tidak memberikan respon pasti sampai Lukman pamitan padanya. "Saya permisi, Pak."

Sepeninggalan Lukman dari hadapannya, Gideon jadi dibuat penasaran atas apa yang Lukman katakan padanya. Entah gerakan dari mana, Gideon mengikuti apa yang Lukman ucapkan. Menelusuri lebih dalam pameran tersebut dan melirik-lirik dari setiap foto.

Jika di luar ruangan, foto -foto terkesan hangat dan ceria, lain hal dengan apa yang ada di dalam. Foto yang ditampilkan datang lebih lembut dan nyata. Lalu datanglah Gideon tidak bisa menyembunyikan kebingungannya akan satu foto.

Satu foto yang benar-benar menyimpan rahasia dan cerita yang tidak pernah dia ketahui. Foto yang memberikan sejuta tanda tanya dalam kepalanya.

Karena siapa yang tahu jika Gideon akan melihat foto dirinya sendiri dengan seorang wanita yang mengenakan gaun pengantin. Foto itu memberikan efek yang luar biasa ke dalam memorinya.

Berbagai spekulasi dan pertanyaan muncul dalam kepala Gideon. Dahinya mengernyit tajam mencoba mencerna bagaimana bisa dan mengingat-ingat jika memang ada sebuah lubang dalam ingatannya. Seperti ada lubang dalam otak Gideon yang tidak dia ketahui dimana letak lubang itu berada. Nihil, Gideon bahkan tidak mengenali surai wanita itu, tidak mengenali senyum itu, ataupun mengenali suasana yang tergambarkan. Dan yang paling mengganggu pikirannya adalah pertanyaan soal, siapakah wanita itu.

"Pak—" Gideon tidak pernah tahu sejak kapan Aji mengikutinya, karena sebelumnya Aji bahkan tidak ada dalam edaran pandangannya. Aji juga sama kagetnya dengan Gideon, menggantungkan kalimatnya di udara. Memandang atasannya dengan tatapan tanpa penjelasan.

"Aji, cari tau siapa orang dalam foto itu."

Karena jika itu berkaitan dengannya, Gideon harus tahu.

***

Next chapter