24 Dukungan

Winda sudah merasakan hawa yang tidak mengenakkan. Namun, tiba-tiba Ari berbalik arah padahal tinggal dua ratus meter lagi dia sampai meja Winda.

Glodak!

Tiba-tiba sebuah nampan berisi makanan di taruh di meja samping nampan makanan Winda, Winda mendongak ke samping atas guna melihat orang yang datang.

"Uhm, pantas Ari kabur" ucap Winda lirih.

Intan yang duduk di depan Winda masih terkejut dan menebak-nebak siapakah gerangan orang ini? Intan masih bengong menyimak apa yang berlaku di depannya. Intan hanya tau jika pria ini sangat tampan.

"Hai, boleh gabung kan?" Dirga tersenyum mempesona.

"Tentu, silakan" Winda membalas senyumannya, Winda tidak menyangka secepat ini bertemu lagi dengan orang yang menolongnya.

"Terima kasih, Aku melihatmu dari jauh dan Aku tidak ada teman makan. Jadi, Aku putuskan untuk bergabung. Ohya, Aku lupa menanyakan namamu kemarin" Dirga mengulurkan tangannya.

"Winda, dan yang ini sahabatku Intan" Intan segera menjabat tangan Dirga saat tersadar dari lamunannya.

Intan mengagumi pria yang ada di depannya itu, boleh dibilang Cinta pandangan pertama. Winda menceritakan kejadian pertama kali dia bertemu dengan Dirga dan pria itulah yang menolongnya dari Ari. Kemudian obrolan mereka berlanjut seru hingga berakhir saat jam istirahat mereka selesai dan berpisah.

Winda masuk ke departement IGD dari pintu belakang, tiba-tiba ada orang yang membekap mulutnya dari arah belakang dan menariknya masuk ke dapur untuk perawat. Winda coba meronta tapi kalah kuat.

Bbrraaakkkk!

Winda tersandar di sebuah lemari dengan mulut masih di bekap dengan tangan, ternyata Ari yang berulah lagi. Huft, apa sih maunya orang satu ini? tanya Winda dalam hati.

"Berjanjilah untuk tidak berteriak maka, Aku akan melepaskan tanganku" Ari coba bernegosiasi.

Winda menyinkirkan paksa tangan Ari, "Apa-apaan kamu? jangan kayak anak kecil deh!."

"Ternyata kamu punya hubungan ya dengan pria tadi? Aku tidak suka, jangan dekat-dekat dengan sembarang pria, dengan berbuat seperti itu kamu menyakiti perasaanku" Ari mencengkeram kedua lengan Winda.

"Cukup! Sadar Ri, hubungan kita sudah berakhir. Jadi, jangan perlakukan Aku seperti ini. Biarkan Aku hidup tenang, please. Ini tempat kerja, bersikaplah profesional untuk membedakan masalah kerjaan dan masalah pribadi." Winda teramat kesal dengan sikap Ari bahkan Winda mulai menyesal pernah mempunyai hubungan dengannya.

"Aku tidak peduli, Aku sangat merindukanmu Winda" Ari tiba-tiba memeluk Winda dengan erat, Winda meronta menolak dekapan Ari.

Disaat yang bersamaan Dirga masuk ke dapur untuk mengambil minum setelah menyelesaikan tugasnya menangani pasien gawat darurat. Dirga terkejut melihat pemandangan di depannya.

"Apa kalian tidak ada tempat lain untuk bermesraan? Pasangan yang aneh, kenapa kalian selalu memamerkan hubungan kalian di depanku?" Dirga melirik sinis ke arah Winda dan Ari.

Ari melihat sesosok pria yang nampak tidak asing di ingatannya, Ari teringat pria yang berdiri di hadapannya ini yang memakai jas putih berlengan pendek dan ada tulisan dokter muda di bagian dada. Ari memilih untuk tidak mempersulit keadaan kemudian dia pergi dengan melemparkan tatapan menusuk ke Dirga, seolah mata tersebut berkata awas kau lihat saja nanti. Ancaman cupu yang tidak akan pernah terealisasi sebab Ari seorang pecundang.

"Kamu salah pahan Dirga, ah maksudku dr.Dirga. Hubungan kami telah usai, kejadian sebenarnya tidak seperti apa yang kamu lihat tadi." Winda coba menjelaskan sebab tidak ingin ada sembarang gosip yang muncul.

"Terserah, tidak ada urusannya juga denganku" Sikap Dirga yang cuek masa bodo.

"Uhm, rupanya kamu seorang dokter" Winda mengalihkan pembahasan.

"Baru calon, Aku masih harus banyak belajar" Dirga berucap merendah.

Keduanya mengobrol masalah kerja sambil minum teh di dapur khusus perawat, sesekali mereka nampak tertawa bersama, kadang juga muncul ekspresi serius. Entah tepatnya sejak kapan mereka menjadi rapat dan berteman baik. Winda jadi berpikir, setidaknya dia tidak terlalu merungut tentang masalah keberadaan Ari yang selalu mengacaukan hari-harinya di tempat kerja. Suasana kini sedikit berubah sejak Winda berteman dengan Dirga.

Pasien tidak begitu banyak hari ini, mungkin karena weekend, dilingkungan dunia medis ada sedikit kepercayaan bahwa hari tertentu memberikan andil dalam memprediksi banyak sedikitnya pasien pada hari tersebut. Misalnya jika akhir pekan sepi pasien tapi jika hari senin dapat dipastikan pasien membeludak. Entah ini mitos atau hanya kebetulan semata, tapi hal tersebut sering terjadi.

***

Winda sampai rumah tepat waktu, karena hari ini jalanan tidak begitu macet, Winda ingin segera menuju kamarnya untuk mandi karena gerah. Namun, ada sesuatu yang menarik rasa ingin taunya di dapur. Bunda lagi ngobrol sama siapa? dalam hati Winda bertanya-tanya. Winda lalu membelokkan arah langkah kakinya menuju dapur.

Ternyata Bunda sedang masak di temani Luis, dia memakai setelan kemeja berwarna merah maron, celana panjang hitam dan celemek terpakai rapi membungkusnya di bahagian depan. Winda tersenyum, takjub melihat pria yang satu ini, dia selalu terlihat kemas dan tetap tampan walau memakai pakaian apapun. Dan ia tetap keren meski memakai celemek.

Bunda nampak begitu bahagia ditemani Luis, memang sudah lama Bunda menginginkan seorang anak laki-laki, tapi karena kondisi kesehatan Bunda yang tidak memungkinkan untuk mempunyai anak lagi setelah melahirkanku, maka Bunda mengubur dalam-dalam keinginannya tersebut. Luis adalah pria yang baik dan pintar, dia tau bagaimana cara menyenangkan hati Bunda dan dari perlakuannya terhadap Bunda, terlihat sekali ketulusan kasih sayang seorang anak terhadap orang tuanya. Winda terharu melihat Bunda bahagia atas kehadiran Luis di sampingnya. Winda terus mengamati pemandangan tersebut dari kejauhan sampai akhirnya ada tangan hangat yang membelai rambut panjangnya dan mengecup kening bagian samping. Winda sedikit terkejut ada yang mengetahuinya sedang mengintip dari kejauhan.

"Eh, Ayah? Baru pulang, Yah?" menyambut tangan kanan Ayahnya dan menciumnya.

"Pemandangan yang indah kan? Ayah pun menyukainya, apakah peri kecil Ayah merasakan hal yang sama?" Ayah balik bertanya.

Seketika wajah Winda memerah kemudian menunduk untuk menyembunyikan pipinya yang semakin hangat.

"Erm, Winda mau mandi dulu, Yah" Winda berlalu menuju kamar meninggalkan Ayahnya yang kini tersenyum geli melihat ekspresi peri kecilnya.

"Peri kecilku sudah tumbuh dewasa rupannya" Ayah tersenyum sendiri.

***

Lima belas menit kemudian pintu kamar Winda di ketuk.

Tok tok tok ...

Winda baru saja selesai mandi dan masih mengenakan handuk untuk membalut tubuhnya yang masih basah. Winda segera menuju pintu untuk membukanya. Tumben Bunda begitu tidak sabar mengetuk pintu hingga berkali-kali, mungkin karena ada tamu yang menunggu di bawah batin Winda.

Ceklek!

"Aaaaaa ..." teriak Winda.

Winda terkejut ternyata Luis yang mengetuk pintu dan Winda sangat malu karena membuka pintu dengan penampilan hanya berbalut handuk kimono. Winda segera menutup pintu namun, tanpa sengaja membentur dahi karena Luis sudah melangkah kedepan, karena benturan begitu keras Winda reflek buka pintu lagi karena merasa bersalah.

"Luis, apa kamu baik-baik saja?" Winda bertanya dengan rasa sangat bersalah sambil meniup-niup dan mengusap dahi Luis.

"Uuugh.." Tiba-tiba sikap manja Luis semakin menjadi. "Sakit sekali" Luis memejamkan matanya sambil sesekali mengintip Winda yang masih mengkhawatirkannya. "Aku tidak tahan."

Rasa khawatir Winda semakin menjadi, "Aduh, sorry. Aku bener-bener tidak sengaja. Ini hanya reflek karena terkejut, sebelah mana yang tidak tahan? Sakit ya..?"

"Aku tidak tahan melihatmu hanya memakai handuk kimono, cepat kenakan pakaianmu!" Luis terkekeh.

Winda bengong sesaat mendengar ucapan Luis, "Huft..dasar!" Winda memukul dada Luis dan mendorongnya pergi.

"Hahahaha, cepat turun. Semua sudah menunggumu untuk makan malam" ucap Luis di balik pintu.

avataravatar
Next chapter