43 Akhir dari masa lalu

📞"Tunggulah...hari itu pasti akan tiba, debaran jantungku ini akan menjamin kamu jadi milikku" sepenuhnya Luis meyakini ucapannya.

📞"Uhm..dasar tukang gombal, coba kamu di sampingku.. pasti sudah merah semua lenganmu aku cubitin" Winda tertawa membayangkan ekspresi wajah Luis yang dia cubit.

📞"Aku rela jika itu membuatmu bahagia, tapi aku mau minta bayaran juga..kamu harus membuatku PUAS" Luis memberikan penekanan di akhir kalimat, dia tidak mau kalah.

📞"Dasar..tidak mau rugi ya.." Winda masih tertawa lembut. "Sudah dulu ya? Pasienku masih banyak nih".

📞"Ini pun kamu sedang berbicara dengan pasien" ucap Luis sedikit manja.

📞"Cukup bercandanya, aku tutup ya?" Winda menutup telponnya sebelum Luis sempat berkata - kata lagi.

Winda masih tersenyum - senyum sambil memasukkan ponselnya ke saku, Winda terkejut saat membalikkan badannya. Sepasang mata tajam milik seorang pria yang dari tadi berdiri di ambang pintu mengawasi Winda rupannya.

Raut wajah Winda berubah dingin, senyumannya telah dia simpan rapi, Winda melangkah keluar tanpa mempedulikan sepasang mata yang melihatnya. Namun pria tersebut, Ari meraih lengan Winda..menahanya untuk pergi.

"Nampaknya kamu sedang bahagia, kalau Aku boleh tebak..kamu baru saja menerima panggilan dari kekasihmu ya?" Ari merasa hatinya tidak tenang.

"Bukan urusan anda senior Ari" ucap Winda dingin.

"Berhenti perlakukan aku seperti itu!" Ari mendorong tubuh Winda hingga tersandar di dinding, Ari mendekatkan wajahnya persis di depan wajah Winda, hanya berjarak sejengkal.

Winda terkejut dengan perilaku Ari yang tiba - tiba kasar kepadanya. Winda hanya terdiam karena masih kaget karena Ari bersikap seperti ini lagi.

"Aku mohon Winda..jangan bersikap seperti ini, jangan abaikan aku, sungguh aku merasa sakit disini" Ari menempelkan tangan Winda di dadanya.

Hal tersebutlah yang selalu Ari lakukan dulu jika ingin meraih simpati Winda saat dia melakukan kesalahan.

Winda menarik tangannya, dulu Winda selalu luluh dengan kata - kata dan sikap manis Ari. Namun kini semenjak Winda bersama Luis apapun yang dilakukan Ari tidak akan pernah ada artinya lagi, Ari kini tidak bisa di bandingkan dengan Luis, mereka jauh berbeda. Setidaknya Luis selalu memperlakukannya dengan baik dan belum pernah membawanya dalam kesedihan.

"Sikap seperti apa yang kamu harapkan dariku setelah apa yang kamu lakukan padaku?" Winda berkata dengan rasa jijik kepada Ari, Winda teringat sore itu saat Ari menghianati cintanya dan malah bermesraan dengan jesika.

Ari melihat ada kekecewaan di mata Winda, dia sadar diri jika dia telah melakukan kesalahan yang sangat fatal, namun hatinya tidak bisa berbohong bahwa dia masih sangat mencintai wanita di depannya ini.

"Aaarrggh!" //Bbuuukk// Ari menghantamkan kepalan tanganya ke dinding tepat di samping kepala Winda.

Winda reflek memalingkan wajahnya, kemudian berbalik lagi menatap tajam mata Ari dengan rasa kekecewaan yang bertambah besar, Winda mendorong jauh dada Ari dengan kasar. Winda pergi meninggalkan Ari.

Beberapa detik Ari mematung di posisinya, coba menilai tindakan yang baru saja dia lakukan, Ari tersungkur..terduduk di lantai dengan rasa penyesalan yang sulit digambarkan, jari - jari tanganya lecet dan berdarah.

Winda berjalan ke ruang jaga perawat sambil menata lagi emosinya agar kembali tenang, dia melanjutkan tugasnya merawat pasien. Ah..sungguh sial..dr.Vian memberinya tugas untuk menggantikan pekerjaannya. Winda kini harus bagging pasien yang kritis, tanganya mulai mengikuti irama menekan nekan ambubag, dia juga harus mengontrol pikiran dan emosinya agar tidak salah hitungan. Winda tidak boleh lengah atau pasiennya yang hilang nafas.

Sudah satu jam lamanya Winda melakukan bagging, tanganya mulai kesemutan dan pegal semuanya. Hingga seorang perawat mendekatinya.

"Biar aku gantikan, sini ambubagnya" Ari bersiap mengambil alih, dia merebut ambubag yang di pegang Winda.

Winda mengibas - ngibaskan tanganya dan sesekali memijit lenganya yang pegal.

"Winda, maafkan sikapku tadi" ucap Ari pelan tanpa melihat Winda.

Seketika Winda melihat Ari, terkejut dengan ucapannya..jarang sekali Ari mau mengakui kesalahannya apalagi meminta maaf.

"Apa aku tidak salah dengar?" Winda memastikan.

"Jangan minta untuk diulang" Ari memperingatkan, masih tetap konsentrasi pada baggingnya tanpa menoleh ke Winda.

Winda melihat tangan Ari yang masih berdarah, "Itu pasti sakit". Winda kemudian meninggalkan Ari dengan pasiennya. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan seorang perawat yang dia suruh untuk menggantikan Ari bagging.

"Ikut denganku, biar aku obati lukamu" Winda menarik tangan kiri Ari yang tidak terluka. Ari tentu senang dan mengikuti perintah Winda.

Winda mengobati tangan Ari dan memasangkan perban. Ari masih tersenyum senang sambil terus memandangi Winda. Ternyata Winda masih peduli fikir Ari.

"Jangan salah faham, bukankah tugas perawat menolong orang yang sedang sakit?"

jelas Winda agar Ari tidak salah mengartikan.

Tapi tetap saja Ari merasa Winda masih peduli kepadanya, bisa sajakan Winda menyuruh orang lain untuk mengobatinya kalau memang dia sudah tidak ada rasa kepadaku fikir Ari dalam hati. Padahal Winda melakukan itu karena bagaimanapun Ari terluka karenanya..karena kesal mungkin, jadi Winda merasa perlu bertanggung jawab.

"Terima kasih, kamu sudah mahu mengakui kesalahanmu dan minta maaf, itu pasti sulit bagimu. Aku hanya bisa jadi temanmu kini...jangan berharap lebih karena aku sudah bahagia bersama Luis" Winda berkata sambil menatap Ari.

Ari merasa benar - benar sudah berakhir sekarang, hubungan cintanya dengan Winda hanya akan menjadi kenangan.

"Ok, kita berteman sekarang. Jangan segan mencariku jika kamu butuh teman sekedar ngopi atau curhat" Ari memaksakan senyumannya.

"Terima kasih teman" Winda membalas tersenyum dengan begitu tulus, dia merasa lega sekarang karena masalah dari masa lalunya telah berakhir.

♡♡♡

Jam sebelas malam di Rumah sakit Sunway Medical Centre Kuala Lumpur, Para perawat masih sibuk mengurus pekerjaanya masing - masing, seragam mereka yang putih bersinar bagai seorang malaikat tanpa sayap yang siap menyembuhkan setiap pasien bahkan hanya dengan senyum ramahnya yang menyejukkan hati.

Kamar VIP 7A dimana Luis tengah tertidur pulas di bed pasiennya. Terlihat beberapa perban menempel di dahi dan beberapa di kaki.

Seorang wanita terduduk di samping bednya, pandangannya tak pernah lepas dari wajah Luis, meneliti setiap luka yang tertera disana, matanya yang sembab mungkin karena banyak air mata yang telah mengalir dari sana namun wajahnya tetap terlihat cantik dengan Alis tebal seperti ulat bulu.

Wanita tersebut setia berada di samping Luis sejak kedatangannya hingga dia tertidur dengan kepala menempel di tepi bed pasien Luis.

Luis terbangun dari tidurnya, dia terkejut dengan wanita yang tertidur di sampingnya, tangannya yang masih lemah dia gunakan untuk mengusap kepala wanita itu dengan lembut penuh kasih sayang.

"Maaf telah membuatmu khawatir" Luis masih mengusap kepala wanita tersebut.

avataravatar
Next chapter