webnovel

Dua

Pagi itu di istana Kerajaan Terra, seluruh penghuni istana sibuk dengan urusannya masing-masing. Para pelayan berlalu-lalang mengerjakan setumpuk tugas, para pengawal bersiap siaga di setiap sudut istana, dan para anggota keluarga istana tengah menyantap sarapannya yang lezat.

"Josh, makan sarapanmu dulu." Reitz menegur Josh yang sibuk dengan sketsanya pada selembar kertas alih-alih memakan sarapan yang sudah terhidang di hadapannya.

"Aku juga sedang memakan sarapanku, Yah. Nih lihat," balas Josh sambil mengambil sesendok penuh sup ayam lalu menunjukkannya. Setelahnya ia memasukkannya ke dalam mulutnya.

Xenna membuka suaranya. "Josh, jangan membantah Ayahmu. Letakkan bukunya dan habiskan makananmu."

Josh menghela napasnya lalu menuruti titah sang Ibu. Ia meletakkan sketsanya dan melahap sup ayamnya dengan terpaksa. Hening kemudian merayapi ketiganya, mencipta kecanggungan yang menggigit.

"Permisi Yang Mulia Raja, maaf jikalau mengganggu waktunya. Raja Kris dari Kerajaan Ales mengirimkan sebuah undangan untuk Yang Mulia." Seorang pengawal memasuki area ruang makan dan menginterupsi keheningan yang menyelubungi ruangan itu. Reitz menerima sepucuk surat yang disodorkan si pengawal.

"Undangan apa ini?" tanyanya.

"Saya tidak mengetahuinya, Yang Mulia. Kalau diperbolehkan, saya ingin undur diri."

"Pergilah."

"Terima kasih, Yang Mulia."

Xenna melirik surat undangan yang tengah digenggam Reitz. Surat itu tampak mengkilap dan elegan meskipun dengan bentuk serta warna yang sederhana. Terdapat lambang Kerajaan Ales memenuhi bagian belakang surat, sementara di mukanya terdapat tulisan berisi informasi pengirim dan penerima surat.

Tangan Reitz bergerak membuka surat undangan itu. Ia mengeluarkan selembar kertas yang berada didalamnya dan membaca isinya lamat-lamat.

"Di sini tertulis kalau kita diundang ke acara ulang tahun Ratu Solar," ucapnya kemudian yang membuat kegiatan Josh terhenti.

"Jadi nanti kita ke sana 'kan? Kapan itu?" Manik hijaunya berbinar-binar kegirangan. Reitz mengulas senyumnya.

"Lima hari lagi. Omong-omong, kenapa kamu terlihat begitu senang? Apa karena kamu akan bertemu dengan Artha?"

"Memangnya kenapa? Aku 'kan tidak memiliki teman lagi selain dia, tentu saja aku senang akan bertemu dengannya," jelasnya panjang lebar. "Aku bosan di istana terus, tapi juga tidak diizinkan untuk pergi keluar."

"Josh, tidak lagi—"

"Kenapa Ayah melarangku untuk pergi keluar? Aku bosan Yah, aku juga tersiksa di sini. Tidak bisakah Ayah membiarkanku pergi ke pasar rakyat, atau kemanapun asal masih di daerah pusat? Ayah bisa mengutus pengawal untuk menjagaku."

Reitz memijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut. Ia tidak pernah tahu sejak kapan putra semata wayangnya mampu membalas segala ucapannya. Reitz menghela napasnya, mencoba mengatur emosinya.

"Josh, dengar Ayah. Sudah berkali-kali Ayah katakan padamu di luar sana masih tidak aman bagimu," ucap Reitz setengah kesal.

"Karena kejadian waktu itu? Waktu itu aku tidak terluka sedikitpun, aku baik-baik saja. Aku juga sudah menguasai beberapa teknik beladiri. Aku bisa menjaga diriku sendiri."

Reitz bangkit dari duduknya lalu menggebrak meja, menyentak perhatian seluruh orang yang ada di ruangan yang cukup luas itu. "Kamu bisa menjaga dirimu tapi kamu tidak mengerti betapa khawatirnya Ayah padamu! Kamu hampir saja celaka malam itu jika saja Ayah tidak menyadari kalau kamu hilang! Harus berapa kali Ayah jelaskan padamu tentang ini?"

Josh tercenung sesaat setelah Reitz menyelesaikan kalimatnya. Tubuhnya gemetar ketakutan sebelum akhirnya beringsut pergi dari meja makan bersama lembar sketsanya, menyisakan sup ayamnya yang baru dilahap seperempatnya. Selepas kepergian Josh, keheningan yang mencekam menyelimuti ruangan.

"Rei, aku sudah mengatakannya berkali-kali padamu. Jangan terlalu mengekangnya. Lihat, sekarang dia menjadi pemberontak." Xenna berucap sambil menyentuh sebelah tangan Reitz. "Dia anak laki-laki, bebaskanlah dia."

"Tapi apa kamu tidak mengingat malam itu? Kita hampir kehilangannya," ujarnya dengan nada bergetar. Xenna mengangguk-angguk pelan.

"Aku mengingatnya, bagaimana mungkin aku melupakan kejadian mengerikan itu? Bayang-bayangnya masih menghantuiku. Tapi putra kita sekarang sudah tumbuh menjadi anak yang pemberani, kamu harus mempercayainya. Biarkanlah dia melakukan apa yang dia mau, asalkan itu masih berada di bawah pengawasan kita, ya?"

Reitz menghela napasnya lalu membalas genggaman tangan Xenna dengan lembut. "Aku akan memikirkannya nanti."

°°

Artha berdiri kaku di hadapan seorang wanita paruh baya berekspresi tajam. Wanita itu memicingkan matanya sambil memindai Artha dari atas ke bawah, lalu kembali ke atas.

"Tatapan apa itu? Hanya pengemis yang mempunyai mata seperti itu," tukasnya. "Sudah aku bilang berkali-kali, tatapan matamu itu harus tegas!"

"M-maaf."

"Berdiri lebih tegak, busungkan dadamu, angkat dadamu. Jadilah putri yang berwibawa."

Wanita itu namanya Rosetta, guru tata krama khusus para putri. Artha sangat tidak menyukainya namun juga takut padanya. Tidak pernah ada ucapan baik yang keluar dari bibirnya yang sangat tipis itu. Jika tidak untuk memarahi atau menghina, bibir itu tidak akan terbuka. Ibunya pernah berkata kalau sebenarnya Rosetta itu wanita yang baik dibalik sifatnya yang sengit itu. Namun hingga sekarang, Artha belum menemukan sifat positif yang dikatakannya itu.

"Sekarang jalan. Ingat, jalan dengan tegak dan perlahan. Berjalanlah dengan anggun—astaga apa itu?! Bagaimana bisa kamu menyebut dirimu seorang putri jika jalan yang benar saja tidak bisa?!"

Artha jatuh tersungkur saat memaksakan dirinya untuk berjalan sesuai aturan. Rasa perih di lututnya yang beradu dengan lantai keramik membuatnya meringis kesakitan. Rosetta mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri.

"Ulangi lagi," titahnya. Artha menurutinya dan kembali berjalan. Ia terus-menerus berjalan selama bermenit-menit kemudian hingga dirinya merasa kelelahan.

"Maaf, aku lelah." Artha membungkukkan tubuhnya karena kakinya pegal. "Berikan aku waktu istirahat sebentar."

"Tidak, ini baru sebentar. Jangan manja."

Artha menghela napasnya, ia benar-benar lelah. Sudah lebih dari tiga jam dirinya berkutat dengan segala macam pelajaran tata krama ini. Ia bahkan tidak diberi waktu untuk sekedar duduk untuk bernapas dengan benar.

"Aku mohon, aku benar-benar haus," pintanya dengan ekspresi memelas. Rosetta berdecak kesal.

"Baiklah baiklah, aku beri waktu sepuluh menit."

Tanpa menunggu lama, Artha langsung berlari menuju kamarnya. Ia menenggak habis jus stroberi yang tersedia di mejanya. Sebenarnya Artha tak perlu repot-repot berjalan menuju kamarnya hanya untuk meredakan hausnya karena ada pelayan yang akan mengantarkan minumannya, hanya saja 'penyihir' itu melarang seluruh pelayan menyediakannya selama pelajaran berlangsung. Artha sudah memberitahukannya pada Solar, namun lagi-lagi wanita itu hanya meyakinkannya kalau hal itu bisa dimaklumi.

"Ah, aku bosan." Artha mendudukkan dirinya di sisi ranjang. Ia terus-menerus menatap kedua ujung kakinya alih-alih bergegas kembali ke aula putri istana yang menjadi tempatnya belajar. Pikirannya melanglang buana, memikirkan cara untuk melarikan diri dari pelajaran. Ia sudah sering melakukannya, tapi selalu saja gagal karena ada saja yang melapor.

"Terserah deh, aku akan tetap membolos. Aku tidak peduli penyihir itu akan marah nantinya."

Artha bangkit berdiri lalu berjalan keluar kamarnya, tapi bukan untuk kembali ke pelajarannya melainkan menuju gerbang belakang istana. Sebelumnya Artha menutupi tubuhnya dengan selendang panjang yang juga untuk menutupi wajahnya. Matanya selalu siaga memastikan keadaan sekitarnya. Banyak yang memperhatikannya, namun tidak ada yang mencegahnya karena Artha akan mengamuk ketika ada yang menghalanginya.

"Tuan Putri Artha, Anda tidak diperbolehkan keluar istana." Seorang penjaga mencegahnya keluar ketika dirinya sudah mencapai pintu gerbang. Artha mulai sedikit kesal namun sebisa mungkin menahannya. Ia memasang tampang memelas andalannya agar penjaga itu bersedia mengizinkannya pergi.

"Aku mohon, Paman Penjaga. Aku hanya akan pergi sebentar saja kok," pintanya. Namun sepertinya jurus andalannya kurang mempan kali ini.

"Maaf, Tuan Putri. Nona Rosetta akan murka nanti, dan Anda akan dimarahinya juga."

"Tidak perlu khawatir, aku sudah sangat sering. Tolong ya Paman, izinkan aku."

Pria itu menghela napasnya. Ia berada di posisi serba salah. Jika dirinya memperbolehkan Artha untuk keluar, ia akan dimarahi lagi oleh Rosetta. Namun jika tidak memperbolehkannya, gadis itu akan merajuk dan merepotkan seisi istana.

"Baiklah, tapi sepuluh menit ya?" ucapnya final. Artha memekik saking gembiranya.

"Terima kasih, Paman Penjaga! Aku akan memberikan kue ubi enak kesukaan Paman!"

Si penjaga tersenyum. "Apa mau saya temani?"

"Tidak perlu, aku hanya berjalan-jalan di dekat sini saja. Sekali lagi terima kasih Paman Penjaga," ucap Artha sambil membungkukkan badannya. Si penjaga gelagapan lalu ikut membungkukkan badannya lebih rendah. Setelahnya Artha berjalan keluar dengan perasaan senang.

Seiring kakinya melangkah lebih jauh dari istana, kepala Artha memikirkan berbagai tempat yang ingin ia kunjungi. Namun apa daya, ia hanya memiliki waktu sepuluh menit. Artha harus memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya. Kapan lagi dirinya mendapatkan kesempatan ini?

Artha memasuki daerah pasar yang tidak terlalu ramai. Ia melihat satu persatu pedagang yang sibuk menjajakan dagangannya, pembeli yang sibuk dengan belanjaannya, penyetor yang memenuhi stok para pedagang, juga interaksi antara penjual dan pembeli yang saling tawar-menawar. Artha selalu suka memperhatikan mereka semua, apalagi berbagai macam jajanan yang dijual. Artha sangat ingin membelinya, namun sayangnya ia tidak membawa uang.

Suara ribut orang terjatuh menginterupsinya. Artha menolehkan kepalanya ke sumber suara dan mendapati seorang ibu terjatuh bersama dengan kantong-kantong belanjanya. Wanita itu tampak kesal—sepertinya ia terjatuh karena ditabrak. Seorang pemuda berpakaian lusuh—yang sepertinya adalah penabrak—mengambil barang-barangnya dengan tergopoh-gopoh, sambil mendengarkan omelan dari si wanita. Setelah urusannya beres, pemuda itu langsung beringsut meninggalkannya.

Artha turut meninggalkan tempat itu dan hendak kembali menuju istana. Waktunya untuk berjalan-jalan sudah habis. Namun sebuah botol yang menggelinding ke arahnya menghambat langkahnya. Artha mengangkat kepalanya dan menyadari botol itu milik si pemuda penabrak ibu-ibu yang baru saja melewatinya. Artha segera mengambil botol itu dan mengejarnya.

"Permisi Kak, Paman, Tuan—ah pokoknya itu. Botolmu jatuh!" serunya nyaring. Sayangnya seruannya itu tertelan oleh keriuhan pasar. Dengan kaki kecilnya, Artha berlari mengejar si pemuda.

"Astaga, dia ini mau kemana. Kak! Botolmu!" Pemuda itu tak kunjung mendengarnya, malah melangkah semakin cepat dan semakin jauh. Artha terpaksa mengikutinya dan meninggalkan pelajarannya untuk kesekian kalinya.

Pemuda itu berjalan mendekati hutan Bidden—hutan yang menjadi pembatas antara Kerajaan Ales dan Kerajaan Terra yang konon dihuni oleh makhluk-makhluk magis dan juga menyeramkan. Artha menghentikan langkahnya karena ragu untuk melanjutkan. Ia menatap botol yang ada digenggamnya. Dari rupanya, sepertinya botol itu berisi cairan obat. Mungkin pemuda itu sangat membutuhkannya dan akan menjadi fatal jika Artha tak mengembalikannya. Artha menarik napasnya lalu meyakinkan dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja sambil berdoa meminta perlindungan pada Tuhannya.

Artha kembali melanjutkan perjalanannya. Untunglah punggung pemuda itu masih tampak. Artha mempercepat langkahnya sambil berusaha untuk tidak sibuk mengagumi keanekaragaman hayati hutan itu yang notabene akan menghalanginya. Pemuda itu terus berjalan dan berhenti di sebuah gua yang cukup besar. Ia menjentikkan jarinya lalu penampilannya yang lusuh berubah berkilauan, daun telinganya meruncing, dan kulitnya memucat. Artha menahan dirinya untuk tidak berteriak saking terkejutnya. Ia memutuskan untuk bersembunyi di balik rimbunnya semak-semak dan memperhatikannya.

"Merry, ini aku. Ayo keluar, aku akan mengobatimu," ucap pemuda itu dengan nada lembut penuh perhatian. Artha berpikir, mungkin Merry adalah adiknya atau temannya. Namun setelahnya yang keluar adalah seekor anak beruang cokelat. Artha kembali terkejut.

Pemuda itu mengelus bulu beruang itu dengan penuh kasih sayang. Sorot matanya benar-benar teduh dan hangat. Anak beruang itu tampak menyukai perlakuan yang diberikan pemuda itu.

"Kamu pasti kesakitan ya? Maaf membuatmu harus menunggu lama, Sevie belum menumbuhkan tanaman penyembuh luka yang biasa aku pakai. Sementara pakai ini dulu—eh di mana botolku?!"

Pemuda itu tampak panik karena tas kecil yang melingkar di pinggangnya kosong. Merry—si beruang cokelat—menatapnya bingung. Artha sudah menduga pemuda itu akan panik.

"Apa ini milikmu?" tanyanya menginterupsi kepanikannya. Pemuda itu langsung mematung di tempatnya. Si anak beruang memiringkan kepalanya agar dapat melihat Artha yang tersembunyi di antara rerimbunan semak-semak.

"M-maaf telah lancang mengikutimu, s-saya ha-hanya ingin mengembalikan b-barangmu," ucap Artha terbata-bata karena masih syok dengan kejadian beberapa menit yang lalu. Tangannya gemetaran menyodorkan botol milik pemuda itu. "Ini. Sekali lagi, saya minta maaf. Setelah ini saya akan pergi dan melupakan semuanya."

Melihat ekspresinya yang ketakutan, pemuda itu tampak merasa bersalah. Ia berjalan menghampiri Artha namun gadis itu melangkah mundur. Akhirnya ia memutuskan untuk tetap diam di tempatnya agar Artha tidak semakin menghindarinya dan tidak jadi memberikan botol miliknya.

"Terima kasih banyak, Nona Manusia. Aku juga ingin meminta maaf karena telah membuatmu takut, aku tidak akan mencelakai dirimu. Dan tolong, gunakan bahasa yang santai saja. Aku lebih muda darimu."

Artha sama sekali tidak mengerti dengan apa yang pemuda itu ucapkan, tapi setidaknya ia tahu pemuda itu tidak akan membahayakannya. Namun tetap saja Artha tidak mau melangkah lebih dekat.

"Apa itu peliharaanmu?" tanya Artha sambil menunjuk anak beruang yang meringkuk di balik tubuh si pemuda.

"Bukan 'itu', tapi 'dia'. Dia temanku, sudah aku anggap sebagai adikku sendiri." Pemuda itu mengelus bulu si anak beruang dengan lembut. "Dia sedang terluka namun tanaman penyembuh luka sedang tidak tumbuh, dan terpaksa aku pergi ke pasar manusia."

"Tunggu sebentar, sejak tadi kamu menyebut diriku ataupun orang lain dengan 'manusia'. Memangnya kamu bukan manusia?" tanya Artha retoris. Ia tentu sudah tahu jawabannya hanya dengan mengamati bentuk fisik pemuda itu yang jelas memiliki perbedaan signifikan dengan ciri tubuhnya. Ia hanya memastikan dugaannya benar.

"Aku yakin kamu sudah mengetahui jawabannya, tapi, iya. Aku seorang peri hutan."

Artha memekik tertahan. Kedua tangannya menutupi mulutnya yang ternganga kaget. Ia tidak menyangka peri sungguhan ada. Ia pikir makhluk itu hanya hidup di dunia dongeng.

"Astaga, sungguh? Tapi aku dengar, peri memiliki sayap yang indah. Lalu di mana sayapmu?" Artha melongok mencari-cari sayap peri yang seharusnya menempel di punggung pemuda itu. Si pemuda menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Tentu saja tidak ada, peri bersayap hanya imajinasi manusia. Makhluk ciptaan Tuhan yang bersayap hanyalah burung, unggas, dan malaikat. Aku hanya bisa melompat tinggi," jelasnya panjang lebar. Artha mengangguk-angguk. Pantas saja bicaranya tidak jelas, ternyata dia peri, batinnya.

"Oh iya, ini botolmu." Artha hendak melempar botolnya namun pemuda itu mencegahnya.

"Jangan, biar aku yang ambil. Jangan takut, tenang. Aku tidak akan menyakitimu."

Pemuda itu menghampirinya. Ia mengambil botol di genggamannya lalu menggenggam tangan mungil Artha. Ia agak berjengit saat merasakan suhu dingin yang dialirkan tangannya.

"Eh?"

"Terima kasih, ya. Kamu telah menyelamatkan hidup Merry. Aku memang benar-benar ceroboh telah menjatuhkan ini, untung saja tidak rusak." Pemuda itu mengulas senyum tulusnya. Melihatnya, Artha ikut tersenyum.

"Sama-sama."

Tiba-tiba tangan Artha yang berada di genggaman pemuda itu mengeluarkan cahaya. Lagi-lagi, Artha terkejut. Saat cahaya itu meredup, muncul sebuah gelang berkilau berwarna oranye.

"Wah, apa ini?"

"Sebagai tanda terima kasih, simpan baik-baik ya," jawabnya sambil menarik tangannya kembali.

"Oh iya, siapa namamu?" tanya Artha. Bukannya menjawab, pemuda itu malah mengarahkan tangannya ke depan wajahnya.

"Kamu tidak perlu tahu namaku, toh nanti kamu akan melupakannya."

"Maksudnya?"

Pemuda itu menutupi matanya. Sebelum Artha sempat mengucapkan sesuatu, kesadarannya sudah lebih dahulu direnggut. Segalanya menjadi gelap, dan setelahnya Artha tidak mengingat apapun.

Next chapter