1 P r o l o g

Malam itu tampak begitu sunyi, angin berembus menjatuhkan dedaunan kering. Lolongan serigala di dalam hutan semakin mencekam suasana. Jauh dari sana, tampak kehangatan menyelimuti rumah berdesign minimalis yang beberapa meter jauh dari keramaian. Tawa bahagia terdengar di salah satu kamar dengan beberapa karakter Disney yang tergambar di temboknya.

"Ibu! Tidak mungkin ada seseorang yang mau menikahi pria kasar seperti itu!" Gadis mungil yang tengah merebahkan kepalanya di paha Sang Ibu itu mengerucut sebal mendengar cerita; tentang seorang wanita yang mau saja menikahi seorang pria kasar.

Wanita itu pun terkekeh seraya mengusap surai hitam anaknya. "Tidak ada yang tidak mungkin, Sayang. Cinta dapat mengalahkan segalanya."

"Seperti Ibu yang mencintai ayah?" tanya dengan seringai jahil di wajahnya.

"Ha ... ha ... ha .... Ya, seperti itu." Seketika wajah cantik itu membeku beberapa saat. Setelah itu matanya menatap khawatir.

"Aretha, berjanjilah pada Ibu ... apapun yang terjadi kau jangan sampai diketahui oleh siapapun!" Gadis kecil bernama Aretha itu menegakkan tubuhnya menatap bingung kepada ibunya.

"Ada apa—" Sebelum melanjutkan pertanyaannya, Aretha dibawa ke atas plafon kamarnya melalui tangga oleh Sang Ibu. Ia yang tak mengerti apapun hanya bisa diam dan mengikuti perintah ibunya.

"Nak, berjanjilah untuk hidup dengan baik setelah ini. Apapun yang akan terjadi kau harus tetap kuat." Mata gadis kecil itu ikut mengeluarkan air mata saat ibunya mengatakannya dengan aliran di kedua matanya.

"Apa maksudmu, Ibu? Aku akan terus bersama kalian berdua!" Aretha mengusap kasar air yang terus mengalir dengan punggung tangannya.

Wanita itu menggeleng dengan air mata yang semakin deras. Kemudian ia memegang kedua pundak mungil itu dan berkata, "Berjanjilah padaku!"

Aretha tersentak, kemudian ia mengangguk lemah. "Dengarkan aku, Ibu menyimpan uang di brankar tempatnya berada di lemari. Kau bisa menggunakan uang itu seumur hidupmu."

Kemudian ia memasangkan liontinnya kepada Aretha. "Aretha, ada sebuah buku di kamarku, kau harus membacanya suatu saat kau membutuhkan penjelasan semua ini. Dan kalung itu akan menyamarkan bau tubuhmu."

Aretha hanya diam dan mendengarkan meskipun ia tak mengerti apa maksudnya, ia mengangguk kecil.

"Satu lagi, jangan mengeluarkan suara sekecil apapun. Jangan keluar sampai semuanya benar-benar sudah aman!" jelasnya yang diangguki lagi oleh Aretha.

Aretha memandang ibunya sampai hilang dalam pandangnya melalui celah kecil. Sampai suara teriakan terdengar membuat gadis kecil itu tersentak. Aretha menajamkan pendengarannya, terdengar suara seperti bertarung dengan dentingan pedang yang memekakkan telinga.

Drag!

Seketika pintu kamarnya terbuka oleh sosok yang Aretha tidak ketahui. Pria itu mengenakan jubah bertudung dengan bulu-bulu hitam di lehernya. Dengan menenteng sebuah pedang yang sudah berbalut oleh darah.

Aretha membekap mulutnya, ia hampir mual dengan bau amis yang amat pekat itu. Sampai matanya membola saat sebuah pedang datang dari belakang pria itu yang dengan cepat ditangkisnya. Dan yang membuatnya terkejut adalah orang itu adalah ibunya. Aretha hampir berteriak jika saja pesan ibunya tidak terdengar dalam pikirannya.

Ia menangis dalam diam saat melihat ibunya bertarung dengan bajunya yang compang-camping dan beberapa luka di lengannya. Aretha tertegun saat melihat ibunya mengepakkan sayap seputih salju di punggungnya lalu kedua tangan itu mengeluarkan cahaya biru yang langsung menghantam pria berjubah hitam hingga tewas.

Seketika ibunya mendekat ke arahnya, tangga yang terhubung dengan plafon itu terbuka menampilkan penampilan ibunya yang sangat memperihatinkan.

"Ibu ... bertahanlah!" Aretha menangis sesegukkan saat ibunya sudah terbaring lemah.

Ibunya terbatuk dengan mengeluarkan seteguk darah membuat Aretha ketakutan melihat kondisi ibunya.

"Aku akan merawatmu, jadi bertahanlah!" Aretha mengusap kepala ibunya dengan sayang.

"Aku sudah mencapai batas kekuatanku, Nak. Temuilah paman Ramos setelah ini—" Sebelum menyelesaikan kata-katanya, kedua sayap itu kembali muncul membuat kedua mata Aretha mengerjap beberapa kali. Ia melihat ibunya mencabut satu bulu sayapnya dan memberikan padanya.

"Berikan ini padanya, dia akan mengerti." Setelah mengatakan itu napasnya semakin tersengal.

Tangan lemah itu menggapai wajah putrinya, "Jaga dirimu baik-baik." Lalu tangannya terjatuh seketika dengan kedua matanya yang tertutup.

"Ibu!" Aretha menjerit saat mengetahui ibunya pergi dengan keadaan seperti ini.

Aretha menangis beberapa menit sebelum kemudian ia bangkit menuju kamar orangtuanya. Napasnya tercekat saat melihat rumahnya digenangi oleh darah. Ia jatuh terduduk saat melihat ayahnya mati lebih mengenaskan daripada ibunya.

Kepalanya terpisah dengan tubuhnya. Ia tak habis pikir siapa yang berani melakukan ini dengan kejam. Tubuh mungil nya bergetar. Kemudian kedua tangannya mengepal, ia tidak boleh lemah, ia harus kuat, suatu saat ia akan membalaskan dendam dengan terbunuhnya orangtuanya.

Setelah mengambil semua uang yang berada di brankar, tak lupa gadis kecil itu mengambil buku yang tampak usang dan langsung memasukkannya ke dalam tas. Ia tampak kesusahan dengan membawa tas yang cukup besar dari tubuhnya yang mungil. Setelah itu ia melewati mayat-mayat dengan wajah berurai air mata.

Aretha berjalan di antara gelapnya malam yang entah berapa banyak bahaya yang bisa menyerangnya kapan saja. Ia mempercepat langkahnya hingga satu jam kemudian dengan wajah lelahnya ia menatap rumah minimalis yang sejak dulu tak pernah berubah.

Ia mengetuk pintu beberapa kali sampai pintu bercat putih itu membuka dan tampaklah pria tampan seusia ayahnya terkejut dengan kedatangannya yang terlihat kacau dengan tangan mungil itu menggenggam sehelai bulu putih.

"Apa yang—" Ucapannya terpotong dengan gadis mungil itu langsung menubruk memeluk pinggangnya.

"Baiklah, kita berbicara di dalam." Pria yang Aretha temui saat ini adalah Ramos, paman nya.

Pria itu menggendong anak dari adiknya untuk masuk ke dalam rumah. Ia membawa Aretha ke dalam kamar yang biasanya anak itu gunakan ketika menginap di rumahnya.

Ramos mengambil tas yang Aretha gendong dan menyimpannya di samping anak itu yang menunduk dengan air mata yang tak berhenti untuk keluar. Ramos duduk di sampingnya yang lain, lalu memeluk tubuh anak itu yang semakin bergetar dalam peluknya.

"Katakan padaku, sebenarnya ada apa?" tanyanya seraya mengusap lembut rambut hitam Aretha.

Dengan sesegukan Aretha menceritakannya, dari ibunya yang menyuruhnya untuk bersembunyi sampai menyuruhnya memberi sehelai bulu kepada paman nya.

Ramos mengambil bulu itu dan menggenggamnya sambil memejamkan mata, ia dapat melihat kilas balik yang terjadi beberapa jam yang lalu di rumah adiknya.

Ia melihat bahwa adiknya, Amber tengah melawan beberapa pria berjubah hitam. Sampai Amber menjerit melihat suaminya dipenggal oleh pemimpin yang memakai jubah hitam bertudung dengan bulu hitam di lehernya.

"Sialan! Kau membunuhnya!" teriak Amber melihat Carl—suaminya terbunuh dengan kepala terpenggal.

"Ha ... ha ... ha .... Pemimpin terkuat itu akhirnya terbunuh di tanganku! Salahkan saja dia tidak mau menyerahkan anakmu!" Pria itu melesat menyerang Amber dengan membabi buta.

"Siapa yang telah menyuruhmu, Keparat!" desis Amber di sela-sela kesibukannya menyerang pria itu dengan pedang di tangannya.

"Kau tak perlu tahu. Tuanku yang akan memimpin kerajaan terkuat selanjutnya setelah suami dan anak yang dalam ramalan itu mati!" Setelah mengatakan itu pria bertudung itu menggores lengan Amber hingga darah segar mengalir. Kemudian ia menendang Amber yang tampak lemah saat itu.

Kemudian dengan sisa kekuatannya, Amber mengikuti langkah pria itu yang menuju kamar Aretha dan menyerangnya dari belakang tetapi ditangkis cepat oleh pria itu, sampai perkelahian itu terjadi dan Amber membunuh pria itu dengan ambang batas kekuatannya. Sampai Amber menghembuskan napasnya dengan Aretha yang menangis seseugukan di sana.

Mata Ramos terbuka, ia menatap malang pada keponakannya. Gadis mungil itu belum berhenti menangis. Kemudian Ramos beranjak dan mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh Aretha. Ia menangkup wajah cantik itu dengan ibu jari yang mengusap air mata yang terus mengalir tiada hentinya.

"Sayang, ikut paman kembali ke tempat asal kita, ya?" Aretha mengerjap saat paman nya berkata seperti itu.

"Maksud paman? Tempat asal? Bukannya kita tinggal di sini?" tanyanya tak mengerti.

Ramos menjawabnya dengan senyuman. "Setelah kau di sana, kau akan mengerti."

===========================

© RN_Samanta

===========================

avataravatar
Next chapter