1 Mencari Pekerjaan

Laila berjalan dengan gontai. Dia menyusuri trotoar di area perkantoran tak jauh dari rumahnya sembari mencari kertas yang tertempel pada pintu-pintu perkantoran maupun toko, yang bertuliskan 'ADA LOWONGAN'. Surat lamaran yang dia kirimkan ke beberapa perusahaan, belum ada satu pun yang mendapat kepastian.

Sudah sedari pagi berjalan, hingga matahari telah berada tepat di atas kepala, Laila belum juga menemukan apa yang dia cari. Tangan kirinya mengapit map cokelat berisi ijazah SMK, fresh graduate. Dia baru saja lulus dengan nilai yang cukup membanggakan. Namun sayang, sudah hampir enam bulan sejak lulus sekolah, dia belum juga mendapatkan pekerjaan. Sementara kedua orang tuanya setiap hari marah-marah, menuntutnya untuk segera bekerja dan berpenghasilan.

Peluh membanjiri wajah dan sekujur tubuhnya yang langsing. Rambutnya yang panjang dan bergelombang, yang diikat seperti ekor kuda itu pun menjadi lepek sebab keringat yang begitu banyak keluar. Dalam hati dia bertanya, apa harus seperti itu terus?

"Gue harus cepat dapat kerja sebelum Enyak sama Babeh jodohin gue!" gumamnya dalam hati saat mengingat rencana orang tuanya tempo hari.

"Pokoknya, kalau dalam waktu setahun elu belom dapat kerjaan, elu kudu mau dijodohin sama Haji Dulleh. Kagak boleh ngebantah!" Begitu titah Romlah, ibu Laila, yang galaknya sudah terkenal di se-antero Depok.

Hampir saja Laila putus asa ketika tiba-tiba dia melihat kertas bertuliskan 'Dicari Pelayan' yang menempel pada kaca jendela sebuah restoran yang cukup ramai. Restoran Berkah Jaya cabang Depok.

Tanpa berpikir panjang, Laila berlari kecil menuju restoran itu. Begitu memasuki tempat tersebut, gadis itu langsung meminta izin untuk bertemu dengan penanggung jawab restoran.

Pucuk dicinta, ulam pun tiba. Mungkin, memang sudah rejeki Laila. Gadis itu langsung diterima bekerja di restoran yang selalu ramai itu.

"Besok kamu bisa mulai bekerja," kata lelaki dengan potongan rambut cepak, penanggung jawab restoran.

Laila pulang dengan wajah yang bahagia. Sepanjang perjalanan, langkahnya begitu ringan. Senyum selalu tersemat di bibirnya yang tipis dan dipoles gincu warna merah bata. Dia bersyukur, akhirnya bisa mendapatkan pekerjaan di tempat yang tak terlalu jauh dari rumahnya, yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki. Jadi, bisa menghemat biaya transportasi.

Sesampainya di rumah, Laila ingin segera memberi kabar gembira kepada kedua orang tuanya. Namun, rumah dengan teras yang luas itu tampak lengang. Pintunya pun terkunci.

"Assalamualaikum." Laila mengucap salam sambil membuka pintu. Untung saja dia membawa kunci cadangan.

"Enyak sama Babeh ke mana, ya?" gumamnya, dengan suara lirih.

Laila kemudian menuju ke kamarnya, lalu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Tubuhnya sudah terasa lengket dan gerah akibat terlalu lama kepanasan di jalan.

Orang tuanya baru saja datang dari arah belakang rumah saat Laila keluar kamar. Keduanya langsung tersenyum senang melihat Laila telah pulang.

"Udah pulang, lu? Nih, Enyak bawain baju buat elu, La," ucap Romlah bagitu melihat Laila menghampirinya.

Kening gadis itu berkerut. Dia menebak-nebak, dari mana ibunya mendapatkan baju itu.

"Nih, baju buat elu. Bagus banget, deh. Baju ini dikasih sama Haji Dulleh. Tadi Enyak ketemu pas kondangan di kampung sebelah." Sang ibu bercerita dengan antusias.

Disodorkannya totebag pemberian dari Haji Dulleh pada anak gadis semata wayangnya itu.

'Udah gue duga! Nggak bakalan Enyak beliin gue baju,' gerutu Laila, dalam hati.

Sang ibu meminta Laila untuk mencoba baju pemberian dari Haji Dulleh. Meski enggan, gadis itu tetap menuruti permintaan ibunya.

Gamis hijau pupus dengan bordiran bermotif bunga di bagian ujung lengan. Bukan selera Laila. Gadis itu mendengkus. Ingin protes, tetapi takut ibunya murka.

Setelah sang ibu puas memuji kecantikan anaknya saat memakai baju pemberian calon menantu kebanggaannya itu dan pergi, Laila bergegas melepas dan mengempaskannya ke sembarang arah.

"Apaan, si? Ngasih baju model nenek-nenek. Huh!" sungut Laila, lalu direbahkan tubuhnya yang penat ke atas kasur busa, yang hanya cukup untuk ditiduri oleh satu orang.

Di saat hampir terlelap, Laila teringat sesuatu. Dia lantas bangkit dan keluar kamar untuk menemui orang tuanya.

Laila menemui kedua orang tuanya yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Dengan wajah semringah, gadis berkulit kuning langsat itu mulai memberitahukan kabar baik kepada mereka.

"Nyak, Beh, Laila nggak akan dijodohkan sama Haji Dulleh kalau dapat kerja, 'kan?" tanya Laila setelah duduk di hadapan kedua orang tuanya.

Kedua orang tua Laila saling pandang. Sebelum mereka membuka suara, Laila bergegas memberitahu bahwa dia telah mendapatkan pekerjaan. Akan tetapi, bukannya senang, orang tua gadis itu justru kesal.

"Apa? Pelayan? Kagak salah?" cecar sang ibu dengan nada suara tinggi.

Sementara ayahnya, hanya menggelengkan kepala. Mimik wajahnya menyiratkan rasa kecewa.

"Kalau cuma jadi pelayan, mending elu kawin sama Haji Dulleh. Ketahuan, masa depan elu bakalan enak, terjamin. Gue juga ikutan kebagian senengnya pasti, La!" Romlah berkata dengan suara yang lumayan keras.

Laila kecewa. Orang tuanya selalu saja mengukur kebahagiaan dengan harta. Bukan berarti dia tidak suka menjadi istri orang kaya. Akan tetapi, menikah dengan orang yang usianya sepantaran dengan kakeknya ... itu bukanlah cita-cita Laila.

"Memangnya gaji pelayan warung gitu cukup buat hidup kita? Udah, kawin aja sama Haji Dulleh. Bakalan kaya tujuh turunan, tujuh belokan, tujuh tanjakan, lu! Dia orang terlanjur kaya, La!" lanjut Romlah.

"Tapi, Nyak ... Laila pantesnya jadi cucu dia, bukan bininya!" tukas Laila, menuntut pengertian kepada sang ibu.

Romlah menatap Laila dengan tajam. Bola matanya seolah-olah hendak keluar. Tak mau tensinya naik, wanita yang tak lagi muda itu lantas bangkit, dan menuju ke kamarnya untuk menenangkan diri. Sedangkan ayahnya, hanya menggelengkan kepala seperti biasanya, kemudian bergegas menyusul istrinya ke kamar.

Serba salah! Laila merasa tak pernah benar di mata kedua orang tuanya. Belum mendapatkan kerja kena marah, sudah dapat pekerjaan pun, sama saja.

"Apa salahnya gue jadi pelayan? Yang penting halal. Dasar Enyak sama Babeh nggak asik!" gerutu Laila, lantas dia kembali ke kamarnya untuk melanjutkan acara istirahat yang sempat tertunda.

"Gue selalu aja salah di mata kalian. Besok gue pindahlah ke hidung kalian!"

***

Sepuluh menit sebelum azan Subuh berkumandang, Laila telah bangun. Dia sengaja memasang alarm agar bisa bangun lebih cepat, karena tak mau terlambat di hari pertamanya bekerja. Bagi gadis berkulit kuning langsat itu, apa pun jenis pekerjaan adalah baik, yang penting halal.

Usai melaksanakan salat Subuh, gadis itu menyelesaikan pekerjaan rumah sebelum berangkat bekerja. Itu adalah usahanya untuk mendapatkan simpati dari orang tuanya. Meskipun Laila tak yakin mereka akan luluh, dan membatalkan perjodohannya dengan lelaki tua yang lebih pantas menjadi kakeknya, paling tidak, dia sudah mencoba semampunya.

Jam dinding menunjukkan pukul setengah tujuh. Laila pun berangkat. Restoran buka jam delapan pagi. Akan tetapi, dia harus sudah berada di sana jam tujuh tepat untuk mempersiapkan segala sesuatunya.

Laila belajar dengan cepat, sehingga di hari pertamanya bekerja, semua berjalan lancar.

"Untuk sementara, kamu hanya bertugas mencatat pesanan pelanggan. Nanti jika ada yang lain, saya akan kasih instruksi lebih lanjut," kata lelaki dengan potongan rambut cepak, penanggung jawab di tempat itu.

Laila mengangguk tanda mengerti. Dan, hari itu dilalui dengan gembira oleh gadis yang belum memiliki pengalaman kerja sebelumnya, walaupun orang tuanya tidak suka dengan pekerjaan yang dia dapat. Gadis itu bertekad, akan membuat orang tuanya bangga suatu hari nanti.

"Ya, nasib orang, 'kan, nggak ada yang tahu. Sekarang, boleh aja gue cuma seorang pelayan restoran, mana tahu nasib gue akan berubah suatu saat nanti." Laila memberi semangat pada diri sendiri. Dan dia sangat yakin akan hal itu.

avataravatar