1 Rasa Itu Mulai Nyata

Sakit. Itulah satu kata yang mungkin bisa sedikit mewakili perasaanku saat ini. Disaat gadis yang kucinta, bisa tersenyum bersama orang lain dan malah sangat membenci ku. Apakah aku seburuk itu hingga membuatnya sebenci itu padaku?

Tempo hari, Bik Ijah telah bercerita banyak denganku. Tentang masa lalu Dea, dan semua sifat asli Dea–termasuk sikap angkuh dan dinginnya itu. Itu hanyalah sebagai benteng pertahanan yang ia bangun, agar ia sendiri tidak ikut hancur dengan semua beban yang menerjangnya. Namun, bisakah aku masuk dalam hidupmu, Dea? Seperti orang-orang yang kamu izinkan masuk dalam hidupmu.

"Hai, Dea. Gimana kabar, Loe? Udah baikan?" ucapku memberanikan diri untuk yang kesekian kalinya.

Ia tidak langsung menjawab pertanyaan dan sapaan ku. Ia menghela napasnya berat, "Alhamdulillah, udah," jawabnya singkat.

"Hm, Gue permisi ke kelas duluan, ya Dea. Bye," ucap Ryan yang pamit pergi meninggalkan ku dan Dea di dalam keheningan yang tak diundang.

Tak ada jawaban, kami berdua hanya mengangguk perlahan, untuk mengiyakan Ryan. Setelah itu, suasana kembali dingin, entah itu karena sikap dingin Dea, atau memang suasana pagi ini yang dingin.

"Makasih," celetuk Dea tiba-tiba.

Aku yang tidak menyangka kata-kata itu akan keluar dari bibir seorang Deandra pun sedikit terkejut dan berusaha mencerna lebih dulu kata-katanya barusan, sebelum menjawabnya dengan pasti.

"Untuk apa?"

"Untuk bantuannya."

"Bantuan apa?"

"Bantuan, ya ... Karna udah bantuin Bik Ijah beresin rumah."

"Oo, itu bukan bantuan, kok. Itu udah kewajiban Gue sebagai seorang anak muda untuk membantu orang tua."

"Oh," ucapnya yang tiba-tiba ketus, setelah awal dingin yang panjang.

Aku hanya diam, dan tersenyum menanggapi ucapannya itu. Dalam hati, aku sedang menunggu kelanjutan dari kalimat Dea. Karena baru kali ini ia mau duduk sejenak denganku untuk membahas suatu hal. Apakah kali ini ia bisa berdamai denganku? Dan kemudian mengizinkanku untuk masuk ke dalam hidupnya?

"Makasih juga," ucapnya lagi.

"Untuk apa lagi?" ucapku mengerutkan dahi.

Rasanya sudah tidak ada lagi hal yang kulakukan hingga ia harus mengucapkan kata terima kasih.

"Makasih, karna udah antarin Gue pulang dengan selamat."

"Oo, itu. Santai aja. Itu juga kebetulan karna Gue lagi lewat situ." ucapku sedikit berbohong.

Aku tidak ingin ia mengetahui bahwa malam itu aku mengejarnya keluar. Aku juga tidak ingin mengingatkannya lagi akan kejadian yang hampir merenggut nyawanya itu. Cukup aku dan Tuhan saja yang tau.

"Dan, maaf," lirihnya seketika.

Nada ketus yang sedari tadi kudengar berubah seketika. Suasana dingin itu kita perlahan berubah hangat.

"Untuk?"

"Maaf, karna selama ini Gue udah berlaku nggak adil sama Loe. Tapi, jujur Gue emang 'benci banget' sama Loe. Karna kehadiran Loe, membuat luka Gue kembali berdarah, Rel. Mungkin Loe udah banyak denger tentang Gue dari beberapa teman di kelas dan juga dari Bik Ijah. Jadi ... Ya gitu, deh. Loe pasti udah paham maksud Gue. Dan sekarang, setelah dapat beberapa arahan dan nasehat dari Bik Ijah, Gue mutusin untuk minta maaf sama Loe. Gue minta maaf atas sikap Gue ke Loe yang pastinya bikin hati Loe luka. Gue nggak mau lagi nyari masalah. Udah cukup. Masalah Gue juga udah banyak banget, kan?" tutur Dea pajang kali lebar untuk yang pertama kalinya padaku.

Dapat kudengar dari lirih suaranya itu, bahwa ia sangat membutuhkan teman untuk mengadu. Ia butuh seseorang untuk menumpahkan segala beban yang ada di dalam hatinya.

"It's okey, Dea. Gue nggak pernah ngerasa sakit, kok dengan semua yang Loe lakuin. Mungkin emang salah Gue juga yang terlalu berani untuk cari masalah sama Loe. Dan ... Kalau Loe mau, Gue siap jadi pendengar setia Loe kapanpun Loe mau cerita. Nggak usah sungkan. Anggap aja, itu sebagai bentuk permintaan maaf Gue karna udah bikin Loe ngamuk terus tiap ketemu Gue," ucapku sedikit terkekeh diakhir kalimatku.

"Rel, Loe nggak lagi ngasihanin Gue, kan?" ucapnya tiba-tiba.

"Mana mungkin Gue ngasihanin manusia macam Loe, Dea. Gue cuma nawarin diri. Kali aja Loe mau storytelling sama Gue. Gitu," ucapku santai karena mengingat obrolan ku dengan Jihan dulu. Bahwa Dea tidak suka dikasihani.

"Idih, Loe pikir Gue mau apa cerita sama cowok 'sok' kayak Loe? Udah kayak iblis lagi," intonasinya mulai berubah riang dan sewot.

"Eh, apa Loe bilang? Ntar naksir beneran Loe sama Gue awas Loe, ya. Ati-ati Loe," ucapku membalas perkataannya.

"Mimpi Loe, udah siang. Bangun, bangun."

"Ingat, kan? Gue bilang, gue nggak bakal lepasin Loe, Deandra Ozahwa. Ingat itu, okey Cantik?" ucapku kembali sukses membuatnya ilfil dan aku memutuskan untuk segera kabur dari sana lebih dulu. Sebelum bom dari mulutnya kembali meledak.

Aku sedikit lega, karena hari ini adalah hari aku diizinkan masuk ke dalam hidupnya. Aku juga berharap kelak bisa masuk ke dalam hatinya dan mengikrarkan janji untuk selalu menjaga dan membuatnya bahagia. Seperti hari ini, disaat ia kembali bertenaga untuk bicara lantang.

Di kelas, aku kembali mengingat percakapan kami tadi, dan tanpa kuduga, senyumku berhasil mengembang untuk yang kesekian kalinya. Aku tidak pernah mengira seorang gadis dingin yang sudah berusaha keras membagun benteng tinggi dan memberi jarak yang begitu jauh dariku, bisa mengucapkan kalimat sesimpel itu. Tak apa, ku hargai itu. Setidaknya ia sudah mau berbicara denganku secara baik.

***

Pengumuman libur semester pun tiba. Waktu yang telah ditunggu-tunggu oleh ribuan mahasiswa di kampus ini, termasuk aku yang dulu. Entah mengapa, sekarang aku merasa tidak senang dengan adanya libur ini, karena aku harus menanggung rindu yang panjang dan tidak bisa bertemu dengan gadis itu.

"Dea!"

"Hm?"

"Gue boleh minta nomor ponsel Loe, nggak?"

"Buat?"

"Hm, masih banyak materi di semester kemarin yang Gue nggak paham. Jadi Gue mau belajar, mau nanya lebih banyak sama Loe. Kan, kata Pak Harmoko Loe masternya sejarah."

"Alasan Loe bagus banget buat minta nomor Gue?"

"Eh, kok alasan sih. Gue beneran Dea. Nilai Gue terancam semua, tau. Gue juga baru di sini. Loe lupa, ya? Gue, kan pindahan," Dea terus berjalan bergegas hingga aku cukup kewalahan untuk mengikutinya.

"Basi," ucapnya menghunus jantungku.

"Eh, kok jadi kayak Gue yang berharap banget, sih sama Loe?" sadarku, dan menghentikan langkah untuk mengikutinya.

"Emang," celetuknya lagi.

"Apa? Dasar! Ternyata bener, ya, apa yang dibilang orang-orang selama ini, kalau orang udah pintar, pasti pelit sama ilmunya. Salah satunya, Loe," ucapku memancing emosi Dea.

Namun, ia hanya diam. Hingga beberapa saat kemudian,

"Catet!"

"Iya, bakalan Gue catet, kalau Loe itu salah satu mahasiswa terpelit yang ada di muka bumi ini," ucapku yang masih memancing amarahnya.

"Eh, Loe tadi minta nomor Gue, ini udah Gue suruh catet malah sibuk ng-hina Gue, Loe. Dasar! Iblis," akhirnya emosi Dea berhasil keluar.

Namun, aku lupa, bahwa aku juga punya tujuan awal. Jika amarahnya terlalu besar, bisa-bisa aku gagal untuk minta nomor ponselnya sebelum libur berlangsung.

"Eh, ok-ok. Mana? Sebutin, Gue catet," ucapku santai tanpa merasa bersalah dengan kalimatku sebelumnya yang sudah sedikit menyakiti hatinya.

"Telat!" bentak Dea. Kemudian ia pun berlalu pergi.

"Eh, Dea, kemana Loe? Loe belum jadi nyebutin nomor Loe."

Ia hanya diam, dan terus berlalu, sampai Pak Adi–supir pribadinya datang untuk menjemput Dea. Aku yang sudah mengenalnya pun menyapa beliau.

"Selamat siang, Pak."

"Eh, ada Derel. Siang juga, Rel. Mau barengan?" tanya Pak Adi ramah.

"Eh, nggak-nggak. Masak dia ikut kita, sih, Pak. Dea nggak mau," bantah Dea menolakku.

"Loh, kok gitu. Kasihan teman mu, Dea."

"Dia bukan temen Dea, kok, Pak."

"Hm, nggak papa, Pak. Mungkin lain kali aja. Nanti Derel nunggu bus kota aja," ucapku ramah.

"Mana ada bus kota jam segini, Derel. Palingan dua jam lagi baru nyampai halte. Itupun kalau nggak macet di sananya," seru Pak Adi masih berusaha.

"Nggak papa, Pak. Nunggu bentar, kok itu, Pak."

Tiba-tiba ....

"Suruh dia duduk di depan aja, Pak. Dea udah laper," ucap Dea tiba-tiba mengagetkan kami berdua.

"Nah, udah disuruh masuk, Rel. Yuk, buruan. Ntar tuan putri berubah pikiran lagi," ledek Pak Adi pada Dea.

"Hehe, beneran, nih, Dea?"

Dea hanya diam, "Loe nggak bakal nurunin Gue ditengah tol, kan?"

Dia masih tetap diam, "Atau Loe nggak punya rencana jahat untuk balas Gue, kan?"

"Atau ...."

"Loe mau masuk apa nggak?" bentak Dea.

"Ok-ok," aku pun menurut dan langsung masuk ke dalam mobilnya.

Sesaat kulirik dari kaca depan mobil, ia tersenyum manis dari jok belakang. Mungkin lebih manis daripada senyumnya yang ada di dalam foto waktu itu. Mungkinkah ia bahagia? Dan apakah itu karena ku? I wish, I was the reason for your smile, Dea.

avataravatar
Next chapter