webnovel

1. Rumah

DENDAM SI CULUN

1. Rumah

Artha berlari cepat menghindari sebongkah batu yang hampir saja mengenai kepalanya. Di belakangnya, beberapa orang remaja lelaki bersorak-sorai seolah-olah sedang mengejar binatang buruan.

Sudah tidak terhitung berapa kali Artha mengalami pembulian dari teman-temannya. Setiap kali ke sekolah, dia seakan-akan menghadapi mimpi buruk. Tidak pernah ada yang namanya ketenangan bagi seorang Artha di tempat yang seharusnya dia mendapatkan kedamaian.

"Sini, kau!" Lantang suara Gandhi--pimpinan komplotan yang kerap membulinya itu berteriak di belakangnya, setelah Gandhi berhasil menangkap lengannya.

"Tidak! Lepaskan aku, Gandhi! Aku mau pulang!" Artha terengah-engah sambil terus berusaha melepaskan cengkeraman Gandhi di lengannya.

"Berani sekali kau membantahku, Culun! Terima ini ...!"

Tanpa rasa kasihan, Gandhi membetot leher Artha, lalu dengan sekali sentak dia membanting tubuh malang itu ke tanah.

Artha melenguh menahan sakit begitu punggungnya menyatu dengan bumi. Dia merasa tulang-belulangnya seakan mau copot. Dia tidak mampu menahan air mata yang memaksa untuk merembes.

"Cengeng!" Tidak puas hanya dengan membanting, Gandhi menendang tulang rusuk Artha. Lolongan kesakitan kembali mengoyak kesunyian kawasan yang berada dekat kuburan tersebut.

"Sudah, Ndi! Bisa mati dia kamu tendang terus. Lihat, noh, dia kesakitan banget kayaknya." Ferdi, teman Gandhi menarik tubuh Gandhi yang hendak menghujani Artha dengan pukulan.

"Cih! Kali ini kau selamat, Culun! Besok kalau kau berani menghindar dan membantahku lagi, aku matikan kau!" Gandhi melepehkan ludah yang hinggap di pipi Artha, lalu melangkah cepat meninggalkan Artha yang megap-megap kehabisan napas.

Artha dengan susah payah bangkit, memungut tasnya dan sambil menahan sakit dia melangkah terseok-seok menuju pulang. Dia sangat marah pada dirinya sendiri. Marah pada kelemahan mental dan sikapnya. Marah karena tidak bisa membela kehormatan dan harga dirinya. Marah karena hanya bisa menangis … menangis … dan menangis.

Sambil terisak-isak menyusuri jalan yang sepi, Artha berteriak kencang. Menendang apa saja yang dia temui, walau setiap gerakan yang dia buat membuat badannya terasa sakit.

"Anjing!"

Artha memaki langit.

"Bangsat!"

Artha memaki udara.

"Membusuklah kalian semuanya di neraka. Anjinggg! Bangsaaat!"

Dia terus berteriak dan menjeritkan kutuk serapah dari mulutnya. Rasa sakit dan kebencian seolah-olah terlempar dari jiwanya. Namun, tubuhnya kembali rubuh ke bumi oleh deraan batin yang tidak terperi.

"Tuhan, jika Engkau ada, kenapa aku menderita begini? Di mana Engkau, Tuhan? Di manaaa?"

Artha tertawa sumbang. Tuhan? Bukankah dia selalu ada? Bukankah dia akan menolong hamba-hamba-Nya yang teraniaya? Namun, Artha mulai menyangsikan keberadaan Tuhan. Ini sudah di luar batas. Ini sudah di luar kemampuannya. Saban hari batinnya terus terkoyak, jiwanya melepuh oleh bara dendam yang kian membakar.

Dia seolah-olah kehilangan pegangan. Tidak tahu lagi mana yang benar dan mana yang salah. Urat-urat syaraf di kepalanya menegang. Rasa sakit yang teramat sangat membuatnya menghantamkan kepalanya ke tanah yang kasar. Keningnya berdarah. Namun, sesaat dia merasa tenang. Merasa semua beban di pundaknya menghilang.

Sambil menekan debaran jantung yang kian tidak menentu, dia kembali mencoba bangkit. Melangkah tersuruk-suruk karena kakinya yang terasa lemah, pandangannya mengabur, merasakan beberapa tetes darah mengalir membasahi matanya.

"Tidak lama lagi … sudah dekat … yah, sudah dekat … aku akan sampai … di rumah …." Artha tetap berkeyakinan kalau rumah yang dia tuju akan memberinya sedikit ketenangan. Setidaknya sebuah kamar yang jarang sekali tersentuh cahaya sudah menunggunya di rumah.

"Semoga saja … monster itu tidak ada. Semoga saja babi itu … belum pulang … dan semoga saja … pelacur itu … masih tertidur." Artha terus menggumam. Memikirkan hal-hal baik untuk mengusir kerisauan hatinya. Jika orang di rumah melihatnya babak-belur begini, bukan simpati yang dia dapat, tetapi kekerasan yang jauh lebih sadis yang dia terima.

Namun, apa yang dia harapkan hanya tinggal harapan. Di beranda rumah seorang lelaki sedang duduk di kursi malas. Di tangan kanannya tergenggam sebuah botol minuman beralkohol yang isinya masih tersisa setengah.

Artha merapal di dalam hati, semoga pria itu dalam keadaan tidak sadar atau teler. Dia berharap lelaki yang merupakan ayahnya itu sedang tertidur. Jika dia terjaga dan melihat kondisinya yang bisa dikatakan jauh dari kata baik-baik itu saja akan membuatnya meradang dan menghajarnya habis-habisan.