5 Kecelakaan Kakek

Saat matahari terbenam, senja berwarna merah oranye akan membuat Desa Kanigaran terlihat seperti lukisan yang indah.

Seorang pemuda yang lembut berjalan di jalan bebatuan di sebuah pedesaan, penampilannya mempesona, dia mengenakan kemeja putih dengan corak warna.

Diam-diam dia melihat gadis yang ada di sebelahnya, lalu keraguan di dalam matanya menjadi semakin dalam. Dia benar-benar tidak mengerti mengapa Jelita Wiratama yang berperilaku baik dan pendiam menjadi seperti ini... menjadi tampak begitu kuat, seperti pedang tajam yang tersimpan baik di sarungnya. Jika pedang itu dikeluarkan, maka pedang itu terlihat sangat bersinar.

Jika sebelumnya Jelita Wiratama hanya sebuah pedang tajam, maka saat ini dia seperti pedang tajam yang tak tertandingi, begitu kuat tersimpan di sarungnya, namun dapat ditarik dengan bebas dan kapan saja.

Gadis yang ada di sebelahnya itu tiba-tiba membuatnya merasakan adanya jarak diantara mereka, dia mulai panik tanpa alasan.

"Jelita, apa yang kamu pikirkan?"

Jelita Wiratama menatapnya, mencoba mencari tahu apa yang ada di pikirannya sendiri, kemudian berhenti selama beberapa detik sebelum menyusulnya "Aku sedang berpikir, bisnis seperti apa yang dapat menghasilkan uang dengan cepat."

Zafran Mahesa sangat terkejut, dia benar-benar tidak menyangka bahwa Jelita Wiratama sedang berpikir untuk menghasilkan uang.

"Kenapa kamu terlihat sangat terkejut?" Jelita Wiratama tersenyum dan melanjutkan, "Zafran, apa kamu tidak tahu alasan kenapa aku belajar begitu keras, dan selalu berjuang untuk mendapatkan peringkat pertama?"

"Bukankah hanya untuk melanjutkan ke sekolah yang baik, kemudian masuk ke universitas yang baik. Setelah lulus, aku akan dapat menemukan pekerjaan yang baik sehingga ibu, dan nenek-nenek leluhurku dapat menjalani kehidupan yang baik, selain itu juga supaya tidak pernah dikatakan sebagai "Tiga Janda Wiratama", mereka pantas untuk disebut "Wanita Wiratama". Jika tujuan sekolahku adalah untuk menghasilkan uang, maka dari itu aku sudah memikirkannya dari sekarang, tapi kenapa aku tidak bisa membuat rencana awal?"

Zafran Mahesa menatapnya dengan tatapan kosong, tidak bisa berkata apa-apa untuk membantah. Dia tertarik dengan mata yang sangat cerah itu, seolah-olah sedang kerasukan.

Jelita Wiratama berhenti dan menatapnya dengan serius.

"Zafran, percaya atau tidak, aku tidak akan pernah menyakitimu dan Kakek. Jadi, teruslah tinggal di Probolinggo dan jagalah Kakek."

Jelita Wiratama tidak akan pernah lupa bahwa Zafran Mahesa hampir diserang oleh kelompok orang jahat setelah Zafran Mahesa putus sekolah di kehidupan sebelumnya. Itu adalah perbuatan keluarga kandungnya untuk memutus hubungan mereka dengan cara menyuruh sekelompok orang jahat itu. Pada akhirnya Zafran Mahesa mengalami nasib buruk hingga akhirnya meninggal.

Dan Zafran Mahesa ...

Jelita Wiratama menggigit bibirnya, tatapan panasnya tertuju pada bocah laki-laki itu.

Dia masih di sana, dan masih hidup dan sehat.

"Ayo segera kembali! Nenekku pasti sangat senang melihatmu di sini." Dia menepuk bahu Zafran Mahesa dengan kuat sambil menatapnya dalam-dalam "Zafran, kamu terlalu lemah!"

Demi keselamatan dan masa depan Zafran Mahesa, Jelita Wiratama tidak akan berhenti untuk melatihnya supaya menjadi kuat!

Zafran Mahesa merasa ngeri dengan tatapan mata Jelita Wiratama yang terlihat aneh, hanya mencoba mengikutinya kembali ke rumah dengan sikap bodoh.

Makan malamnya terlihat mewah, Nenek sangat senang melihat kedatangan Zafran Mahesa, sampai Nenek rela memasak ayam tua yang sudah lama bertelur di rumah mereka, dan ini belum pernah terjadi sebelumnya.

"Zafran, makanlah lebih banyak. Lihatlah kamu itu pria muda yang tinggi, tapi kurus seperti tiang bambu, bagaimana bisa kamu terlihat seperti ini? Pulanglah kemari dengan Jelita setelah ujian besok, Nenek akan membuatkanmu makanan enak." Sorot mata Zafran Mahesa sama dengan mata hewan yang sedang kelaparan, dia sangat lapar.

"Jangan khawatir, Nenek, dia akan datang besok! Dia tidak hanya akan datang sendiri, tapi kakek juga akan datang. Besok kita akan pergi ke kota untuk menjemput kakek setelah ujian!" Kata Jelita Wiratama perlahan, sambil menyeduh kuah sup ayam, diam-diam mengagumi rasa sup ayam yang sangat lezat itu.

Nenek mengambil makanan dengan tangannya, wajahnya berubah, dia memperhatikan Jelita Wiratama dengan hati-hati, kemudian bertanya dengan tenang, "Apa yang sedang kamu pikirkan?"

Sementara itu Nenek Marisa tidak peduli tentang apapun kecuali terus mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Tentu saja, dia tidak bisa peduli tentang hal-hal lain dengan keadaan pikirannya saat ini.

Jelita Wiratama berpikir sesuatu hal yang harus dia katakan, lalu menghela nafas sedikit "Nenek, katakanlah jika Kakek Haris Mahesa datang ke rumah kita sebentar. Bagaimana menurut nenek?"

"Begini Jelita, apa kamu tidak marah?" Tanya nenek cemas.

Hubungan antara Neneknya dan Kakek Haris Mahesa berlangsung lama dan tidak dipublikasikan karena dia takut cucunya tidak akan menerimanya. Tetapi hari ini, cucunya yang baik benar-benar menawarkan untuk membawa Kakek Mahesa tinggal di rumah, tidak peduli berapa lama dia tinggal, ini merupakan awal yang baik!

Jelita Wiratama memandangi wajah neneknya yang terlihat sangat gembira tapi seperti dipaksakan, kemudian tersenyum "Apa yang membuatku marah nek? Situasi ini tidak bisa dihindari. Lagi pula, nenek pasti masih memikirkannya. Jadi apa kakek Erlangga Salim, tidak peduli pada orang baik seperti Kakek Haris Mahesa?"

Nenek tidak peduli jika dia terlihat tersipu malu ketika dia mendengar ucapan Jelita Wiratama. Dengan pelan dia menepuk kepala Jelita Wiratama lalu mengatakan "Tidak peduli apa yang Erlangga Salim lakukan, dia selalu bersikap sama dalam hal hubungan darah. Jangan sebut namanya lagi."

Di akhir pembicaraan, nenek bersikap agak kasar.

Jelita Wiratama menutup mulutnya dan membenamkan kepalanya dalam diam, suasana yang awalnya harmonis tiba-tiba menjadi tegang.

Zafran Mahesa meletakkan sendoknya dan dengan tenang menarik ujung pakaian Jelita Wiratama, memberi isyarat padanya agar tidak bersedih.

Zafran Mahesa berkata kepada nenek "Di mata guru dan teman sekelas, Jelita adalah siswa yang sangat berprestasi. Karena Jelita mengatakan itu, aku pikir Jelita pasti punya tujuan yang baik. Nenek, jangan marah. Kami ada ujian besok jadi sebaiknya kami pergi beristirahat sekarang."

Melihat Zafran Mahesa menarik Jelita Wiratama dari meja, nenek Marisa sepertinya ingin mengatakan sesuatu, setelah itu nenek Marisa menatapnya dan berkata dengan ringan, "Selesaikan makanmu dengan hati-hati."

Desa Kanigaran di malam hari terasa sunyi dan santai, Jelita Wiratama sedang duduk di bawah pohon persik yang ada di halaman, melihat kejauhan, sambil berpikir.

"Jelita Wiratama, nenek berharap kamu selalu bahagia, karena di mata nenek, kamu adalah gadis yang paling sempurna."

Jelita Wiratama meliriknya, nadanya datar "Aku tahu."

Jelita Wiratama tahu, tapi tidak menyetujuinya.

Beberapa orang pantas mendapatkan rasa hormatmu, dan beberapa orang akan menganggap rasa hormatmu untuk mereka bagaikan kotoran sehingga mereka dapat dengan mudah menginjaknya dengan kaki mereka secara sembarangan.

Jika "Eralngga Salim" itu bukan kakek kandung Jelita Wiratama, Jelita Wiratama pasti akan curiga bahwa dia adalah dalang di balik kerusakan keluarga Wiratama.

Karena ujian akan dilanjutkan keesokan harinya, keduanya hanya duduk di halaman sebentar lalu kembali untuk tidur.

Segera setelah Jelita Wiratama menyelesaikan mata pelajaran terakhir pada sore hari keesokan harinya, Jelita Wiratama membawa Zafran Mahesa ke dalam mobil menuju Kota Probolinggo. Kota Probolinggo hanya berjarak satu jam setengah dari sini, sehingga kami dapat menyusul makan malam saat kembali ke Desa Kanigaran setelah menjemput kakek. Jelita Wiratama merencanakan sesuatu di dalam hatinya.

Pada tahun-tahun awal, Kakek Haris Mahesa adalah anggota staf di sebuah pangkalan penelitian ilmiah yang secara khusus didirikan di daerah Probolinggo. Kemudian, pangkalan tersebut dipindahkan ke kota lain. Dia meninggalkan pekerjaannya karena telah nyaman tinggal di Probolinggo lalu bekerja di dinas pendidikan daerah. Tahun ini dia pensiun dini dan tinggal di kompleks keluarga Dinas Pendidikan.

Begitu Jelita Wiratama dan Zafran Mahesa tiba di gerbang kompleks keluarga, mereka melihat beberapa pensiunan pria dan wanita tua sedang mendiskusikan sesuatu bersama, Ketika mereka melihat Zafran Mahesa, mereka diam dan menunjukkan perhatian.

"Nenek Dipta, Kakek Dipta, Kakek Kadir... apa yang sedang terjadi?" Zafran Mahesa dengan peka memperhatikan bahwa ekspresi dari beberapa orang tua itu tidak terlihat baik. Dia melihat sekeliling dan segera menyadari bahwa kakeknya yang biasanya paling suka berkumpul bersama mereka itu tidak ada disana. Semacam firasat buruk.

"Zafran, pergilah ke rumah sakit untuk melihat kakekmu! Dia dipukuli tadi malam dan seluruh tubuhnya terluka. Saat ini dia masih terbaring di rumah sakit." Salah satu lelaki tua berambut putih mengerutkan keningnya menjelaskan, sementara itu lelaki tua gemuk di sebelahnya melihat Zafran Mahesa dengan tatapan prihatin.

Setelah mendengar itu, ekspresi wajah Zafran Mahesa berubah, dia segera bergegas pergi. Beberapa detik kemudian, dia berbalik dan berlari, berbalik untuk berbicara dengan Jelita Wiratama.

"Jelita, tunggu aku di sini, aku akan pulang untuk mengambil sesuatu."

Hanya ada empat apartemen berlantai enam di kompleks keluarga tersebut. Kakek Haris Mahesa tinggal di lantai dua di apartemen seberang gerbang kompleks. Lantai dasarnya hanya berukuran setengah lantai, sehingga lantai dua setara dengan lantai satu.

Jelita Wiratama memperhatikan bahwa bunga dan tanaman yang biasa dirawat kakeknya telah hilang, tapi taman di bawah jendela ruang belajar terlihat rapi saat ini, hanya menyisakan kursi santai dari bambu dan rotan serta pasir yang berserakan.

Menimbulkan perasaan aneh di hatinya, Jelita Wiratama bertanya kepada beberapa orang tua disana, "kakek-kakek dan nenek-nenek, kenapa bunga di taman rumah Zafran hilang? Apakah rumahnya dirampok? Apakah kakeknya dipukuli oleh seorang pencuri?"

Orang tua berambut putih memejamkan mata dan mendesah pelan. Orang tua gemuk di sebelahnya tidak bisa menahannya lagi, lalu berkata dengan cemas "Di mana pencuri itu, jelas itu perampok!"

Mata Jelita Wiratama terbelalak, dan dia mencoba membandingkan situasi ini sebelum dan sesudah, dia terus memikirkannya.

Dia terus bertanya "Aku ingat bahwa di rumah Kakek memiliki bunga berwarna merah yang luar biasa. Sekarang sedang musim berbunga. Pasti bunga itu sudah mekar!"

Middlemist adalah sejenis bunga kamelia yang berharga, dan Middlemist merupakan salah satu bunga langka. Menurut legenda, seorang sastrawan tertentu di Kerajaan Majapahit sangat menyukai bunga kamelia, terutama varietas yang berdarah merah. Namun, saat mencari tempat mekarnya bunga kamelia, ia tidak dapat menemukan bunga kamelia yang membuatnya jatuh cinta pada pandangan pertama. Suatu hari, ia diajak untuk mengikuti acara pembacaan puisi seorang teman setempat, teman itu mengundang sekelompok penari untuk meramaikan, pemimpin penari itu mempunyai paras yang cantik, memakai kamelia merah cerah seperti darah, menari hingga membuat semua orang terpana. Para sastrawan segera jatuh cinta pada penari itu, dan sebelum acara pembacaan puisi dimulai, dia mengejar gadis penari itu.

Sejak itu, Middlemist telah menjadi cerita yang indah antara sastrawan dan penari, dan bahkan lebih menunjukkan keluhuran dan keindahan makna puisinya.

Kakek menemukan Middlemist dari gunung, dan butuh sepuluh tahun untuk merawatnya hingga mekar. Bisa dibayangkan betapa berharganya bunga ini.

Orang tua gemuk dan orang tua berambut putih itu tidak menyangka bahwa Jelita Wiratama mengetahui soal Middlemist, dan keduanya mengerutkan kening dan berkata "Nak, karena kamu tahu ini adalah Middlemist, maka kamu pasti sudah paham nilainya."

"Hei, aku khawatir kali ini Irawan selesai!"

Ekspresi pria tua gemuk itu terlihat buruk, matanya merah, dan dia berkata kepada Jelita Wiratama, "Irawan ini adalah seorang pria besar. Kami orang tua tidak mengetahui apa-apa. Jadi kami tidak dapat membantumu mencari tahu apa yang terjadi. Nak, bantulah dan bujuk Zafran Mahesa agar tidak keras kepala. Tidak peduli betapa berharganya bunga dan tanaman, mereka juga harus mengutamakan keselamatannya sendiri!"

Jelita Wiratama tercengang, dan bahkan dia tidak sadar bahwa Zafram Mahesa datang.

"Jelita, ikut aku!"

avataravatar
Next chapter