1 Prolog : Kutukan Raja Iblis

Sejak kecil, aku menyukai kisah para pahlawan. Sosok yang mulia, kuat, membawa harapan yang lemah untuk selamat. Karena itulah orang-orang memuja mereka bak penyelamat dunia, pembela keadilan. Aku sudah ditunjuk menjadi pahlawan bahkan sebelum bisa berdiri dengan kedua kaki. Sampai akhirnya, hampir setengah abad kemudian, setelah perang panjang dengan kerajaan iblis Demonia, akhirnya aku berhadapan dengan sang Raja Iblis.

Dalam penyerbuan bersama ratusan ribu pasukan aliansi umat manusia, hanya empat yang berhasil menembus pertahanan terakhir musuh, pahlawan terpilih, Greatlion, pemimpin kami, terkenal akan sosoknya yang bijak. Jeff si pendiam namun selalu membantu pada saat dibutuhkan. Penyerang utama kami, dengan tombak mematikannya, yaitu Bardie. Dan aku, Anabelle, penyihir mantera hitam sekaligus putih.

Raja Iblis beranjak dari singgasana, meski tubuhnya setara manusia biasa, tapi ia terlihat begitu besar. Tiap-tiap langkahnya membuat pandangan mata menyempit, hampir tidak ada ruang kecuali dirinya yang terlihat. Aku gemetar. Bukan rasa takut akan kematian, karena sejak awal aku sudah siap untuk itu. Tetap saja, sesuai julukannya, Raja Iblis berhasil merangsang rasa putus asa dari lubuk hati terdalam.

Lantas, apa yang mampu menghancurkan keteguhan seorang martir? Ada! Yaitu disaat harapan menjadi sia-sia. Pengorbanan pupus begitu saja. Untuk apa berjuang kalau begitu? Apakah artinya kematian kami, jika gagal membunuh, atau setidaknya memotong salah satu bagian tubuh Raja Iblis? Bagaimana dengan ratusan ribu nyawa yang hilang demi mengantar kami ke sini? Aku terus bergelut dalam kerisauan.

"Hah!" Sebuah teriakan lantang mengembalikan kesadaranku. "Jangan kau pikir bisa mengintimidasi kami seperti serangga, dasar setan!" Ternyata berasal dari raungan amarah Bardie. Syukurlah, berkat itu, pikiranku kembali pada kenyataan. Pemuda emosian itu menyerang Raja Iblis tanpa peduli. Ia melesat, secepat sambaran kilat, mengerahkan bobot tenaga hanya pada ujung serangan, efektif untuk menghancurkan bahkan benteng baja sekalipun.

Aku tidak buru-buru merasa lega, justru khawatir jika serangannya meleset. Tajam, juga mematikan di ujung, namun lemah pada pangkalnya, seperti itulah jurus yang dikeluarkan Bardie. Mengabaikan pertahanan seperti itu, sudah pasti ia akan celaka jika luput. Benar saja, Raja Iblis berhasil menghentikannya dengan remeh menggunakan satu tangan.

Alih-alih melakukan kesalahan, rupanya Bardie sudah memperkirakannya. Mengambil momentum, Jeff melesatkan anak panah yang diselubungi energi sihir. Sebuah kerja sama atas dasar kepercayaan tanpa kata. Berhasil menjebak Raja Iblis, Bardie tersenyum.

Raja Iblis mengelak, merubah sedikit posisi tubuhnya dengan malas. Untung, dua serangan itu memberi kesempatan bagi Greatlion untuk menerjang menggunakan palu besar, menghantam penuh tenaga kasar, membuat Raja Iblis terpaksa menangkis dengan kedua tangan disertai debuman kencang, disusul oleh hancurnya ubin pada pijakannya. Maka dimulailah pertempuran adu tenaga antar dua makhluk terkuat di dunia.

Di sinilah peranku sebagai penyihir, dengan kemampuan yang hanya dimiliki olehku, dapat membuat lawan kehilangan kendali atas tubuhnya. Ada dua syarat yang harus kupenuhi. Pertama, fokus lawan harus terganggu, baik karena serangan fisik atau psikologis, dan kondisi pertama sudah terpenuhi.Kedua, aku harus memasuki pikiran lawan untuk mengacaukannya.

Biasanya, aku akan menjamah ingatan musuh dan memanipulasinya, mengeksploitasi hal-hal yang sangat mengikatnya dengan dunia. Sejatinya, selain harus melihat catatan kehidupan lawan, aku juga turut merasakan apa yang dialami target pada kisah hidupnya. Aku yakin dapat mengendalikan pikiran Raja Iblis karena semakin berambisi seseorang, semakin mudah menaklukannya.

Kutatap matanya yang dingin dan kosong. Perlahan jiwaku masuk menembus benteng pikirannya, menyelam semakin dalam dan lebih dalam lagi. Seketika aku tersadar akan sesuatu. Seharusnya sejak awal aku tidak menggunakan kemampuan ini, tapi sudah terlambat! Dadaku sesak teremas oleh perasaan makhluk yang sepengetahuanku hanya berambisi untuk menguasai dunia. Memori miliknya mulai mengalir ke dalam pikiranku. Tenagaku hilang menguap, tubuh pun lemas hingga lututku menghujam lantai.

"Anabelle! Bertahanlah!" teriak Jeff yang segera menyeretku dari medan pertempuran, sementara Bardie dan Greatlion tetap membuat sibuk si Iblis dengan runtutan serangan.

Air mataku tidak dapat berhenti, membuat pandanganku kabur. Tenggorokanku seakan tersumpal bola besar sampai aku terus berusaha memuntahkannya sia-sia. Aku mendekap dada seerat mungkin, rasanya jantungku akan akan lepas jika tak kujaga.

"Ada apa?!" Greatlion berusaha memeriksa keadaanku saat terjadi jeda pada pertarungannya.

"Anabelle! Sepertinya dia terkena kutukan!!" timpal Jeff.

Sambil menahan semua sensasi mengerikan ini, aku menatap musuh yang sedang sibuk membela diri dari berbagai serangan. Walau pandanganku kabur, tapi tetap dapat terlihat sosok yang tanpa ekspresi, ditakuti, dan dianggap makhluk paling keji itu.

"Bu... bukan kut... ukan," aku berusaha menjelaskan sambil menahan pedih.

Tanpa mempedulikan apa yang hendak kukatakan, Jeff mengeluarkan sekantung Air Suci dan berusaha meminumkannya padaku, tetapi hal itu tidak berpengaruh. Karena seperti yang kukatakan, ini bukanlah sebuah kutukan.

Aku telah melihat dan merasakan sebuah kisah yang sangat menyedihkan.

Siapapun yang menyaksikannya pasti setuju bahwa para dewa pantas dikutuk...

Merasa dunia pantas dihancurkan...

Membuat manusia tidak pantas dilindungi...

Ini bukan kisah para pahlawan yang menaklukan kejahatan, melainkan salah satu tragedi yang terjadi pada suatu masa kehidupan.

avataravatar
Next chapter