11 Ch 8 [Bamboo Battle II] Negosiasi Para Jenderal

Sekitar tiga puluh kilometer dari Hutan Bamboo, desa Caytre, dikelilingi gandum yang subur, terlebih lagi tempat itu adalah rumah bagi penempa besi terhandal. Para petualang pun senantiasa bersinggah.

Salah satu tempat favorit di situ adalah Guild Bar-nya. Kayu-kayu usang tersusun rapat misterius, tercium aroma menggoda jika mendekatinya, pekat, menggiurkan bagi para pemabuk.

Saat masuk ke dalam, meja-meja kayu ditemani bangku bulat tersusun cukup acak. Beberapa diisi oleh para pria yang bercakap-cakap dengan wanita cantik. Kadang terlihat juga mereka yang lebih suka menikmati alkohol sendirian untuk sekedar melepas penat. Salah satunya adalah adalah Zeal.

Ia memang suka menyia-nyiakan waktu di tempat itu, mabuk dalam pengaruh alcohol, kadang asik menggoda wanita. Tidak akan ada yang menyangka bahwa dulunya dia adalah seorang komandan perang tersohor, ditakuti lawan, disegani kawan.

Derap langkah kaki terdengar mendekat, tampak tiga orang berpakaian petualang dengan persenjataan yang lengkap menempel pada sarung dipinggul mereka. Salah satu dari mereka mendekati Zeal lalu membuka percakapan.

"Tuan Zeal Brecker?" tanyanya.

Pria berotot itu tidak langsung menjawab. Seolah meremehkan orang di sebelahnya, dia menikmati beberapa teguk bir dari gelas dan terdiam sesaat. Sampai akhirnya dia mulai menanggapi mereka, meski tanpa menolehkan wajah.

"Ya! Ada perlu apa denganku?"

"Kamar nomor 3 di lantai 2, Tuan Donalian menunggumu. Ada yang ingin dibicarakan olehnya," jawab petualang itu.

Dengan berhati-hati orang itu menaruh sebuah kantung, kemudian menunduk untuk memberikan isyarat permohonan undur diri.

Zeal membuka kantung itu sambil menerka-nerka, sesuai dengan dugaan, isinya adalah kepingan-kepingan emas. Maklum, nama yang baru saja dia dengar adalah kenalannya, sesama pemimpin pasukan perang.

"Dia memang pandai menarik perhatian orang. Baiklah, aku akan menemuinya setelah satu gelas ini," gumam Zeal.

***

Pria jangkung kurus dengan kain berbahan mewah, jubah berwarna biru gelap dilapisi bagian merah pada sisi depan dan belakang, sabuk kain sutra melilit pada pinggang, membuat terusan baju yang mencapai kaki seakan terpisah dari atasnya. Wajahnya tirus dengan kerutan-kerutan sekitar mulut, juga dahi, menceritakan kematangan usianya yang sudah mencapai lima puluhan. Ia memandangi bula purnama sendirian, menanti seseorang.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan dalam reuni kita kali ini? Eh! Donalian?" sapa Zeal sambil bersandar pada gagang pintu yang terbuka.

Menengok degan pelan, elegan, tampak penuh wibawa, Donalian membalas sapa teman lamanya itu, "apa kabar, Zeal, senang bisa kembali berjumpa kembali denganmu."

Kemudian dia mengarahkan telapak tangannya ke kursi memberikan isyarat kepada Zeal agar duduk. Beberapa kantung berkumpul di atas meja, tentu saja isinya adalah kepingan emas.

Setelah memastikan kawannya duduk, Donalian mengambil kursinya lalu duduk berhadapan dengan Zeal. "Ternyata selain memiliki nyali untuk berjuang di garis depan, kamu juga pandai menghilang seperti tikus tanah ya, Zeal," sindir orang itu sambil tersenyum.

"Hahaha, seekor predator juga harus mampu berkamuflase, Donalian.'

"Predator yang tidak cakap, setelah mengejarmu selama ini akhirnya aku berhasil memancingmu keluar. Seperti ikan yang terpancing oleh umpan, siapa lagi yang cukup gila sampai berani mengambil permintaan guild untuk memasuki sarang liger?" Balas Donalian.

Zeal sudah mengetahui bahwa ada yang janggal dengan permintaan itu, tapi imbalan yang diberikan membuatnya acuh tak acuh, Zeal tertawa keras. Dia lalu menjatuhkan satu lengannya ke atas meja, membuat suara debuman dan gemerincing dari kantung-kantung kepingan emas.

"Permintaan aneh, menyelidiki hilangnya orang di area hutan berbahaya dengan imbalan besar hanya untuk memancingku keluar. Memang sangat Donalian sekali. Apa maumu?"

"Permintaan itu tidak semata-mata untuk memancingmu saja. Dua orang memang telah menghilang di sana. Salah satunya, cukup ternama dan merupakan aset penting bagi kerajaan. Kami berencana melakukan misi penyelamatan, tentu, sebelumnya perlu seseorang yang kompeten untuk menyelidiki situasi tempat itu, dan aku yakin sang kuat pasti muncul," timpalnya.

"Hahahaha. Lucu. Memangnya semahal apa harga petualang dengan kemampuan tinggi, bagi seorang Donalian, yang bisa menguasai benteng musuh hanya dengan sedikit pasukan?"

"Koreksi, Zeal, sedikit pasukan, tapi dengan kemampuan individu yang besar. Begitu juga petualang itu, bagiku cukup berharga. Nilainya setara tiga puluh pasukan normal," Donalian berusaha menyerang pertanyaan Zeal yang kritis.

Dia menjawab sopan, tapi Zeal agak terganggu. Meski kawannya terlihat yakin, ternyata masih ada celah,

"petualang, bukan pasukan kerajaan. Mereka tidak terikat kontrak Negara, mereka tidak akan melibatkan diri pada perang." Mata Zeal memandang tajam ke arah Donalian, menunjukan dirinya tersinggung, "jika saja aku tidak mengenalmu, maka aku akan dengan polos mengikuti pembicaraan ini. Jujur lah, jika memang ingin meminta bantuanku."

Donalian terkekeh, terlihat dipaksakan, "Zeal, kepercayaan dirimu terlalu tinggi. Aku hanya ingin membuat penawaran, bukan meminta bantuan."

"Hanya ingin, katamu. Menyiapkan beberapa prajurit disamarkan sebagai petualang, menyiapkan beberapa kantung keping emas di depanku sekarang, memastikan penginapan ini sepi. Aku tahu, saat ini kamu mengusir seluruh tamu, menjaga gedung ini hanya agar kita bisa berbicara berdua." Zeal menunjuk kepalanya sendiri, "pendengaran dan otakku cukup tajam. Usahamu terlalu berlebihan cuma untuk menawarku."

Rencananya untuk menempatkan diri diatas Zeal dalam negosiasi telah gagal. Donalian menutup matanya dan terdiam sesaat, menyiapkan kata-kata berikutnya,"Baiklah Zeal... aku akan menceritakan semuanya. Aku harap kamu mau membantu kerajaan sekali lagi dengan imbalan yang kami berikan. Ini juga akan meningkatkan reputasimu," lanjutnya.

Demi menjaga posisinya, Grootania harus mulai melancarkan invasi ke kerajaan Librant. Jarak tempuh normal yang cukup jauh akan memerlukan sumber daya besar, pengorbanan yang tak sebanding.

Satu-satunya jalan pintas adalah melalui hutan Bamboo. Tentu saja tidak semudah itu, karena mereka harus berhadapan dengan para liger terlebih dahulu. Pasukan yang membuat keributan di sana tentu akan meningkatkan kewaspadaan kerajaan musuh. Berbeda jika hal itu dilakukan petualang biasa.

"Kalian mau membunuh liger itu ? Cuih! Bisa apa prajurit berzirah di medan penuh semak belukar? Meski kamu menyamarkan mereka sebagai petualang, bukan berarti bisa menang," ledek Zeal tertawa sambil melipat tangan.

"Aku sudah mempersiapkan semuanya selama setahun ini. Satu batalion prajurit bersenjatakan berat memang akan kesulitan jika bertempur di hutan, tapi jika puluhan petualang terlatih- "

Zeal kembali menyela, "persiapan, ya ya ya, pasti kamu sudah melakukan persiapan, tapi tetap saja liger itu berbeda dari makhluk biasa... Kulit mereka keras, otot mereka liat dan kuat!"

"Dan kamu lupa, untuk apa aku meminta bantuanmu," balas Donalian penuh kemenangan sambil memegang sekeping koin emas.

"Dan kamu yakin aku akan membantu?" Zeal membalas kawannya dengan nada mengejek, berusaha menjatuhkan kepercayaan dirinya.

"Zeal, sedikit pengorbanan diperlukan untuk mendapatkan hasil yang besar. Hal ini diperlukan untuk membawa kejayaan bagi Grotania."

"Aku tidak peduli terhadap Gro-"

"Aku membicarakan mengenai kebahagiaan rakyat! Setelah pengorbananmu, pengorbanan kita selama ini. Jika kita tidak segera menjatuhkan Librant, tidak ada jaminan mereka tetap diam setelah melihat bertapa semakin kuatnya kerajaan Grootania setiap harinya."

Donalian menunduk sambil memangkukan kedua tangan di dahinya. Menunjukan perasaan duka mendalam, "Maafkan aku... waktu itu aku terpaksa memberikanmu pilihan untuk pergi kemedan perang atau melindungi keluargamu... dan kamu mengambil keputusan yang mulia."

Zeal tersulut marah, tersinggung karena lawan bicaranya seolah melupakan penderitaannya, "Aku mengambil keputusan yang salah... selama bertahun-tahun ini aku selalu mencari jawaban, ujungnya? Hanya berakhir sebagai penyesalan!" teriak Zeal terlihat emosional.

Pria kurus segera berdiri lalu memegang kedua pundak Zeal, menatap dalam-dalam dengan mata berkaca-kaca, "kau itu orang baik. Aku sendiri belum tentu mampu mengorbankan keluargaku demi kebahagiaan banyak orang. Pikirkanlah Zeal, jika waktu itu Grootania kalah dalam pertempuran, hasilnya tetap akan sama. Keluargamu tetap akan menjadi korban, juga rakyat Grootania. Dampak yang terjadi akan lebih besar lagi. Sesungguhnya pilihanmu itu tepat. "

Mantan Jendral pemabuk terdiam tanpa berkata-kata. Dasarnya, Donalian tidaklah salah. Setiap Zeal memikirkan bahwa mungkin ada jalan lain saat itu, hanya ada dua pilihan sesuai anjuran kawannya.

"Setelah melihatmu menyia-nyiakan bakat dan kemampuanmu, sebagai teman, aku ingin kembali mengajakmu menjadi komandan yang terhormat." Lanjut Donalian sambil mencengkram pundak sahabatnya itu, mencoba mentransfer suggesti positif, "kamu masih memiliki seorang putri lagi kan? Setidaknya berjuanglah deminya, jadilah ayah yang memiliki martabat tinggi. Atau kamu hanya akan menghabiskan keseharianmu seperti ini? Kembali lah menjadi sosok Zeal yang mulia, jadilah seseorang yang membanggakan."

Wajah Zeal mengeras. Sekali lagi, Donalian berhasil menyentuh hal sensitif yang tidak disukainya.

"Baiklah... sepertinya ini sudah saatnya..." katanya sambil mengambil salah satu kantung kepingan emas, ia tersenyum penuh gairah. "Kantung emas ini kuterima sebagai bayaran. Tapi kuharap kamu juga menyiapkan jabatan yang bagus setelah semua ini selesai, dan aku akan pulang kepada putriku dengan bangga." lanjut Zeal.

"Kesepakatan dibentuk, setelah persiapan selesai, kita akan berpesta di sarang liger, " kata Donalian sambil memasang senyum licik dan puas, ia berhasil sekali lagi mengendalikan monster di depannya.

"Satu hal lagi, Donalian. Aku tidak memiliki seorang putri. Mendiang istriku menyembunyikan keberadaannya dariku. Sejak mengetahuinya, aku sudah putuskan untuk tidak memiliki hubungan dengannya. Camkan itu baik-baik."

***

Pada saat itu, aku memohon kepada pencipta langit dan bumi agar kami bisa selalu bersama.

Kehidupan Bella saat ini dijalani penuh rasa syukur, kesempatan kedua untuk bahagia. Meski sempat ragu, kini ia dapat menerima bahwa anak itu adalah jelmaan sahabatnya. Pasalnya selain memiliki fisik yang kuat, potensi 'mana' yang terpendam di tubuh Nidhog kecil sangatlah besar. Tidak salah lagi, ini adalah dia.

Nalurinya sebagai seekor liger juga mengatakan, perpisahan kian dekat. Kedatangan manusia kuat akhir-akhir ini pertanda datangnya kekacauan yang lebih besar. Karena itu, setidaknya meski mereka celaka, ia ingin Nidhog selamat. Karena penampilan fisiknya menyerupai manusia, anak itu bisa berbaur dengan manusia lain, tidak seperti dirinya atau anak-anak liger.

Selain itu, anak ini harus dibesarkan pada lingkungan yang layak bagi seorang manusia. Apa jadinya anak yang dibesarkan liger, tanpa mengenal dunia luar, terlebih lagi jika dirinya tak ada. Maka ia akan sulit menemukan tempat untuk hidup. Dengan berat hati, Bella memutuskan mengusir anak itu dari tempat ini.

Sejak itu selama beberapa hari, Bella selalu membawa daging mentah untuk anak-anaknya, tetapi tidak untuk Nidhog. Lantaran ia sudah menyuruhnya untuk pergi. Tetap saja Nidhog tidak beranjak, ia hanya duduk terdiam meringkuk di pojok gua yang gelap, dasar keras kepala.

"Mau... sampai... kapan, kamu... di sini?" tanya Bella kepadanya.

"Aku tak mau pergi.."

Setiap harinya Bella selalu menanyakan pertanyaan itu, jawabannya selalu sama. Batinnya terus memperingatkan waktu yang semakin terbatas. Akhirnya Bella bertaruh pada sebuah sandiwara, tentu bukan hanya kepura-puraan saja. Selama itu dirinya enggan menyantap makanan, ia tidak sampai hati membiarkan Nidhog kelaparan sendirian. Artinya, makhluk buas itu sedang sangat lapar, hormon-hormon keganasan merangsang otaknya agar tergiur saat melihat daging.

Ia menghampiri Nidhog, matanya menyala terang, liur menetes, taring mencuat siap menerkam. "Ini... salahmu... yang... tidak mau.. pergi."

***

Sosok Bella saat ini membuat Nidhog mengingat sesatu, kejadian dimana liger itu membawa anak rusa dan membiarkannya begitu saja, makan bersama, bermain dengan anak liger. Lalu setelah dirasa sudah cukup dewasa, rusa itu tidak diijinkan memakan apapun sampai badannya lemas. Pada akhirnya para liger merobek-robek tubuhnya tanpa ampun, untuk disantap bersama.

Sekelebat muncul pertanyaan dalam benaknya, apakah nasibnya akan sama seperti Rusa yang malang itu ? Bukankah dirinya adalah bagian dari mereka? Namun mengapa diperlakukan beda saat ini? Akhirnya ia sadar, bentuk tubuhnya berbeda.

Bella menghantamnya sampai Nidhog menabrak stalagmit, lalu menerkam, tentu saja anak itu menghindar gesit. Untuk yang terakhir kalinya, Nidhog menatap Bella dengan ragu, apakah keluarga yang disayanginya itu memang hendak menghabisinya? Hatinya remuk, karena itu benar adanya.

Nidhog berlari keluar dari sarang liger, takut, sedih, lalu menangis. Terus menjauh tanpa melirik. Sementara, terdengar auman buas mengejar dari belakang.

***

Bella mengejar, mengaum, kali ini lebih terdengar lebih seperti menyakitkan dari pada menakutkan. Setelah mengalami perpisahan pada masa lalu, ia dipertemukan kembali, hanya untuk dipisahkan lagi. Setidaknya kali ini ia bisa menyelamatkannya. Bella sadar bahwa selain menjaga dan melindungi, salah satu bentuk dari perwujudan cinta adalah Kekuatan untuk berpisah, demi kebaikan orang yang dicintai.

Maka, sebagai seekor liger, ia hanya bisa mengaum, ungkapan kesedihan sekaligus sandiwara sebagai si kejam dikala hatinya hancur. Pada ujung hutan Bamboo, ia duduk memandangi senja yang menyiram padang rumput luas. Berharap melihat Nidhog untuk terakhir kalinya, tapi ia tidak dapat menemukannya.

Gemericik daun mengganggu lamunannya, makhluk kecil keluar dari semak-semak, berusaha mendekati Bella, gemetar tapi tetap berusaha melangkah. Ia menjulurkan tangannya yang tertahan oleh rasa takut, namun berusaha dia lawan. Sampai akhirnya dia memeluk salah satu kaki Bella.

Masih gemetar, bahkan mulutnya susah mengucap, ia tetap berbicara,"Bella... aku tak akan pergi. Jadi... jadi... jangan sedih," anak itu terisak, air mata kasih sayang mengalir dari pipinya membasahi bulu kaki liger yang dipeluknya.

Setelah bertindak kejam kepadanya, anak itu tidak membencinya. Ya, inilah Nidhog yang dia kenal dahulu. Raja iblis, dengan hati malaikat. Layaknya hewan buas pada umumnya, meski rasa haru menyesakkan dadanya, bukan tabiat seekor hewan untuk mengekspresikan kesedihannya dengan air mata. Maka ia melakukannya dengan mengeluskan kepala kepada anak itu, menumpahkan semua rasa rindunya.

Nidhog mengusap wajah Bella sambil berkata, "Bella jangan menangis... aku tak akan pergi, aku janji."

Saat itu Bella baru tahu, meski tubuhnya seekor liger, ia tetap bisa menangis. Ia berpikir, meski sebentar, tidak salah untuk menghabiskan waktu lebih lama bersama dengan Nidhog.

avataravatar
Next chapter