10 Ch 7 [Bamboo Battle I] Takdir

Doa adalah hak siapapun.

Bahkan makhluk terkutuk sekalipun.

Perang Raja Iblis generasi ke I melawan manusia. Pada sebuah balkon istana kegelapan milik sang penguasa nomor wahid, lelaki berkulit abu-abu mengenakan zirah hitam pekat berkilau layaknya obsidian. Jubah merahnya melambangkan keberanian. Tanduk melingkar di kepalanya menyimpan keagungan. Nidhog berdiri memandangi barisan tentara iblis yang siap mati.

Seekor makhluk tampak seperti harimau, tetapi bukan, karena ukurannya bisa lima kali lebih besar. Liger, bawahan sang raja yang paling setia, gagah bersanding dengannya.

"Bella, bersiaplah. Sesaat lagi aku akan menghabisi manusia-mansia itu. Kita ciptakan dunia yang layak bagi Demonia." Nidhog mengucapkan kalimat-kalimat yang seharusnya menginspirasi. Tapi tidak seperti itu yang Bella rasakan.

Kemarahan dan kebencian begitu besar tersirat dalam setiap intonasi sang raja iblis.

Bella khawatir, apakah mereka akan benar-benar bisa menciptakan dunia yang diinginkan? Apakah orang yang disayanginya itu dapat bertahan melawan kebencian dari hatinya? Karena Nidhog yang dikenalnya bukanlah yang seperti ini.

Ada sesuatu yang hendak disampaikan oleh Bella. Namun apakah ini saat yang tepat? Bagaimana jika karena itu, nasib bangsa Demonia hancur di tangannya? Sebenarnya bukan urusan kerajaan yang Bella pedulikan, ia hanya takut jika mereka kalah dalam perang, maka sang raja akan menerima ganjarannya yaitu kematian.

Maka liger itu memutuskan untuk diam. Setidaknya sampai mereka berhasil memukul mundur pasukan manusia.

Sungguh sangat disayangkan, keinginan Bella tidak akan terwujud. Para manusia melancarkan serangan dadakan, menerjang terus menerus tanpa ampun, sebelum para pasukan iblis dapat mengambil pedang-pedangnya dari rak senjata. Licik bagai ular, tapi itulah perperangan. Akhir mengenaskan bagi Demonia.

Diantara puing-puing istana yang hancur, Bella berjalan terengah-engah dengan bulu bernoda merah, sayatan menganga pada beberapa sisi tubuhnya, darah segar mengalir terus menerus, beberapa anak panah menancap di punggung. Matanya terus mencari-cari, hidungnya mengendus berusaha menemukan sesuatu, setiap energi dia kerahkan. Sampai akhirnya, ia tiba di depan orang yang dicarinya.

Raja Iblis Nidhog, bersandar kepada pilar istana yang setengah hancur. Sebuah tombak besar menusuk tepat pada jantung, matanya kosong, tubuh yang abu-abu berubah pucat, orang yang dikasihinya telah tiada.

Seluruh kekuatan pada tubuh Bella menguap. Kaki liger itu melangkah lemas, gemetar, rahangnya terbuka menghembus sesak, terlalu sesak bahkan hanya untuk bernafas, menahan perih saat melihat kondisi sang raja. Perlahan ia mengeluskan wajahnya ke tubuh mati itu, menekan dengan penuh kasih sayang juga rasa kehilangan.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan di dunia ini. Andai ia bisa mengorbankan apapun termasuk dirinya, jika itu bisa menyelamatkan sang raja, pasti akan dia lakukan.

Bella berjalan tanpa arah, mengikuti kemana tubuh liger membawanya.

Hati kecilnya berharap agar mereka dapat dipertemukan lagi. Meski bukan di dunia, mungkin di surga, atau bahkan neraka. Ia hanya ingin bersama dengannya.

***

Bella terbangun dalam gua di bawah pohon besar Hutan Bamboo. Kedua anaknya, yang satu berbulu loreng kuning hitam seperti harimau, satunya lagi kuning polos seperti seekor singa betina. Mereka masih sangat kecil, masing-masing panjangnya sekitar satu kaki orang dewasa. Ia memandang dengan lembut penuh kasih sayang. Setelah puas memastikan semuanya lelap, ia beranjak keluar sarang mencari mangsa.

Rutinitasnya kini membesarkan kedua anak liger, meski sempat hidup segan mati tak mau, dengan kehadiran mereka membuat kesedihannya teralihkan.

Agar dapat mengisi perut anak-anak liger itu, Bella harus tetap fokus pada indra penciumannya. Mengendus bau jejak daging hidup yang tercium lezat. Induk liger itu melangkah sedikit cepat, takut kalau-kalau mangsanya disalip serigala lapar atau sudah kabur terlalu jauh.

Mata tajamnya menangkap gerakan-gerakan kecil diantara celah dedaunan. Terlihat lah mangsa yang sudah diincarnya sejak tadi. Berlari sedikit cepat namun tetap sunyi, Bella mendekat lalu menerkamnya. Kedua cakarnya mendarat tepat pada bahu calon makanan hingga ia terjatuh di bawah cengkraman.

Seorang manusia, mengejutkan baginya, tidak biasanya ada manusia masuk ke hutan ini. Terlebih lagi, yang ini masih anak-anak. Kurang lebih sekitar lima tahunan. Urusan perut, tidak memandang siapa atau apa, Bella tetap berniat memakan anak ini. Toh, dibiarkan sendiri di hutan berbahaya juga tidak ada jaminan anak ini bisa bertahan hidup.

Rupanya si kecil mulai merasakan pedih pada bahunya, lalu ia menangis.

Bella bingung, melihat tangisan anak-anak membuatnya urung untuk menghabisinya ditempat. Lalu Bella mencengkram lembut anak itu dengan taringnya dan membawanya ke sarang.

Apa yang akan dia lakukan terhadapnya, itu urusan nanti.

***

Sebuah pohon besar dengan ukuran mencolok. Akarnya seperti mulut yang terbuka di antara rerumputan. Dua kepala menyumbul gembira, anak liger yang antusias menyambut kedatangan ibunya.

Bella datang lalu meletakkan 'oleh-oleh' di permukaan tanah, ia mengeluskan kepalanya kepada anak-anak liger yang melompat-lompat kegirangan sambil sesekali menjilat wajah mereka.

Satu dari liger kecil itu mencoba mendekati makhluk yang dibawa ibunya, namun auman Bella memperingatkannya untuk tidak menyentuh si kecil. Sang tamu kecil spontan tertawa sambil berjalan ke arah dua anak liger lalu memeluk salah satu dari mereka.

Kegirangan dipeluk, anak liger mengeong kecil.

"Gra...," Bella hendak mengaum marah, tapi terlambat, dan tampak lega setelah melihat mereka akrab satu sama lain. Liger yang bisa bersahabat dengan si kecil adalah fenomena baru baginya.

Setidaknya saat ini keluarga mereka bertambah satu.

***

Beberapa jam kemudian, mengandalkan pengalamannya membesarkan anak-anak liger. Bella kembali membawa buruannya ke hadapan kedua anaknya dan si kecil itu. Liger kecil sangat antusias menyantap daging segar, sedangkan si kecil menatap makanan mentah itu dengan ragu.

Membujuknya agar mau mencoba, Bella mendorong dengan kepalanya, memberikan isyarat padanya untuk segera makan.

Melihat kedua Liger kecil menggigit, mengoyak, lalu menelan daging segar, anak itu mencoba meniru. Berakhir muntah dan menangis. Sementara kedua saudara barunya acuh tak acuh, ibu mereka bingung juga panik.

Tidak kehabisan akal, setelah pergi sesaat, ia kembali membawa tumbuh-tumbuhan yang biasa dimakan oleh hewan memamah biak. Si kecil melihat tanaman itu, mencoba memakannya, disaksikan oleh para kucing kecil yang penasaran. Hasilnya, anak itu muntah dan menangis lagi. Anak-anak Liger kembali makan, mengacuhkan ibu mereka yang melipat kuping terganggu suara tangisan.

Percobaan ketiga. Ia datang membawa buah-buahan, beberapa terlihat bulat dan besar, ada juga yang memiliki kulit keras. kesal, si kecil melempar buah-buah tersebut mengenai muka Bella. Para liger kecil berhenti makan untuk melihat pemandangan itu. Tampaknya mereka sangat terhibur melihat induknya dikerjai manusia.

"GROAAAAAAR!" raung Bella yang mengamuk frustasi. Melampiaskan kekesalannya dengan sihir pemanggil api, membakar seonggok daging rusa di depan mereka.

Bau harum tercium, menggugah selera makan, menggoda hingga air liur menetes. Si kecil pun tertarik, ia merobek bagian yang matang lalu memakannya. Rasa manis lemak yang terbakar meleleh di mulutnya dipadu oleh sensasi daging yang empuk saat dikunyah. Saat ditelan, rasa lezat melewati tenggorokan memenuhi perut yang sejak tadi berbunyi.

"Uwoooooh!" Ekspresi luar biasa dari si kecil, berdiri mengadah keatas memegangi kepala dengan kedua tangan. Sensasi yang pertama kali dia rasakan sejak pertama kali tiba di hutan Bamboo.

Bella merasa lega, kini masalah makanan sudah teratasi.

Kedua anaknya yang semula ragu menyantap daging bakar, kini menikmati makanan bersama si kecil.

Pelajaran baru buat mereka, daging bakar itu lebih enak dari yang mentah.

***

Kebanyakan makhluk buas memiliki 'permainan' saat kecil dimana mereka saling bergulat, bercanda, atau mencoba menggigit dengan pelan satu sama lain. Sarana untuk menentukan status mereka dikemudian hari yang dikemas dalam canda. Siapa yang selalu dominan saat bermain, dialah yang akan memimpin kelak.

Itulah yang dilakukan kedua anak liger saat ini. Liger Polos mencoba menggigit si Loreng sambil mencengkram wajahnya. Karena memiliki kekuatan lebih besar, si Loreng berhasil melepaskan diri dan balik menggigit, mengalahkan saudaranya.

Setelah puas adu kemampuan, mereka menatap si kecil yang tertawa asik. Si bulu kuning polos mengambil ancang-ancang kemudian menerkamnya.

Si kecil yang tertindih trauma dengan pengalamannya saat diterkam Bella. Ia meronta-ronta sambil menangis. Si polos merasa bersalah setengah terganggu dengan suara nyaring si kecil.

Tiba-tiba kumisnya dijenggut.

Kaget, dia berusaha menarik kepalanya untuk lepas dengan percuma, cengkramannya si kecil terlalu kuat

Menyadari situasi sudah tidak beres, si loreng berusaha memisahkan. Keberanian yang tidak membantu. Justru menimbulkan bencana bagi saudaranya. Kumis si polos TERCABUT. Kini si loreng yang merasa bersalah. Belum sempat pulih dari rasa panik, pukulan keras si kecil yang meronta mendarat di hidungnya.

Bella yang mendengar kegaduhan dari jauh segera pulang. Kembali membawa buruan hanya untuk menyaksikan kedua anak liger memegang wajahnya sambil menggeram. Sedangkan si kecil menangis kencang.

Shok, ia menjatuhkan daging segar yang dibawanya. Mulutnya terbuka menganga tak bersuara.

Maka si kecil resmi menjadi pemimpin dari anak-anak liger.

***

Dua tahun sudah berlalu. Sampai saat ini Bella memutuskan untuk tidak memakan si kecil, ia meyakini bahwa anak yang diasuhnya itu adalah titisan Raja Iblis. Setiap hari kemiripan demi kemiripan tampak seperti tuannya yang dulu. Para liger menjalani kehidupan dengan tenang. Meski, dua orang petualang sempat singgah, tapi tidak ada lagi gangguan setelah itu. Hingga akhirya tiba. Manusia mulai berdatangan.

Nidhog, nama yang diberikan Bella kepada si kecil, sudah cukup mandiri untuk berburu bersama saudara-saudaranya. Ia menunggangi si loreng yang kini berukuran sebesar harimau. Si kecil mengenakan daun terikat pada pinggang menutupi kemaluannya, bercantol sebuah belati, busur panah di genggaman beserta beberapa anak panah pada penyangga di punggung.

'Senjata rampasan' dari petualang bodoh yang mati di hutan ini. Manusia pertama yang pernah ditemui Nidhog. Ada pertanyaan yang timbul saat mengingat mereka. Mereka itu baik, namun saling menghancurkan. Apakah manusia memang makhluk seperti itu? Iya atau tidak, si kecil merasa bersalah tidak dapat menyelamatkan mereka.

Pikirannya buyar oleh sesuatu. "Sssst!" si kecil mengisyaratkan si loreng untuk berhenti. Ia menyipitkan mata, memusatkan perhatiannya kepada satu titik. Seekor rusa hutan.

Membidik dengan panah, namun meleset saat menembak. Rusa itu kabur, membuat Nidhog jengkel. Kemudian ia berteriak, memerintah si loreng berlari sekuat tenaga mengejar untuk mengarahkan rusa itu ke suatu titik, saat tiba, si bulu polos keluar dari persembunyian dan menerkamnya. Nidhog menyambut dengan serangan belati, menusuk tepat di jantung si rusa. Setelah sempat meronta, kini tubuh makhluk malang itu hanya bisa berkedut-kedut tersiksa merenggang nyawa.

Mereka bertiga kemudian berpesta, merayakan keberhasilan dari perburuan pertama. Tidak berlangsung lama. Karena perhatian mereka tertarik pada suara ribut di kejauhan.

Penasaran, mereka menghampirinya, mengintip. Seorang manusia berbadan besar, zirah bersisik, mata kuning tampak menyala dalam gelapnya hutan. Memegang senjata besar bermata pisau pada sisi kiri dan kanannya, sebuah kapak, berukuran hampir sama seperti tinggi badannya.

Sepuluh, dua puluh, dan terus berdatangan serigala. Penguasa hutan selain liger di sini. Seperti menepuk lalat, pria itu menghabisi para anjing-anjing lapar hanya dengan sekali tebas.

Mungkin bagi kebanyakan orang, pemandangan itu hanyalah manusia kuat menghabisi monster lemah. Namun di mata Nidhog, hal ini berkesan baginya. Manusia, apakah sekuat ini? memiliki kepercayaan diri yang besar sampai-sampai berani menghadapi musuh yang tak ada habisnya. Orang itu memiliki sesuatu yang memikat si kecil, kekuatan. Bukan sebatas fisik tapi juga aura yang kuat.

Nidhog berpikir, andai saja ia memiliki apa yang pria itu punya, dirinya mungkin bisa menyelamatkan Janette dan Din, atau mungkin suatu saat jika keluarganya dalam bahaya, ia bisa melakukan sesuatu.

"Keluarlah kalian!" teriakan dari Zeal mengagetkannya.

Sudah pasti itu ditujukan kepadanya, juga dua saudara liger. Tidak ada satupun serigala yang tersisa. Selain mayat yang bertumpuk di depan pria itu, yang lain sudah kabur.

Nidhog ketahuan. Lagipula ia memang harus mengusirnya. Sejak dikuasai Bella, hutan ini menjadi wilayah para liger. Selama itu, setiap pendatang khususnya manusia, harus berhadapan dengan Bella. Jika terlalu kolot, sudah pasti mereka mati di taring liger. Ini sudah menjadi peraturan tidak tertulis pada hutan Bamboo.

Apakah ia bisa menang?

Kemungkinannya tinggi karena saat ini ia tidak sendiri. Dua anak liger setara dengan lima puluh ekor serigala. Ditambah dirinya, pria itu pasti bisa mereka hadapi. Ya, keluarga liger sudah cukup kuat untuk melindungi rumah kecil mereka. Nidhog kini menjadi lebih percaya diri.

Liger loreng menerkam Zeal yang reflek ditangkis menggunakan sisi lebar kapak. Pria itu berdecak sambil melempar si loreng dengan mengayunkan senjata, serangan berikutnya muncul dari atas tak terduga. Nidhog mendarat menusuk punggung Zeal. Kekuatannya tidak cukup untuk merobek zirah sisik pria itu hingga pisaunya terpental.

Tiba-tiba kepala Nidhog dicengkram oleh tangan besar. Zeal mengangkat Nidhog sampai wajah mereka berhadapan.

"Ha, kamu termakan oleh pancinganku. Eh, tunggu. Anak manusia?" gumamnya santai, lalu terkejut.

Nalurinya mengatakan bahwa ada sesuatu yang besar tersimpan dalam tubuh anak itu. Ia tersenyum, matanya bagai menyala, "aku menemukan harta karun!"

"Lepaskan! Lepaskan aku!" Nidhog yang tergantung pada kepalanya mencoba meronta.

Si bulu polos yang sejak tadi bersembunyi berusaha melancarkan serangan dadakan. Zeal mengayunkan sabetan mata kapaknya ke arah anak kucing itu.

"Tidaaaaaaaaaak!"

Mendengar suara si kecil, membuat dirinya mengurungkan niat membunuh. Ia memutar serangan sehingga sisi tumpul yang menggebuk si bulu polos. Beberapa bagian tulang anak liger itu mengalami kerusakan.

Satu liger lain yang masih bisa bergerak kini menyerang. Melepas senjatanya, tangan Zeal menangkap leher kucing loreng besar itu. Mencekiknya bersebelahan dengan Nidhog yang tergantung pasrah.

"Unik, manusia yang berteman dengan liger. Tidak, aku tahu kamu bukan manusia biasa, hah?" ucapannya terhenti saat Nidhog mencengram tangan pria itu, tenaga yang dapat membuat liger dewasa terpental sekali hajar. Zeal kemudian melemparnya.

"Hahahahahaha! Menarik. Apa liger ini berarti bagimu? Hei bocah, jika tidak segera menyelamatkannya, dia akan mati. Tanganku terlalu lengket untuk melepaskan cekikanku."

Panik, ia harus segera menyelamatkan saudaranya. Tapi apa yang bisa diperbuat? Tak ada celah sama sekali pada orang itu. Sampai sebuah ide terbesit dikepalanya, salah satu senjata rahasia liger dalam mengadapi ancaman, auman dengan aura intimidasi. Meski tidak berdampak banyak, bahkan walau hanya sepersekian detik, itu akan memberikan kesempatan baginya.

Nidhog menarik nafas sampai udara memenuhi seluruh rongga dadanya, mencoba meniru apa yang pernah dilakukan oleh Bella. Ia mengaum hingga dedaunan bergetar, sampai beberapa burung gagal terbang hingga terjatuh--sesekali menubruk pepohonan. Sebuah auman dahsyat yang melumpuhkan nyali makhluk lain.

Tapi tidak dengan Zeal yang tetap berdiri tegak, kokoh, tampak bosan. Pria itu melakukan hal yang sama, memenuhi paru-parunya dengan udara, lalu mengeluarkan auman balasan. Bukan hanya banyak dedaunan yang lepas dari ranting kali ini. Tanah bergetar, semua makhluk hidup berukuran kecil seolah tersapu bersih, udara menerpa Nidhog sampai dirinya terguling-guling. Terlungkup di tanah tak bisa bergerak, seluruh tubuhnya gemetar hebat. Ini, raungan seorang manusia? Pikir Nidhog.

Zeal membuang si loreng ke tanah. Semangat perlawanan dari keluarga liger sudah hancur. Ia mengambil kapaknya, mendekati Nidhog, memandangnya dengan mata dingin.

"Manusia... ada urusan apa, kau... di sini?"

Sebuah suara terdengar seperti geraman memecah konsentrasi. Seekor liger raksasa berukuran panjang empat meter keluar dari kegelapan hutan.

"Akhirnya, biangnya keluar, dan liger yang bisa berbicara? Hutan ini tidak pernah berhenti memberikan kejutan. Hahahaha," jawab Zeal tidak segera menjawab pertanyaan Bella. "aku hanya mengerjakan permintaan guild untuk memeriksa kondisi hutan ini, meski akhirnya menemukan kalian, informasi berharga," lanjutnya.

Bella menghampiri satu-persatu anaknya untuk menyembuhkan dengan sihir. Kemudian ia menenangkan Nidhog yang shok, mengeluskan kepalanya, sesekali menjilatinya sayang. Sampai keluarga Liger berkumpul berdampingan.

"Manusia... aku minta, biarkan kami... jika kamu... ingin bertarung... kami siap menyerang... sekuat tenaga."

Zeal diam beberapa detik, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu, tapi sebenarnya ada yang melintas di benaknya. Kemudian ia mengangat kedua tangan.

"Baiklah aku menyerah, aku putuskan mundur dari masalah ini, untuk saat ini saja." Zeal berjalan mundur sambil menjaga posisi tangan, lalu membalik badan sembari memungut kapaknya.

"Aku memerlukan ini untuk bertahan hidup di luar," celetuk pria itu.

Sebelum menghilang Zeal kembali berbicara, "liger, kamu pasti tahu siapa gerangan anak yang bersamamu. Ini hanya naluriku, tapi sepertinya baik karena keberadaan anak itu, atau dirimu di hutan ini. Tidak ada jaminan manusia selain aku tidak memasuki tempat ini. Bersiaplah untuk yang terburuk."

Bella tahu itu, tapi tidak ada tempat lagi bagi mereka. Sisa-sisa bangsa iblis hidup dalam persembunyian ditempat tak terjangkau manusia. Hutan Bamboo, tadinya seperti itu, entah mengapa mulai berdatangan manusia-manusia perusak.

Sementara Zeal dipastikan sudah pergi, keluarga liger kembali ke sarangnya.

avataravatar
Next chapter