7 Ch 6 [Silly Adventurers VI] Janette Laterei

Umumnya dalam keluarga bangsawan, anak laki-laki dianggap lebih berharga lantaran darah keturunan garis ayah merupakan pewaris harta dan gelar. Terkecuali untuk keluarga Laterei yang menuju kebangkrutan, apa lagi yang bisa diwariskan?

Janette Laterei telah dipersiapkan sebagai alat politik sejak awal kelahirannya. Desa Caytre, daerah kekuasaan Laterei, merupakan akses pasukan militer Grootania untuk melakukan invasi ke kerajaan lain. Berada di dekat dengan hutan Bamboo yang sakral, jalan satu-satunya menuju kerajaan Librant. Namun pihak kerajaan harus memenangkan hati Laterei terlebih dahulu. Pihak istana tidak ingin menjadi gegabah dengan memasukinya secara paksa.

Para bangsawan saling menjatuhkan, baik kepada sesamanya, atau bahkan kepada sang raja. Sedikit celah terlihat oleh lawan politik, maka binasa lah sudah. Untuk itu, keluarga Laterei memerlukan pendukung yang kuat, juga kekayaan melimpah agar mereka tidak dapat dilenyapkan dengan mudah

Duke John Laterei sudah mempersiapkan anaknya, Janette, untuk dia nikahi dengan salah satu pangeran. Rencananya mengalirkan dana kerajaan ke brankas-brankas Laterei yang kosong. Simbiosis yang menguntungkan, pangeran pun dapat membuat pangkalan militer miliknya di desa Caytre guna mencari muka kepada raja, pamer prestasi di hadapan saudara-saudaranya.

Janette yang mengetahuinya, berusaha menjadi gadis baik - layaknya anak-anak yang ingin memiliki kesan penurut di mata orang tuanya. Setiap hari belajar mengenai etika, tata krama, bahasa, menari, bernyanyi, serta berbagai hal yang dapat membuat nilai jualnya semakin mahal sebagai mempelai.

Semula ia terlihat kuat, namun hatinya rapuh. Terkekang dalam sangkar rumah bangsawan, hanya untuk dipindahkan ke sangkar emas nantinya. Pagi hingga malam ia terus melakukan apa yang diperintahkan ayahnya layaknya sebuah boneka, yang perlahan-lahan telah kehilangan sisi emosionalnya.

Hanya saat bercakap-cakap dengan si  adik, Juan, dirinya sama sekali tidak membahas mengenai kebangsawanan, politik, atau lebih tepatnya, menjadi anak gadis biasa. Perlahan rasa ketergantungan mulai timbul. Alam bawah sadarnya membutuhkan Juan. Tanpa si adik, ia kehilangan egonya sebagai manusia. Jannete yang sejak awal tidak pernah memiliki ruang untuk kehadiran manusia lain, akhirnya salah menerjemahkan perasaan butuh, sebagai cinta.

Kehadiran Din mengusik dunia mereka. Pertama kalinya ia berinteraksi dengan anak yang sebaya. Penasaran, ia terus mencuri kesempatan untuk mengikuti John ke tempat pandai besi Tim. Keingin tahuan yang tidak terpuaskan, berkali-kali Janette selalu datang ke tempat itu meski hanya bertatap muka sesaat, atau mengobrol sepatah dua patah kata.

Hubungan mereka pun tumbuh saat tinggal bersama. Din, satu-satunya orang yang menurutnya bisa diandalkan apabila itu mengenai dia dan adiknya. Tanpa tahu apa yang terjadi dengan hubungan Din dengan Juan di belakangnya. Janette si gadis naif yakin bahwa sekeras apapun dunia, pasti dapat mereka hadapi bersama.

Pikirnya, selama perjalanannya di ibu kota, Din akan menjaga adiknya. Sehingga rasa khawatirnya dapat sedikit teratasi, terlebih lagi surat-surat dari Juan senantiasa datang.  Terpedaya oleh berita palsu mengenai Juan, percaya buta bahwa adiknya semakin mandiri, rasa untuk dibutuhkan perlahan luntur.

Merasa sepi, Janette mulai mengharapkan kehadian seseorang yang membutuhkan eksistensinya, Din. Tapi dengan keyakinan palsu, ia lalai menyadari. Setiap bayangan Din muncul, dia anggap wajar, perasaan dimana seorang teman tidak berjumpa dalam waktu lama. Berbeda dari saat memikirkan Juan, ada rasa khawatir jika adik yang dia anggap rapuh tidak bisa bertahan hidup di dunia kejam.

Mengetahui pernikahan kakak dengan adik adalah hal tabu. Tidak ada pilihan lain, yaitu menikahi pria lain. Din, orang yang bisa muncul dalam benaknya selain sosok adik. Ia tidak keberatan andai harus menikah dengan Din, tidak, ia hanya tidak menyadari hatinya mengharapkan hal tersebut.

Gadis ini terlalu dungu dalam memahami dirinya sendiri. Segala yang ia ketahui adalah mengenai adiknya. Luput mendengar suara hati yang berteriak, menuntut agar ia segera sadar akan cinta sejati.

***

Drama kisah pengorbanan seorang pria telah berakhir. Janette kembali menghadapi kenyataan, sarang liger yang penuh darah.

"Semua urusanmu sudah... selesai... kan?" sedikit menggeram liger itu melanjutkan, "pergi dari sini, jangan... nodai tempat ini... lagi."

Dengan kepatuhan yang tidak biasa, Janette melangkahkan kakinya ke luar. Wajah cantiknya mengeras bagai porselen, bersikap acuh tak acuh terhadap para liger maupun si kecil. Bagai mayat hidup, tubuhnya bergerak sendiri.

Dari ingatan Din, belajar memahami apa itu cinta. Akhirnya ia berhasil memecahkan sebuah teka-teki, rasa sesak saat memikirkan pria itu, berbeda dengan bentuk  kekhawatiran yang posesif seperti perasaannya kepada Juan.

Janette telah menyadari saat dirinya tidak kuasa memeluk Din di ibu kota, melakukan penolakan terhadap apa yang dirasakan,  dia menampiknya dengan bertanya tentang Juan.

Jawaban lain pun ikut terkuak, kekecewaan begitu besar atas pengkhianatan Din, setidaknya bagi dirinya, bukan semata-mata hanya karena kehilangan Juan. Tetapi  ia telah menyerahkan hatinya kepada pria itu. Semakin cinta, semakin sakit.

Janette telah jatuh cinta pada Din.

Si dungu ini akhirnya sadar, malang, terlambat. Berjalan lesu, berandai-andai jika Din masih hidup, mungkin ia bisa menerima kematian Juan setelah mengetahui kenyataan dan menyadari perasaannya terhadap pria itu.

Berusaha melawan guncangan, hati lemahnya kian melarikan diri. Meski pikirannya meraba-raba masa depan, seperti apa yang akan dilakukan setelah ini, mungkin menjadi seorang kesatria kerajaan, ikut andil dalam perang, atau hidup bahagia di desa Caytre.

Tidak, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain meratapi kebahagiaan yang terkoyak. Kalimat demi kalimat yang pernah diucapkan Din mulai muncul bergaung di telinganya.

Pada salah satu pohon yang mereka tandai agar tidak tersesat, ia seolah melihat sosok pria yang dicintainya. "Janette, jika nanti kamu harus lari, ikuti tanda ini," ucap bayangan semu Din yang tak lain hanyalah delusi.

"Brengsek... kenapa kamu tidak memiliki resolusi yang lebih baik. Bukan kah kita bisa selamat jika kamu jujur padaku sejak awal! Setidaknya, kamu harus tahu kalau hatiku ini sudah menjadi milikmu, brengsek!" Janette menarik belatinya lalu melompat menebas ilusi di depannya dengan percuma.

Tubuh Janette mendarat lalu terjatuh pada turunan terjal di balik pepohonan. Ia terguling-guling, sesekali batu menghantam, beberapa ranting mati menggores kulit, terjadi hanya beberapa detik namun bagai tidak ada habisnya. Sebuah pohon menghentikan tubuhnya, telak menghantam rusuk hingga patah. Sesak akibat luka memar di dada membuatnya kesulitan untuk bergerak.

Tanpa tujuan, Janette bertatih-tatih, sesekali berusaha berlari mengejar ilusi di depannya, meneriakkan nama orang yang ia cintai. Akan lebih baik jika ia dimakan oleh serigala, atau semoga ada orang yang menemukan lalu menyelamatkannya. Tapi tidak. Ia sudah tidak bisa membuka diri lagi. Hidup tanpa arti seorang diri terus-menerus menghantui pikirannya.

Sebuah cahaya berkilau menarik perhatian. Tempat dimana Din pernah duduk saat persiapan ke sarang liger. Kala itu Janette sibuk melumuri anak panah dengan racun.

Perlahan, mendekati kilauan cahaya yang menyumbul dari rerumputan. Sebuah cincin dengan ukiran huruf yang menari indah,

Janette bidadariku.

Janette mengenali ciri khas dari ukiran tersebut. Ia kemudian mengingat sewaktu Din menghadapi sakratul maut, pria itu tampak mencari-cari sesuatu. Kenang-kenangan untuknya apabila ia berhasil lolos dari tempat ini. Cincin indah buatan tangan berlapis emas. Perhiasan yang mengekspresikan kasih sayang dari pembuatnya.

Rasa sakit mulai menusuk-nusuk hati yang tadi kebas. Kepedihan mengalir melalui mata, membasahi pipi penuh goresan luka. Sejak tadi, pikirannya berusaha menyampaikan seluruh informasi berusaha membuka pintu hatinya, secara perlahan namun pasti. Tapi kini, seakan daya tekanan begitu besar mencabik-cabik jantung.

Janette mendekap cincin itu dengan kedua tangannya di dada. Ia meraung dalam hutan sepi, darah sesekali keluar dari teriakannya diantara pekikan suara.

Tak ada belas kasihan, bahkan para makhluk buas enggan mengakhiri penderitaan si gadis malang, para dewa pun memalingkan wajah.

Gadis itu ingin segera mengakhiri semua tragedi ini, lari dari kenyataan, dari penderitaan. Lagi, bayangan Din kini bersama Juan berjalan melangkah ke depan, memunggunginya.

Janette mengambil besi berbilah tajam dari selipan celana, sebuah belati. Delusi kini bukan hanya menyerang panca indera tapi juga keyakinan bahwa ia akan segera bertemu mereka.

Sekuat tenaga, Janette menusuk tenggorokannya dengan sebilah belati. Mengakhiri hidup dari seorang gadis keras kepala malang.

***

Pada kedalaman gua yang dipendari cahaya kelap-kelip terang, seekor Liger raksasa melepaskan anak kecil dari ekornya. Si kecil itu terdiam, merenungkan kisah sedih yang telah dilihatnya.

Sembari mengelus si kecil dengan kepalanya yang besar, Liger raksasa memberikan sebuah nasihat, "kamu... telah menyaksikan... bahwa... manusia bisa saling... menghancurkan akibat kedunguan," ucapnya dalam jeda pada setiap beberapa kalimat.

Si kecil berusaha melakukan pembelaan terhadap keyakinannya, "Mereka, padahal, baik. Mereka tidak seharusnya bernasib malang seperti itu," lanjutnya.

"Ya. Baik... tapi... baik saja... tidak cukup," balas Liger raksasa.

Nidhog kecil menangis. Mungkin akan terdengar aneh jika ada seorang Raja Iblis yang menangisi kematian manusia. Tapi Liger itu, sudah mengenalnya cukup lama. Raja dari bangsa Demonia yang dia kenal memang memiliki hati yang murni bagai berlian, namun ada kalanya ia melihat sang Iblis bisa lebih kejam dari apapun.

Sembari mengangkat Nidhog dengan ekornya kemudian mendaratkan anak itu di punggungnya, ia melanjutkan, "Jadikan ini... pelajaran... "

Nidhog tengkurap di punggung Liger itu, memeluk bulu-bulu halus yang ia sukai, "Bella, apa kamu suatu saat, akan meninggalkanku?"

Kucing raksasa terdiam sejenak, ia ingin memberikan jawaban yang menyenangkan, tetapi nalurinya mengatakan, sesuatu yang besar akan terjadi. Kedatangan manusia-manusia kali ini adalah pertanda, kedamaian mereka akan terus terusik oleh kedatangan manusia lain di masa depan.

Pertempuran selanjutnya bisa saja menjadi yang terakhir bagi dia dan keluarga ligernya. Meski begitu, Bella sudah berjanji untuk melindungi Raja Iblis yang disayanginya, setidaknya untuk kali ini. Begitu pula kedua anak-anaknya, memiliki tekad yang sama kuat.

"Kami... akan selalu ada... untukmu," jawabnya.

Keluarga liger kembali menghilang ke dalam gua misterius. Tempat tabu bagi mereka yang ingin tetap hidup. Namun merupakan istana kecil para kucing-kucing raksasa. Setidaknya untuk saat ini.

avataravatar
Next chapter