6 Ch 5 [Silly Adventurers V] Kebohongan

Tempat gelap dingin dalam perut bumi, asing dari peradaban manusia, bahkan cahaya enggan masuk. Andai bukan karena partikel-partikel energi terang yang diciptakan oleh makhluk legendaris bernama Liger, maka tak akan ada yang mampu melihat seperti apa gerangan isi dari gua ini.

Stalaktit-stalaktit patah, jejak pertarungan yang masih hangat, yang mengejutkan adalah penampakan seekor Liger beserta kedua anaknya, tiga, ditambah satu yang rupanya adalah manusia. Tidak jauh dari tempat mereka, dimana dinding gua hancur, seorang wanita berambut emas melingkar pada ujungnya tampak berdiri gagah. Kekuatan yang meluap terlihat jelas menyerupai aura biru disekitar tubuhnya.

Matanya bak binatang buas memandang ke arah Liger dewasa.

"Hei, liger atau apapun dirimu. Kamu habis mengintip ingatan bedebah ini, seperti yang kamu lakukan padaku kan?" tanyanya dengan intimidasi sambil menginjak kepala mayat seorang lelaki.

Liger menjawab meski terbata-bata, "Wahai manusia, kamu berusaha mengancamku... dengan kekuatanmu yang kecil itu? Setara... seekor serangga."

Tidak menunggu lama, secepat kilat, Janette menyambar ke arah Liger. Meski sudah siap menghadapi benturan, perkiraan kucing itu meleset. Janette merebut si manusia kecil dari cengkraman ekornya. Mengambil jarak aman untuk menyandera.

Usaha terakhirnya bertepatan dengan menghilangnya efek doping penguat. Aura tubuh Janette kembali normal, dirinya tidak terkena dampak dari efek samping sama sekali, berbeda dari yang ada dalam ingatan Din.

"Aku tidak memiliki rasa dendam kepada kalian. Tetapi, aku ingin jawaban darimu. Apa kamu melihat ingatan Din? Kumohon jawab pertanyaanku!"

Liger menghela nafas, bukan dia khawatir dengan keselamatan si kecil, karena ia yakin Janette tidak akan melukainya, lebih tepatnya tidak bisa. Bagaimanapun kemampuan anak itu masih diatas rata-rata petualang normal.

"Manusia, kamu sudah berhasil membalaskan dendam, mengetahui kebenaran. Apa lagi yang kamu inginkan?"

"Kebenaran? Kebenaran apa yang aku ketahui sementara semuanya masih gelap bagiku?!" bentak Janette, setelah itu kepalanya menunduk dengan tatapan kosong seraya menggumam, "berakhir sudah... "

"Berakhir... ?"

"Saat mengetahui bahwa Juan telah tiada, apalagi mati ditangan bedebah ini, aku kehilangan segalanya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kulakukan untuk hidup... "

Kucing raksasa menatap ke langit-langit gua seakan menatap masa lampau, "manusia... setiap makhluk hidup, akan mati. Mereka yang hidup... hanya bisa...tetap melangkah kedepan," kemudian menatap tegas ke arah Janette, ia melanjutkan, "tidak semua hal harus... diketahui, terkadang, orang-orang.. yang kita cintai menyembunyikan...  untuk kebaikan kita."

"Apa maksudmu? Apa yang hendak kamu sampaikan?"

"Apa... kamu sayang... adikmu?"

"Apa kamu tidak bisa melihatnya dalam ingatanmu?"

"Aku.. bertanya untuk dirimu... menegaskan kepada dirimu sendiri."

"Sejak kecil, aku selalu bersamanya selalu menjaganya. Hidupku kuhabiskan dengan memperhatikannya lebih dari apapun, hanya untuk kebaikan Juan. Aku tak bisa hidup tanpa Juan, apalagi namanya jika bukan rasa sayang? Bahkan saat dirinya tidak ada, hidupku juga tak berarti! Apalagi jika bukan cinta namanya? Hei, tidak bisakah kamu melihatnya?! Aku hidup hanya untuknya!"

"Apa... adikmu memerlukan itu semua?"

Jannete terhenyak sesaat atas pertanyaan tersebut, apa Juan benar-benar butuh semua perhatian maupun proteksi darinya, akalnya memahami bahwa Juan tidak memerlukan itu semua. Tetapi emosi berkata lain,

"Aku telah memberikan semua untuknya, itu adalah bukti bahwa tidak ada yang bisa mencintainya seperti diriku... "

"Apa ia merasakan hal yang sama sepertimu?"

"D-dia-"

"Wahai manusia, Janette, namamu kan? Apa yang... kamu lakukan itu... hanya untuk dirimu, agar bisa membuatmu... penting, Juan tidak butuh... semua perasaanmu, tetapi kamu butuh itu... demi eksistensimu... di dunia ini."

"Hentikan! Apapun kicauanmu sekarang, Juan sudah tidak ada, dan aku tidak mengetahui apa-apa sama sekali. Aku tidak peduli dengan semua teorimu, semua sudah terlambat, aku hanya ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Juanku!!"

Ekor Liger menghentak keras ke tanah, mengguncang seluruh isi gua, menegaskan bahwa Janette tidak memiliki hak untuk berbicara lantang. Jelas sudah bahwa ia berkuasa atas hidup manusia di depannya. Liger terlihat bertambah besar, bukan secara harafiah namun itulah yang terlihat di mata Janette, ancaman mulai menekan dadanya sampai kaki gemetar, ditambah suara yang kini saru dengan raungan,

"Manusia! Hidupmu sekarang ada ditanganku!" Nafas Liger diikuti getaran udara dari diafragma, "sejak awal... aku tidak berniat membiarkan kalian hidup, membunuh kalian setelah berdrama di depanku... tapi, atas kebaikan dari orang... yang menyayangimu, aku berbelas kasih.. kepada mereka, bukan... kepadamu..." mendekati Janette yang gemetar, wajah besar Liger berada tepat di depan tubuh manusia kaku itu, "aku memberikanmu pilihan... pergi dari sini, atau tetap bersikeras dengan.. keinginanmu dan mati."

Rupanya meski sudah siap, terror yang diberikan seekor Liger raksasa mampu mengalahkan rasa takut akan kematian. Meski mematung, mata Janette jelas mengatakan apa yang diinginkan.

"Baiklah manusia, aku akan mengabulkan permintaan terakhirmu."

Semua kenangan, emosi, rasa yang ia tangkap diperlihatkan kepada Janette, tanpa ada yang terlewat.

Kisah hidup seseorang yang dikenal dengan nama Din Steelfold.

***

"Din.. din? Hei bangun."

Suara lembut namun kuat yang aku kenal, memaksa mata yang berat untuk terbuka.

"AH! Ah.. dimana ini? Apa aku sudah-"

"Bersyukurlah, kamu tidak berada di tempat yang kamu kira."

Segera, aku menyadari ruangan tempatku berada. Kasur teramat empuk dengan selimut tebal, ruangan bercat putih kekuningan, gorden tampak mahal terbuka mengundang cahaya matahari masuk.

"Jannete?"

"Iya Din, ini aku, dan beristirahat lah. Jarang-jarang kan kamu bisa tidur di hotel termewah kota besar," candanya sedikit mengejek.

Janette, wanita tercantik untukku, yang kusayang, yang kurindukan. Entah sudah berapa lama tidak berjumpa dengannya, semua perasaan sepi selama ini, bertapa lelahnya diriku, melihat dirinya kini menyembuhkan semua rasa sakit.

"Janette... Janette!" Tubuhku seakan bergerak sendiri, berusaha beranjak dari kasur empuk, lalu terjatuh tanpa tenaga.

Untungnya Janette menangkapku, memelukku.

"Din, sudah lama tidak bertemu."

Lalu ia melepaskan pelukannya, menahan jarak diantara kita dengan cengkraman tangannya pada pundakku, menanyakan hal yang sudah dapat kuduga.

"Lalu dimana Juan? Tidak ikut denganmu?"

Juan, aku teringat tujuanku datang kemari. Aku bagaikan bencana yang menjatuhkan bala pada kedamaian. Datang untuk menghancurkan hati wanita yang kucintai. Tapi itu harus kulakukan.

"Janette... Juan, Juan..." aku berusaha membuka mulutku yang melawan perintah, meski pada akhirnya terbuka, kini paru-paruku yang menolak menghembuskan udara ke pita suara.

Tenaga dari tangan Janette mendorongku sampai terduduk.

"Sudah, kalau masih lelah nanti saja bicaranya, sebentar ya."

Tanpa kata-kata aku hanya bisa menyaksikannya keluar kamar, lalu datang membawa nampan berisikan sepotong roti ditemani susu bercampur madu yang terlihat sangat lezat.

Jelas aku menerimanya tanpa ragu, tubuhku yang kekurangan asupan dengan lancang menyambar. Menikmati setiap gigitan roti maupun manisnya madu yang mengalir dari mulutku.

Sembari memperhatikanku, Janette membuka obrolan, "Din, aku senang kamu menyukai sajian dariku. Aku sendiri yang membuatkannya khusus untukmu."

Aku tersedak.

Sejak awal mengenalnya, gadis ini tidak pernah bisa memasak. Bahkan hal sederhana seperti memanaskan air, berakhir menjadi pemandangan mengerikan, logam panci menyala merah serta meja penyangga kompor yang terbakar. Kiamat!

"Kamu mengalami banyak kemajuan... " pujiku.

Tersenyum, Janette berjalan mendekat ke jendela.

"Din, kamu tahu? Bahwa aku selama ini terlalu memikirkan Juan. Oke, kamu pasti tahu." Tanpa menatapku ia melanjutkan perkataannya, "namun aku sadar bahwa suatu saat aku harus menikah, aku mungkin akan jatuh cinta, tentu bukan terhadap adik kandung sendiri. Karena itu, aku mencoba untuk berubah, mungkin secara bertahap. Karena aku tidak bisa tidak khawatir dengan Juan."

Menjawabnya dengan keheningan, Janette mengangkat nampan yang kini hanya menampung gelas kosong. Ia sekali lagi menuju keluar kamar, tapi kali ini menghentikan langkahnya.

"Aku bangga kepadamu, yang sudah berhasil melatih Juan menjadi seorang pria mandiri, memiliki kemampuan bertarung untuk melindungi dirinya sendiri, meski aku tetap tidak bisa melepasnya, tapi aku menjadi lebih tenang. Kamu berhasil melakukan hal yang tidak aku bisa lakukan, mungkin kita bertiga bisa hidup bahagia bersama."

Kata-kata itu seharusnya membuatku bangga. Ya, aku akui memang aku berhasil merubah Juan, tetapi seperti buah yang hancur sebelum matang dan bisa dinikmati, Janette tak akan pernah bisa melihat sosok Juan yang demikian.

"Janette, aku-"

"Din, saat membayangkan mengenai jatuh cinta atau pernikahan, sosokmu muncul begitu saja dalam kepalaku." Setelah mengatakan hal tersebut, Janette tersenyum bahagia kepadaku sebelum menghilang dibalik pintu kamar yang menutup.

Menyuguhkan susu manis ke mulut yang terluka, tidak terasa manis namun perih. Seharusnya aku bahagia mendengarnya, tapi kini hatiku seakan ditusuk besi panas.

Kenapa ini bisa terjadi? Apa dewa sedang bermain-main denganku? Mejauhkan diriku pada sang bidadari, saat aku berusaha meraihnya ia membuat bidadari itu dekat hanya untuk menghancurkan sosoknya. Tidak mungkin aku bisa tega menghancuran senyuman yang barusan dia perlihatkan padaku, impian yang dipupuknya, dimana ada aku di dalamnya.

Apa yang harus aku lakukan?

***

Bau logam yang menusuk tajam satu sama lain, suara besi berdentang, tungku perapian berisik. Rumahku, Toko Pandai Besi Tim.

Setelah melakukan perjalanan beberapa hari, akhirnya aku dan Janette tiba di desa Caytre. Menutupi kenyataan mengenai Juan, aku memberitahu kepadanya bahwa sang adik sedang menjalankan misinya sebagai petualang baru.

Duduk merenungkan kebodohan yang kulakukan selama ini yaitu berbohong. Selanjutnya harus bagaimana? Karena kebohonganku bukan hal yang bisa bertahan lama kecuali ditutupi oleh kebohongan lainnya.

"Din! Jangan melamun, ambilkan tang pengait panjang. Heh, kamu pulang kemari bukan artinya bisa bersantai-santai. Dan tunjuanmu berada di sini adalah membantuku kan?" Suara yang keras namun kurindukan, suara ayah membawa kesadaranku kembali.

Aku baru ingat, untuk mengalihkan kekhawatiran, aku mencoba membantu ayah dalam pekerjaannya. Meski pada akhirnya hal itu percuma.

Besi pengait yang kupegang mendadak berpindah tangan. Ayah merebutnya sembari menyela pikiranku, "lalu mau sampai kapan berdiri sambil memegang besi seperti itu? Terlalu lama berada di kota membuat otakmu geser, heh? Kamu bukan pengawal kerajaan, umurmu sudah terlalu tua untuk permainan sandiwara sebagai kesatria!"

"A-apa? Bukan itu yah. Maksudku, aku sedang memikirkan hal lain."

Ayah menghentikan kegiatannya, bunyi besi yang terjatuh, alat-alat pandai besi yang diletakannya menandakan bahwa ia akan berbicara panjang lebar kepadaku. Menyebalkan.

Dia menghela nafas, terdiam berusaha merangkai kata-kata. Aku sudah siap menyimak dongeng apa yang hendak diucapkan ayahku, ini akan memakan waktu sangat lama sekali.

"Din, sudah empat tahun lebih... sejak pertama kali keluarga Laterei menumpang di sini. Cukup banyak perubahan."

"Iya yah, tempat ini sekarang sudah lebih maju dari sebelumnya, meski kita tetap diperas oleh rezim baru tap-"

"Bukan itu, tapi kamu! Goblok."

Ternyata aku. Makian sayang ayah membuatku tertawa kecil, "maaf yah, mana kutahu jika ayah tidak menyertakan keterangan objek yang jelas."

"Sekarang kamu tambah pintar mengelak, kalimat sarkasmu semakin dipenuhi oleh istilah-istilah rumit, setidaknya untukku." Ia memotong sendiri topik pembicaraannya yang sudah cukup melenceng, "kembali ke pembicaraan tadi, aku ingin menegaskan kepadamu, aku memperhatikanmu. Termasuk kegundahan yang sedang kamu alami saat ini." Lalu ia terus melanjutkan ceramahnya,

"Sama seperti aku juga, kita berkorban demi perempuan mempertaruhkan harga diri, lebih tepatnya, demi harga diri. Dalam kasusku, aku berhasil memenangkan piala sehingga lahirlah kamu, hahahaha..."

Begitulah sifat ayah, suka pamer atas kehebatan dirinya terhadapku. Aku memberikan kesempatan padanya untuk terus bercerita.

"Melihatmu mengejar anak Laterei, ayah paham jika suatu saat kamu akan pergi meninggalkanku demi dirinya. Karena itu yang aku lakukan dahulu. Berkorban meski tidak ada harapan, terus menjaga wanita yang kita cintai, aku memaklumi itu."

Ayah memutar tubuhnya hingga kini kami saling berhadapan, menatap mata satu sama lain.

"Din, meski begitu aku tetap lah ayahmu. Nasihat yang bisa kusampaikan adalah, tinggalkan anak Laterei. Ini sudah bukan urusanmu lagi, aku tidak melihat seorang Steelfold pada dirimu, hanya babi penuh birahi yang mengejar-ngejar seorang wanita untuk disetubuhi."

Tersentil dengan kata terakhir ayah, aku membantah kasar, "kurasa ayah sudah mulai ngelantur. Ini adalah cinta. Aku sangat mencintainya hingga kini tidak mungkin aku membiaran dirinya hancur begitu saja, apakah menjadi seorang Steelfold artinya mengabaikan rasa simpati? Membuang hati nurani? Mending aku mengundurkan diri dari pekerjaan sebagai seorang Steelfold."

"Jaga ucapanmu! Dasar durhaka. Kamu yakin itu cinta? Si tua ini sudah banyak memakan asam garam, nak. Ya, aku akui ada perasaan cinta dalam hatimu, tapi, cinta yang seperti apa? Yang membawa kebaikan, atau merusak? Jika yang kedua, aku melihat adanya kontradiksi dalam ucapan dan tindakanmu. Hanya demi perasaan pribadi, kamu perlahan-lahan merusak gadis itu. Akan lebih baik jika kamu jujur sejak awal."

"Aya-"

"Tidak perlu menjawabnya. Mungkin si tua ini memang sudah ngelantur sehingga kamu tidak mau mendengarkan, ya, ayah juga tidak mau mendengarkan nasihat orang tua sewaktu remaja. Karena itu aku tidak akan menentang keputusanmu, sekadar memberikan saran. Jujur lah kepadanya, caramu melindungi itu salah. Saat ia tahu, kehancuran lah yang akan datang. Aku hanya ingin kamu hidup bahagia, itu saja membuatku bangga."

Aku beranjak dari tempatku menuju ke arah pintu. Mengacuhkannya, kami sama-sama tahu bahwa perbincagan ini sudah tidak bisa dilanjutkan.

"Ayah, maafkan aku jika tidak menjadi anak yang ayah harapkan. Mengejar-ngejar wanita sampai ke ujung dunia seperti babi di musim kawin, membuat kebohongan demi kebohongan, melarikan diri, bagi orang mungkin jauh dari sosok pria sejati. Tapi aku sudah yakin dengan apa yang kulakukan, untukku ini adalah hal yang benar." Lalu aku menutup pintu dengan agak keras sembari berbicara sedikit kencang, "maaf sudah menjadi pria gagal bagi keluarga Steelfold dan menghancurkan harapanmu!"

Setelah debuman suara pintu, teriakan dari dalam terdengar menyahut.

"Tidak ada ayah yang tidak bangga terhadap anaknya, goblok!"

Aku tersenyum haru mendengarnya, mataku menjadi rabun oleh air. Ini adalah bentuk kasih sayang yang unik dari ayah seorang Din. Memberikan keberanian karena seolah berkata,

meski kamu tidak mengikuti apa yang kuinginkan, tapi aku tetap mendukungmu.

Ayah, aku menyayangimu. Terima kasih... maafkan aku...

***

Sebulan sudah berlalu. Kurasa ini adalah saatnya kecurigaan Janette muncul, tidak ada pekerjaan petualang kelas pemula yang memakan waktu selama ini. Perkiraanku, ia akan mencoba pergi ke kota untuk menanyakan data Juan, tentu saja tidak akan ditemukan. Karena semua itu hanyalah kebohongan yang kuciptakan.

Sudah saatnya juga aku membuat cerita baru, mengenai kematian Juan. Jika fakta yang sebenarnya terungkap, Juan mengorbankan pengobatannya demi gadis itu, Janette akan menyalahkan dirinya sendiri. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan diperbuatnya.

Aku selalu menunggunya di ladang gandum tempat biasa kami mengobrol saat bersantai. Ia pasti akan segera datang menghampiriku,

"Din, ada yang ingin aku bicarakan." Suara Janette muncul mendahului dirinya, sesuai dugaanku.

"Mengenai Juan?"

"Benar. Aku merasa ini sudah terlalu lama jika dia hanya mengerjakan tugas petualang pemula. Tidak ada kabar sama sekali darinya."

Tugas petualang pemula tidak perlu dilakukan di kota. Karena cabang pendaftaran ada di desa ini, lalu data akan diteruskan ke kota. Jika sudah saatnya naik kelas menjadi petualang kelas amatir atau F, maka ujian selanjutnya ada di ibukota.

Karena itu aku sudah memikirkan apa yang harus kukatakan jika hal ini terjadi.

"Janette, maafkan aku, ada informasi yang baru kuketahui seminggu lalu. Namun aku tak sampai hati memberitahukannya kepadamu. Aku berencana menyelesaikannya sendiri."

"Maksudmu? Apa yang ingin kamu katakan? Ayo katakan langsung ke intinya saja."

Keberanian, itulah yang kubutuhkan saat ini. Semoga, kali ini dewa bersamaku. "Janette, Juan salah mengambil tugas petualang. Ia malah menjalankan misi berbahaya, menyeidiki mengenai Liger di Hutan Bamboo."

Ia menyambar bahuku, seketika sosoknya yang lama kembali. Janette yang obsesif kepada adiknya, tidak rasional, dan histeris jika ada hal yang terjadi kepada Juan.

"Apa?! Bagaimana bisa? Din, itu tempat paling berbahaya. Juan tidak mungkin selamat di sana!"

Berusaha menenangkannya, aku menggenggam tangan Janette.

"Janette, kamu tenang saja. Aku akan berusaha mencarinya di Hutan Bamboo."

Rencanaku adalah memasuki tempat itu sendirian, lalu aku akan keluar dan memberikan kabar bahwa Juan tidak berhasil bertahan di sana. Aku berusaha memanipulasi informasi mengenai kematian Juan. Akupun sudah berusaha memastikan kepada semua penduduk desa agar menyembunyikan penyebab kematian Juan selama sebulan ini.

"Tidak! Aku harus ikut, lebih baik kita kesana berdua kan? Juan adalah adikku, aku yang harus menyelamatkannya." Balasnya. Tentu saja aku tahu ia tidak akan menerima begitu saja jika harus berdiam di desa. Aku harus meyakinkannya untuk tinggal di desa.

"Janette, satu orang saja sudah cukup. Lagipula, di sana cukup berbahaya, karena itulah-"

"Karena itu aku juga harus ikut! Jika nantinya kamu tidak pernah kembali, bagaimana?"

"Tenang, aku ini cukup kuat untuk ukuran laki-laki desa. Kamu tidak perlu mengkhawatirkanku."

"Aku khawatir jika tidak akan pernah ada kabar mengenai Juan!"

Tak kusangka, semua usahaku, usaha Janette untuk berusaha lepas dari bayang-bayang Juan kini sia-sia. Sedikit saja sebuah kabar buruk mengenai adiknya, dapat membuatnya gelap mata akan dunia, dan hanya pandangan terhadap Juan yang dia lihat.

Sosok diriku yang sempat ada di hatinya kini terhapus begitu saja.

"Kalau aku tidak kembali, berarti aku dan dia telah mati!"

Telapak tangannya menampar pipiku, rasanya panas dan menyakitkan. Terlebih lagi kata-kata yang keluar hanyalah mengenai adiknya.

"Bagaimana bisa kamu mengucapkan hal itu terhadap Juan!! Aku akan menyelamatkannya, aku akan pergi ke sana!"

Gadis bodoh. Tidak bisakah kamu menerima kenyataan, adikmu sudah mati! Kamu bisa berduka untuk sesaat, atau dalam waktu yang lama, kemudian aku akan menghibur hatimu. Lalu kamu bisa hidup bahagia setelah itu, walau dengan sedikit bayang-bayang kesedihan.

Dan sekarang kamu memilih untuk bunuh diri ke sarang liger? Baiklah jika itu maumu, aku akan menemanimu sampai akhir. Sesuai janjiku.

Andai kami bertemu Liger, mungkin itulah akhir dari semua ini. Atau, aku bisa melakukan hal lainnya untuk menyelamatkan gadis ini?

Aku kini menyadari bahwa semua yang dikatakan ayah ternyata benar.

***

Kami memasuki hutan Bamboo. Beberapa jam setelah kebingungan mencari sarang liger, kami bertemu sekelompok serigala lapar. Tentu saja kami harus menemukan medan tempur yang cocok untuk bergerak bebas.

Sampai pada akhirnya kami tiba di sebuah pohon yang cukup besar, sehingga dapat menjaga punggung kami. Tempat itu pun cukup luas dan tidak terhimpit banyak pohon. Ya, aku bisa mengalahkan para serigala itu sendirian. Dan mungkin aku bisa sedikit bersandiwara agar Janette mau pergi dari sini.

"Janette, sepertinya ini adalah akhir dari kisah kita berdua, aku akan menghadapi mereka sendirian. Kamu pergilah dari hutan ini! " Bagus, dengan begini aku bisa membujuknya keluar. Agar lebih klise, aku akan menyatakan perasaanku disini.... Siap... satu, dua, tiga! "Sebelum itu aku akan mengatakan sesuatu! Aku mencintaimu... "

Percobaanku gagal, Janette tidak peduli sama sekali.

Namun, beruntung sekali. Setelah kewalahan melawan serigala, muncul lah liger yang ukurannya tidak bisa kubayangkan! Dan bisa jadi ini adalah akhir hidup kita berdua. Jika aku boleh mencoba, kuharap aku berhasil membuat Janette berhasil melarikan diri, sementara aku mati ditangan liger. Pada akhirnya pun dia akan menerima bahwa Juan sudah mati. Hidup bebas dari bayang-bayang sang adik.

"Kita benar-benar berada dalam masalah kali ini...,"gumam ku . "Janette! Lari! Aku akan menghadang makhluk ini!"

Percuma, dia tidak beranjak. Segitu besarkah keinginanmu bertemu Juan? Janette, adikmu sudah mati! Brengsek, sia-sia usahaku untuk menyelamatkanmu kalau begini!

Tanpa diduga, muncul seorang anak kecil yang menyelamatkan kami bedua. Anak yang polos, dengan mata berbinar terang. Bocah kuat misterius yang hidup seorang diri di hutan ini. Memang dirinya kuat, tapi tetap saja dia akan kesepian lalu membutuhkan seseorang. Karena tidak ada orang yang bisa hidup sendirian, dan hanya satu orang yang kukenal sanggup melakukan itu bertahun-tahun. Juan Laterei.

"Hei, setelah kami berhasil menyelamatkan adik Janette, kamu mau ikut bersama kami?" tanyaku padanya.

Sempurna, anak ini akan menjadi pengganti Juan bagi Janette. Apalagi kelihatannya mereka berdua akrab. Setelah kami gagal menemukan Juan, lalu berkesimpulan ia telah habis dimakan liger atau serigala, jika kami selamat, maka aku akan membawa anak ini untuk hidup bersama.

"Jika mau, kamu masih bisa keluar dari sini," kata anak itu kepadaku.

Ya, artinya aku harus meninggalkan Janette di sini. Gadis itu memiliki kepala yang lebih keras dari martil sekalipun. Tetapi jika rencanaku berhasil, mungkin masih ada peluang. Aku berdiri menepuk pipiku seolah memberikan rasa optimis kepada dri sendiri.

"Seorang pria harus menyelesaikan apa yang sudah dimulainya, ayo kita selamatkan adik Janette," kataku kepada anak itu.

"Din! Apa kamu sudah siap? Ayo kita bergerak."

Tentu saja. Aku sudah memutuskan, aku akan disisimu sampai akhir. Dan tentu saja bersama anak ini "Setelah semua ini berakhir, kamu ikut dengan kami!" Kataku kepada anak itu.

"Din, hentikan... entah kenapa, rasanya ucapanmu seperti pertanda kematian di pertunjukan drama murahan." Janette memarahiku, padahal bisa jadi hidup kita akan segera berakhir.

***

Janette sudah pergi terlebih dahulu ke dalam gua. Aku bersama anak itu berjaga diluar agar bisa segera memperingatkan Janette begitu liger datang. Rencanaku, saat tidak menemukan Juan pada sarang itu, kami akan mengambil kesimpulan bahwa liger memakannya.

"Hei bocah."

"Hmm?"

"mungkin saja, kami tidak akan selamat. Jika itu terjadi, maafkan aku yah harus membatalkan janji."

Anak itu tersenyum kepadaku dengan wajahnya yang lugu. "Tenang saja, aku akan menjaga kalian!"

"hahaha dasar anak yang terlalu percaya diri." Aku mengelus kepalanya, aku yakin pada saatnya nanti, anak ini harus lari meninggalkan kami berdua. Sendirian seperti semula.

Suara kegaduhan terdengar dari dalam gua. Perasaanku tidak enak. Aku segera berlari kedalam untuk memeriksa kondisi Janette. Dan benar saja, dia sedang bertarung dengan dua ekor liger, yang satu ekor luput dari pengawasannya!

"Janette!! Awas!!!" Beruntung, peringatanku membuatnya berhasil selamat dari maut.

Namun tetap saja dia terluka akibat cambukan ekor liger kecil, setidaknya ukurannya lebih kecil dari yang tadi. Aku pun nekat berlari ke arahnya.

Sialnya salah satu dari dua ekor liger itu menghadangku. Berhasil menangkis serangannya, kami terpaksa adu tenaga. Dan sebagai manusia biasa, aku kalah.

Aku akan mati lebih dahulu dari Janette?

"Hentikan!" Terdengar suara yang tidak asing bagiku. Siapa? "Aha.. kamu tidak apa-apa?" orang itu kembali berbicara dengan ligernya, mengelus mereka. Dan dia adalah....

"Tidak mungkin.. kau...!" Geramku. Anak itu, dia mengkhianati kami! Aku tertipu dengan muka polosnya. Kutarik kembali ucapanku, kamu tidak seperti Juan yang selalu menjaga kehormatannya. Pengkhianat! Dasar sekutu iblis sialan!

Sang raja hutan, liger raksasa, telah kembali. Mata merahnya mengintimidasi, menyiratkan kematian. Sudah dipastikan ini adalah akhir dari semuanya.

Tapi Janette masih berusaha melawan, tangannya menggenggam sesuatu di dalam tas pinggangnya. Mungkin dia memiliki senjata rahasia? Percuma, tidak ada manusia biasa yang pernah mengalahkan liger.

Mereka pun saling bertatap mata.

"Begitu... ya..." ucap sang liger. Apa yang terjadi diantara mereka?

"Apanya yang begitu, liger kurang ajar. Kembalikan adikku!!"

"Sayang sekali... adikmu... tidak pernah ada di tempat... ini."

"Jangan berbohong!"

Sekali lagi mereka saling bertatap mata. Apa yang sebenarnya terjadi?

"Tidak mungkin...kau! Lalu kemana Juan?" tanya Janette kepadanya.

Telepati! Mereka melakukan telepati. Jika seperti ini, perjalanan kami kemari akan sia-sia. Liger memberitahu Janette bahwa adiknya tidak pernah kemari. Aku harus mengatakan sesuatu!!

Aku harus membuat si liger menjadi penjahat disini. Lalu kami akan bertarung bersama melawannya!

"Kau!! kamu itu apa!! Kamu pastilah jelmaan iblis yang bisa mempengaruhi manusia!!"

"Din, dia adalah..."

"Cukup!! manusia... tidak perlu... beritahu. Semua... pertanyaanmu mengenai... adikmu, laki-laki itu... tahu jawabannya..."

Sial. Aku terpojok. Apa yang harus kukatakan? Haruskah aku jujur bahwa Juan mati karena sakit? Karena Janette? Tidak! Aku harus mencari alasan lain. Janette tidak boleh menjadi orang yang disalahkan, dia tidak boleh menyalahkan dirinya sendiri.

"Din... apa yang sebenarnya terjadi?" katanya kepadaku. "Din!! Ada yang kamu sembunyikan! Dimana Juan? Din!! Din katakan!!" Janette terus mendesakku, tangannya mencekik kerah baju yang menyumbul dari zirah besiku.

Apa yang harus kulakukan! Seseorang, tolong beritahu aku. Saat ini, aku mengutuk diriku. Semua yang kulakukan hanya demi dirinya. Namun kenyataannya, tidak ada yang bisa menyelamatkan hatinya lagi, dan kini aku seolah menjadi pejahatnya.

Menjadi penjahat...

Mungkin ini adalah jalan satu-satunya, menjadi sang antagonis. Lebih baik daripada memposisikan Janette sebagai orang yang paling bersalah atas kematian adiknya. Ini adalah keputusan terbaik saat ini. "Berisik!! Tidak bisakah kamu menerima kalau Juan sudah mati!?"

"Mati...? Apa yang kamu rahasiakan dariku!?" katanya sambil menjaga jarak dan membidikku.

Dia membidikku. Wanita yang kucintai, menunjukan taringnya kearahku, menyakitkan. Tapi inilah yang aku harapkan. "K-kau! Kau membidik ku?! Adikmu sudah mati! Aku bisa memastikan hal itu!"

"Kau! Kau membunuhnya!!" Suara Janette gemetar, kemarahan dan kebenciannya, Semua mengarah kepadaku.

Tak kusangka respon darinya turut memicu emosiku keluar, termasuk kekesalan yang kupendam selama ini. Tanpa bisa kukendalikan, sandiwara menjadi satu dengan isi hati kutumpahkan, "Aku benci bagaimana dia selalu menyebut namamu!! mengatakan seolah aku akan merebutmu darinya!!"

Tiga anak panah menuju ke arahku, berhasil kuatasi. Aku mendorongnya hingga jatuh. Pikiranku semakin dikendalikan oleh amarah, "dan kamu! Aku sangat membenci sikapmu yang sama seperti adikmu! Juan, Juan, Juan! Selalu Juan!! Padahal aku sudah berusaha agar kamu melihatku!! Apa tidak ada hal lain dipikiranmu?! Apa tidak ad-"

"Tidak ada!! Semua hanya untuk dirinya!!! Karena dialah aku memiliki motivasi hidup sampai saat ini!!" jawaban darinya yang membuat hatiku terasa pilu.

Jika Juan tidak ada, artinya lebih baik dia mati? Lalu bagaimana denganku? Yang selama ini selalu ada untuknya adalah aku, bukan Juan. Semua, hidupku, aku korbankan untuknya. Aku sudah tahu akan hal ini, tetapi tetap saja aku tidak bisa menerimanya.

Saat aku menatapnya kembali, dia mengeluarkan benda bulat biru terang. Aku tahu benar benda apa itu sebenarnya. Janette tidak boleh menggunakannya, aku harus mencegahnya! "Janette!! Kubunuh kau jika menggunakan itu!!" Adalah satu-satunya kalimat yang bisa aku ucapkan.

Terlambat, dia menelannya.

"Aku sudah kehilangan semuanya... karena itu... sekarang yang perlu aku lakukan adalah menghabisimu!!!" Teriaknya.

Begitu pula diriku. Terlalu sibuk memikirkan perasaanku sendiri, aku luput menjagamu. Dunia terasa hancur. Jiwaku bagai tersedot ke lubang hitam. Semua menjadi kosong, harapan sudah musnah. Janette, wanita yang kucintai, akan segera menemui ajalnya.

***

Bidadari biru terbang kearahku, bidadari yang penuh amarah, namun sekarat. Bidadari yang kucintai datang kepadaku dengan belati pencabut nyawa.

Aku reflek menangkisnya, dalam sekejap, bagai sebuah lebah yang lincah, dia sudah berada dibelakangku.

Aku memutar tubuh beserta pedangku sampai membuatnya terhempas jauh. Bagai seekor tupai, dia menancapkan kakinya pada salah satu stalaktit, bersiap untuk melesat ke arahku sekuat tenaga.

Kita tentukan disini siapa yang akan mati lebih dahulu. Dalam sekejap, kamu akan menghilang dari dunia tanpa perlu merasakan kesakitan, Janette. Aku tidak ingin melihatmu mengalami hal yang sama seperti Donalian.

Aku mengambil posisi yang siap menghadapi batu raksasa sekalipun. Cukup untuk mencabik tubuhnya menjadi dua saat dia datang.

Sesuai dugaan, dia meledakkan kakinya dari skalaktit, dengan kecepatan tinggi siap menerkamku menggunakan belatinya. Dan itulah akhir baginya.

"Jangan!! Jangan lakukan! Kau akan menyesal!" Sebuah teriakan menyadarkanku.

Dalam sekejap semua menjadi gelap, aku dapat mendengar suara ledakan dari beberapa benda keras yang hancur. Namun aku tidak bisa merasakan atau melihat apapun. Saat kesadaranku kembali, Janette sudah duduk diatas tubuhku, menancapkan belatinya di dadaku.

"Rasakan, ini adalah balasan atas perbuatanmu! Hahaha!" Janette menyeringai, dipenuhi amarah, dia merasa puas sudah melukaiku? Kukira dirinya akan menangis sedih. Ini lebih baik dari bayanganku.

Dadaku mulai terasa nyeri, aku kesulitan bernafas. Sebelum mati... aku harus mengatakan sesuatu...mungkin permintaan maaf, atau pernyataan cinta, tapi, aku malah meludahinya...

"Aku teringat bagaimana anak itu merengek meminta tolong saat hendak kuhabisi."

Belati yang dingin namun menyakitkan ditarik dari dadaku, lalu ia kembali menusuknya.

Bukankah seharusnya aku mengatakan padanya, aku mencintainya? Mengapa aku tidak pernah mengatakan bahwa aku juga membutuhkan perhatiannya? Setidaknya, aku bisa merengek untuk itu.

Lagi, benda tajam itu tanpa ampun menusuk-nusuk tubuhku. Wanita yang kucintai terus melakukannya berulang-ulang.

Tak berapa lama, Janette melepaskan diri dariku. Berteriak kesakitan.

Jadi waktunya sudah tiba ya...

Sementara dia menderita, aku sekarat disini dan tidak dapat berbuat apa-apa untuknya. Semua yang kulakukan selama ini telah membawanya kepada kehancuran. Mungkin lebih baik jika kita tidak pernah bertemu.

Pandanganku mulai menghilang.

Aku gagal melindungi wanita yang kucintai. Dadaku sakit, bukan hanya oleh luka tusukan, tapi juga akibat ketidak mampuanku. Begitu percaya diri namun tidak berguna. Sampai saat ini, apakah Janette pernah memikirkan, memahami perasaanku kepadanya? Aku ingin setidaknya dia tahu bahwa ada seorang laki-laki yang pernah berkorban untuknya lebih dari apapun.

Ah... sudahlah, semua telah berakhir... Ah, aku sampai melupakan sesuatu, benda yang ingin kuberikan pada Janette... tanganku berusaha merogoh kantong, tidak kutemukan... dimana...

Wahai manusia, seperti yang kukatakan. Awanya aku tidak ingin terlibat sama sekali dengan urusan kalian. Tetapi, kamu adalah individu yang menarik. Ucapan, emosi, bahasa matamu berbeda satu sama lain. Kamu penuh tipu muslihat, tapi juga memiliki kebaikan dalam dirimu. Kamu yang sebenarnya... yang mana?

Kata-kata terakhir yang kudengar sebelum aku pergi.

avataravatar
Next chapter