5 Ch 4 [Silly Adventurers IV] Demi yang kucintai

Sebagai seorang anak kecil yang masih belum memahami dunia, termasuk kebencian dan cinta. Dengan polos ia terus berusaha meronta-ronta digulungan ekor kucing raksasa, tak peduli seperti apa konflik yang dihadapi dua petualang di depannya. Keinginannya menghentikan pertarungan sangatlah kuat, sayang tak berdaya.

Semua yang ada di sini menjadi saksi bertapa mengerikannya sebuah obat yang terbuat dari Kristal sihir.

Janette melesat di udara bagai anak panah. Di tangannya terselip belati yang diarahkan kepada lawan. Menyelusuri angin, sisi tajamnya melaju ke arah target.

Seketika, terdengar lah gema dentangan besi beradu. Sebuah pedang besar menggagalkan mata belati Janette yang hendak merobek tenggorokan Din.

Berhasil menangkis serangan gadis itu tidak membuatnya berada dalam posisi menguntungkan. Seolah menghilang, Janette berhasil menyelinap ke belakang lawannya. Sekali lagi berusaha menancapkan belati ke dalam kepala musuhnya.

Alih-alih mengimbangi kecepatan Janette. Din menangkis serangan dengan menggunakan gerakan kecil. Hasilnya, ia menghemat ruang gerak sehingga dapat mengimbangi kecepatan lawan. Kali ini ia tidak ingin membiarkan gadis itu menyelinap ke sisi kosong. Saat senjata mereka beradu kembali, Din mengayunkan pedang sekuat tenaga sampai Janette terpental beberapa meter.

Gadis itu memutar tubuh bagai kucing di udara. Mendaratkan kakinya pada salah satu stalaktit besar, seolah menancap, bersiap melakukan lompatan kuat.

"Jangan! Jangan lakukan!" teriak si kecil dari kejauhan.

Din memegang erat senjatanya dengan kedua tangan. Mengarahkan ujung lancipnya miring ke bawah sampai menyentuh tanah. Pose yang efektif untuk melakukan tebasan sekuat tenaga. Dapat dipastikan, setiap benda yang datang akan terbelah menjadi dua jika ia menebasnya.

Tidak menyadari hal tersebut, Janette mengumpulkan semua energi pada telapak kakinya.

Sementara si kecil terus berteriak percuma.

Gadis itu sudah menembakkan energi dari hentakan kaki. Bagai sebuah anak panah bercahaya biru, dengan kecepatan tinggi menghantam lawannya sampai mereka berdua menabrak beberapa stalagmit, yang satu demi satu hancur terhantam tubuh mereka, berakhir pada dinding gua dengan suara berdebum.

Seiring menipisnya kepulan asap, terlihat salah seorang dari mereka telah tumbang, terbaring pada dinding gua yang hancur . Diatasnya, gadis dengan postur tubuh kecil memegang belati yang menancap pada dada pria di depannya.

Dengan kejam Janette mencabut belatinya. "Rasakan, ini adalah balasan atas perbuatanmu."

Bersama irama nafasnya yang sudah tak beraturan, mata Din berusaha menatap Janette. Dia tersenyum. Kemudian meludah ke wajah gadis itu.

"Aku teringat bagaimana anak itu merengek meminta tolong saat hendak kuhabisi."

Tersulut oleh kemarahan, Janette kembali menikamnya, lagi, dan lagi. Gadis itu menggila, menghujam berkali-kali hanya demi memuaskan nafsu, emosi telah membunuh nalarnya.

Sesaat, tragedi buas yang disaksikan oleh keluarga liger pun terhenti untuk sementara.

Aura energi biru yang keluar dari tubuh Janette semakin deras. Ia berteriak kesakitan. Gadis itu berlutut menghadap langit-langit dengan otot yang kejang, kesadarannya terlihat mulai menghilang.

Liger raksasa melihat Din tanpa ekspresi, namun memancarkan perasaan yang tersembunyi, seolah memikirkan sesuatu. Kucing itu menatap matanya, mencoba berkomunikasi melalui pikiran.

Wahai manusia, seperti yang kukatakan. Awanya aku tidak ingin terlibat sama sekali dengan urusan kalian. Tetapi, kamu adalah individu yang menarik. Ucapan, emosi, bahasa matamu berbeda satu sama lain. Kamu penuh tipu muslihat, tapi juga memiliki kebaikan dalam dirimu. Kamu yang sebenarnya... yang mana?

Jangankan untuk membalas hinaan itu, Din bahkan tidak dapat berpikir jernih sama sekali. Sebab seluruh tenaganya sedang terkuras menahan rasa sakit dalam proses kematian. Meski begitu, ada dorongan dari dalam hatinya untuk menceritakan hal yang selama ini disembunyikan, meski ia tidak menyadari itu.

Liger melihat pintu hati pemuda itu kini terbuka lebar-lebar, berharap seseorang atau apapun bisa mengerti rasa sakit yang dipendamnya. Keinginan terjujur, yang tidak dia sadari, untuk terakhir kalinya. Satu demi satu pengalaman hidup seorang Din terkuak, mulai dari saat dia dilahirkan, dibesarkan oleh ayahnya dalam sebuah rumah pandai besi, sampai bertemu Janette.

Hidup bersama Janette hingga berpisah untuk waktu lama. Akhirnya sampai juga kepada pertarungan Din melawan Juan, adik Janette, dimana ia dikalahkan oleh anak itu.

***

Aku... kalah? Oleh bedebah kecil ini? Seharusnya aku menghancurkannya sebelum ia terlalu kuat, tapi mau ditaruh dimana harga diriku karena menindas yang lemah. Sialan! Berusaha mempertahankan, malah nyatanya kehormatanku sudah tidak ada artinya di depan anak ini.

Apa itu artinya, aku memang tidak pantas bersanding dengan Janette? Apakah para dewa, sedang mengolok-olok diriku, memperkenalkan aku dengan Janette, membuat cintaku bertepuk sebelah tangan, lalu saat aku optimis bisa membuktikan aku pantas untuknya... sebuah pengganggu kecil disulap oleh mereka menjadi sosok yang lebih pantas dariku?

Seharusnya aku lah orangnya! Apa yang terjadi? Kenapa bisa berakhir seperti ini.

Bedebah itu memandangku dengan tatapan jijik, hei, aku mulai berpikir untuk membunuhnya saat ini. Serangan mendadak dapat menghabisinya dengan cepat.

"Pria yang menyedihkan..." ucapnya.

"CEPAT KATAKAN PERMINTAANMU!"

Jangan melecehkanku. Akan kuhabisi kau sekarang juga.

Sesaat sebelum menyerang, wajah Janette terlintas, membayangkannya menangisi kematian adik yang dia sayangi, aku tak sanggup. Seketika amarahku mereda. Ya, Janette menyayangi Juan, begitu pula sebaliknya.

Demi cinta, aku membuang semua harga diriku. Apapun permintaanya, aku sudah tak peduli, dia telah menang. Setidaknya ada atau tidak ada diriku, Janette tetap bisa bertahan di dunia yang kejam ini. Selain dia sendiri cukup memiliki kemampuan, kini adiknya sudah bisa menjaga kakaknya.

Silahkan Juan, silahkan kamu berikan hukuman apapun. Menjauhi kakakmu, atau mengakhiri hidupku sendiri. Karena mau bagaimana juga, keinginanku sudah terpenuhi. Aku kalah dalam pertarungan tapi memenangkan perperangan.

Tanpa memberikan reaksi apapun, dia melangkah pergi... ? Apa yang kau lakukan? Mengapa kamu malah berjalan keluar meninggalkanku begitu saja? Hei, selesaikan perjanjian kita secara jantan!

Menatap Juan yang menjauh, aku menyadari, langkahnya semakin berat, keseimbangan tubuhnya mulai kacau. Lalu dia terjatuh.

"Juan!"

Aku segera menghampirinya untuk memastikan kondisinya baik-baik saja. Tidak lucu jika dia mengalami hal buruk setelah bertarung denganku. Bisa-bisa aku yang akan disalahkan, Janette akan menyalahkanku.

Tidak ada luka berarti pada tubuhnya. Hanya saja nafasnya berat, wajahnya memucat. Aku harus segera membawanya ke rumah untuk diperiksa.

***

Beberapa jam kemudian ayah kembali membawa dokter untuk memeriksa kondisinya.

"Ini mengerikan," ucap dokter tersebut.

"Mengerikan? Tolong jelaskan dengan bahasa yang bisa aku mengerti dokter!" komplain ayah kepadanya.

"Dengarkan baik-baik. Anak ini seharusnya sudah sejak dahulu dibawa untuk berobat. Dokter biasa sepetiku tidak akan bisa menanganginya. Membutuhkan keahlian khusus yang hanya dimiliki dokter rumah sakit kota besar. Tentu saja, biayanya mahal."

Mendengarnya membuatku merasa hampir terjatuh. Tubuhku mendadak dingin. Bukankah seharusnya aku malah senang orang yang menghalangiku untuk bersama dengan Janette berada dalam kondisi yang menyedihkan? Tapi mengapa aku sampai shock seperti ini?

"Lalu apakah dia masih bisa disembuhkan?" lanjut ayah.

Dokter itu hanya menggelengkan kepala.

"Anak ini hanya memiliki waktu kurang dari enam bulan untuk bertahan hidup."

Enam bulan? Juan sudah berlatih selama ini untuk membuktikan padaku dia berhak menjaga kakaknya. Tubuhnya pun terlihat cukup kuat. Seharusnya tidak mungkin anak itu mudah terserang penyakit seperti ini. Dia sudah berjuang untuk melindungi orang yang dicintainya, seperti diriku.

Tanpa kusadari, aku sudah mencengkram kerah dokter itu.

"Hei, jangan main-main, anak ini kuat! Dia sangat kuat sampai bisa mengalahkanku. Tubuhnya terlatih dengan baik. Coba pastikan tidak ada yang salah dengan pemeriksaanmu!"

"Din! Hentikan!" bentak ayah.

"Anak muda. Penyakit yang dialaminya tidak memiliki hubungan dengan tubuhnya. Anak ini mengalami pertumbuhan otak yang tidak normal. Seharusnya penyakit ini bisa disembuhkan jika terdeteksi sejak awal. Namun kali ini sudah terlambat. Maafkan aku, ini sudah bukan dalam kuasaku lagi."

Kosong. Harapan bagi anak itu sudah tidak ada. Adik dari wanita yang kucintai. Orang yang paling aku harapkan untuk lenyap dari dunia ini, tetapi pada saat yang sama, dia harus hidup untuk Janette.

Bagaimana jadinya jika anak ini benar-benar meninggal kelak? Aku menyendiri, merenung. Perasaan berat dari dalam hatiku, bagaimana aku menghadapi ratapan Janette saat mengetahui adiknya sudah meningal. Tetapi, jika memang itu terjadi, bukankah meski wanita itu bersedih, pada akhirnya ia akan menerima kematian adiknya ya?

Bukankah pada akhirnya kita akan disembuhkan dari luka saat kehilangan seseorang?

***

Beberapa minggu setelah menghindarinya, anak itu datang menghampiriku. Di bangunan kayu kecil tempat Janette biasanya menyendiri, menghadap lautan gandum yang menguning.

Ia duduk disebelahku, menatap langit. Menunggu waktu berlalu setiap detiknya. Aku canggung, kuyakin diapun juga.

Tapi tetap saja aku harus membuka pembicaraan. Ada satu hal yang belum kuselesaikan dengannya. Mengenai permintaannya karena memenangkan duel.

"Juan!"

"Din!"

Kami saling memanggil pada saat yang bersamaan. Konyol. Ini bukan kisah komedi romantis, dan lagipula dia laki-laki. Aku bukan homo.

Aku tidak membuka mulutku lagi. Menunggu ucapan yang keluar darinya.

"Din, apa yang membuatmu mencintai kakak?"

Jantungku berdetak kaget mendengarnya. Apakah ini semacam wawancara kerja? Apa tujuannya dia menanyakan hal tersebut? Tapi bisa saja dia hanya ingin tahu. Tak ada salahnya menjawab.

"Aku... tak tahu. Waktu pertama kali melihatnya, aku sudah tidak bisa melepasnya dari kepalaku. Seorang bidadari telah muncul dalam hidupku. Wanita yang tangguh dan mempesona. Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya!"

"Bukankah itu hanya delusimu saja? Mengenai gambaran kakak yang kamu miliki?"

"Aku tak paham maksudmu."

"Kak Janette yang kuketahui berbeda dengan apa yang kamu pikirkan. Dengarkan aku Din, biar kutunjukan sejauh mana aku mengenalnya lebih dari dirimu."

Kemudian Juan mulai menceritakan hal yang tidak pernah aku ketahui mengenai Janette.

Sejak kecil, gadis itu diperlakukan layaknya boneka politik oleh ayahnya. Doktrin untuk mengorbankan diri demi kejayaan keluarga Laterei terus ditanamkan kedalam kepalanya. Selain itu, setiap hari Janette selalu dipaksa untuk mempelajari berbagai hal agar layak menikahi seorang bangsawan kelak. Tanpa istirahat sama sekali.

Semua itu membuatnya menyerah untuk hidup normal seperti gadis lainnya. Menyerah menjadi seorang manusia.

Lalu seiring beranjak dewasanya Juan. Janette mendapatkan satu-satunya orang yang memperlakukannya seperti manusia biasa.

Baginya, saat dia bisa merasa hidup adalah saat bersama dengan Juan. Memiliki tujuan untuk menjadi orang yang bisa menjaga adiknya, ia mulai belajar dengan serius.

Tetapi hal ini malah merusak, pasalnya gadis itu menjadi tergantung dengan adiknya. Setiap saat ia selalu menghampiri Juan, berbicara mengenai Juan, melakukan segala hal yang menghubungkan dirinya dengan adiknya. Kamar-kamarnya dipenuhi oleh lukisan dari artis ternama, gambar yang identik satu sama lain, hanya berbeda ciri khas pelukisnya. Gambar Juan Laterei. Menjahit lusinan baju setiap minggunya untuk dikenakan si adik. Banyak hal mengerikan lain, bagi Juan, yang ditemukan olehnya di kamar kakaknya.

Bahkan Janette berkali-kali memaksanya untuk menyatakan cinta, yang tentu saja tidak bisa ditolaknya. Berhubung ia juga menyayanginya, sebagai seorang adik. Setiap hari, jam, menit, detik, ia tak bisa lepas dari kehadirannya. Meski muak, Juan tetap menuruti kakaknya, hanya dia satu-satunya yang dianggap keluarga di rumah bangsawan penuh kasih sayang palsu, kecuali demi hubungan politik.

Hal itu tak berlangsung lama. Pada umur yang ke empat belas, Duke John hendak menjodohkan Janette dengan keluarga kerajaan, memisahkan dirinya dengan Juan. Dengan bayaran berupa dukungan pengobatan penuh baginya dibawah perawatan dokter istimewa kerajaan.

Ia tahu betul apa yang akan terjadi atau dilakukan kakaknya jika berpisah dengannya. Berbagai hal mengerikan, mungkin melukai diri sendiri, atau membunuh sang bangsawan secara diam-diam hanya agar bisa bersamanya. Hanya kemungkinan buruk yang muncul di pikirannya.

Tidak ingin hal itu terjadi, Juan mengirimkan bukti korupsi yang dilakukan oleh Duke John secara diam-diam kepada pihak kerajaan. Membuat keluarga Laterei hancur berantakan. Akibatnya, pernikahan Janette dibatalkan. Karena sejak awal keluarga kerajaan hanya menginginkan kekuasaan yang dimiliki Duke, dan mereka mendapatkannya. Pernikahan politik sudah tak ada gunanya lagi.

Juan menegaskan, Janette bukanlah wanita kuat. Gadis yang tidak memiliki harapan hidup sebagai manusia, kini malah terobsesi kepada adiknya. Bukan seorang bidadari surga, tapi makhluk menjijikan yang tidak memiliki kehormatan maupun mental yang sehat layaknya manusia pada umumnya.

Sisi gelap dari bidadari yang dibesarkan dalam neraka.

"Apa tujuanmu menceritakan semua itu?"

"Kakak bukanlah bidadari bersayap malaikat seperti yang kamu bayangkan. Dia adalah succubus yang hidup dengan memanfaatkan orang lain demi menjaga perasaannya sendiri."

Aku terdiam. Tidak bisa berkata apapun mengenai Janette. Selama ini aku percaya, diriku lah yang paling memahami gadis itu. Ternyata aku tidak mengenalnya sama sekali.

"Mengetahui siapa sebenarnya kakak, aku yakin kamu akan sadar. Berhentilah mengganggu urusan kami. Kamu hanya akan terseret kedalam kutukan Keluarga Laterei yang sudah membusuk."

Aku reflek berdiri menghadapnya. Ada hal yang tidak dipahami olehnya yang Harus kukatakan sekarang, "Hei bocah. Sepertinya kamu salah paham," Dengan tatapan mata yang tajam ke arahnya, aku melanjutkan kata-kataku, "Aku mencintainya tanpa alasan apapun. Dan tidak akan ada hal apapun yang bisa membuat cintaku berpaling darinya. Ini adalah cinta sejati."

"Kakakku tidak akan pernah mencintamu. Hanya akan ada aku di hatinya."

"Aku tidak peduli! Aku akan memaksa masuk kedalam hatinya," jawabku tegas.

"Bahkan jika dia tidak pernah memikirkan dirimu sama sekali? Apa kamu masih bisa mempertahankan cintamu yang naif itu?!"

"Aku tidak peduli. Aku akan melakukan apapun untuk membuatnya bahagia."

"Bagaimana jika sampai akhir, dia tidak pernah melirikmu?!""

"Aku tidak peduli! Cintaku kepadanya adalah sebuah keberanian untuk mencintai! Apapun resikonya, kamu tidak akan pernah mengerti bertapa besar perasaanku padanya."

"Aku mengerti. Aku sudah pernah bilang padamu. Aku mengerti!" Teriaknya sambil berdiri menghadap kearahku. Posisi kami berhadapan seakan siap beradu tinju kapanpun. "Din, aku juga mengharapkan kebahagiaan bagi kakakku yang seperti itu.."

Tidak perlu kau katakan. Aku sudah mengetahuinya. Kau sudah menunjukan tekadmu sampai bisa mengalahkanku dalam pertarungan.

"Tapi Din, berbeda darimu. Sejak kecil aku sudah divonis tidak akan berumur panjang. Andai saja, aku tidak menghancurkan keluargaku demi dirinya, aku pasti sudah mendapatkan pengobatan untuk kesembuhanku," ucap Juan sambil menarik kerahku. Matanya bertatapan dekat sekali dengan mataku. Melalui sorotnya aku dapat paham bertapa dirinya ingin meluapkan semua perasaannya.

Kini kepalanya menunduk sambil tetap memegangi bagian leher bajuku. Dia terus mengungkapkan emosinya dengan kata-kata, "apa yang harus aku lakukan, memiliki kakak yang sikapnya memuakkan, namun, aku tetap menyayanginya, aku bahkan rela membuat ayahku mati, keluargaku hancur, demi menyelamatkannya dari tindakan bodoh, mengorbankan kesembuhanku, nyawaku! Lantas apa yang sudah kamu korbankan untuknya Din? Apa hakmu mencintainya? Kamu hanya berdelusi, merancang semua rencanamu dengan berpikir bahwa gadis itu normal. Tidak akan berhasil, tidak ada orang yang akan melakukan hal yang sama gilanya seperti-"

"Aku akan melakukan hal yang sama seperti dirimu," Semua orang pasti akan melakukan hal yang sama demi yang dicintainya. Bahkan jika aku berada di posisi yang sama dengannya, aku tetap akan melakukan yang dia lakukan.

"Kamu gila Din. Hahahahaha...haha...Kamu bisa saja hidup bahagia jika melupakan kakak. Kamu orang paling gila selain kakak, yang pernah kutemui. Haha..."

Suasana hening beberapa detik sebelum Juan melanjutkan celotehannya.

"Aku sendiri selalu memikirkan, apakah aku bisa selalu bersamanya. Bahkan sesuai kata-katamu, aku bisa membuktikan bahwa aku pantas bersanding dengannya, menjaganya." Nada suaranya mulai bergetar, menunjukan kerapuhan yang tidak pernah diperlihatkannya selama ini. "Tapi...Saat ini aku diingatkan oleh waktu. Bahwa diriku tidak akan selamanya bisa bersama kakak. Aku selalu berpikir, siapa yang akan peduli dengannya seperti diriku ini. Saat kakak mengetahui aku sudah tiada... Siapa yang bisa menyelamatkannya..."

Niatku untuk membalas semua ucapannya tidak dapat kulakukan. Anak manja di depanku telah berusaha sekuat tenaga untuk menjaga orang yang dicintainya. Dia berhasil membuktikannya. Ya, aku kalah. Tidak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku lagi.

Juan perlahan melepas cengkramannya, "Awalnya aku iri kepadamu yang akan bisa selalu berada di sisinya kelak. Kini aku tahu bahwa aku tidak sendirian... ada satu orang lagi yang siap mengorbankan apapun demi kakakku...," Anak itu berlutut di depanku, melepaskan bebannya selama ini, apabila saat dirinya tak ada, apa yang terjadi dengan Janette, beban itu tekah diwariskan kepadaku, "Permintaanku.. permintaanku untuk yang terakhir. Kumohon, tolong aku. Tolong selamatkan kakakku! Kumohon..."

Ia memohon kepadaku, menangis putus asa. Sang pemenang, yang tidak mendapatkan kesempatan untuk merah pialanya---melindungi orang yang dicintai, telah menyerahkan kehormatan itu kepadaku.

Pada saat yang sama aku iba, tetapi aneh, cahaya kebahagiaan menghangatkan dadaku. Ini adalah giliranku berkorban untuk sang bidadari, meski saat ini dia sedang atau akan terjatuh kedalam kegelapan

Akhirnya aku menyadari mengapa diriku tak dapat menerima kabar mengenai penyakitnya. Anak ini, seperti diriku. Mencintai Janette. Siap mengorbankan segalanya. Orang yang menjadi kunci kebahagiaan bagi Janette, di lain sisi ia menderita. Mengetahui bahwa waktunya sangat terbatas.

Memegang bahu Juan, aku menjawab permintaannya. "Juan. Aku memahami perasaanmu. Akupun akan melakukan hal yang sama jika menjadi dirimu. Lebih dari apapun, aku menginginkan kebahagiaan bagi Janette. Permintaanmu akan kuterima. "

Melepas bebannya, Juan terus menangis. Aku menemani dengan berdiam di sebelahnya. Adik dari gadis yang kucintai, bocah hebat yang melebihi dugaanku selama ini, rivalku.

Enam bulan kemudian. Juan meninggal dengan tenang. Ia menitipkan seluruh bebannya untuk membahagiakan Janette. Hal yang pasti akan kulakukan tanpa diminta olehnya. Membahagiakan orang yang kucintai.

***

Aku selalu percaya setiap manusia memiliki kemampuan untuk pulih, sedalam apapun penderitaan yang dialaminya. Waktu, akan menyembuhkan sayatan-sayatan dihati seseorang. Begitu pula saat Janette mendengar, menangisi, frustasi atas kematian adiknya. Mungkin awalnya ia akan bertindak diluar perkiraan seperti kata Juan. Tapi aku yakin bisa membantunya pulih.

Itu hanya terjadi saat dia berada di sisiku, tanpa diriku, tidak akan ada yang mengawasi gadis itu lalu mencegahnya berbuat hal-hal yang aneh. Itulah sebabnya hingga kini aku menyembunyikan kepadanya mengenai Juan.

Seperti biasanya, aku pulang ke rumah setelah berlatih. Seorang petugas pos mengantarkan surat dari ibu kota, pesan dari Jannete yang rutin datang seminggu atau dua minggu sekali, ditujukan untuk Juan.

Untuk Juan tersayang,

Bagaimana kabarmu? Baik-baik saja kan?

Jangan terlalu keras berlatih ya. Bagaimanapun kakak sudah menyiapkan segalanya untukmu disini. Tabungan kakak sudah cukup untuk membeli rumah, lalu kita akan tinggal bersama di tempat yang besar.

Apapun yang aku lakukan hanya untukmu. Demi dirimu.

Jangan mengikuti jejakku menjadi petualang ya. Walau kakak tahu kamu ingin melindungiku.

Tapi seperti yang pernah kukatakan saat kita kecil. Hidup mati kita akan bersama.

Petualang adalah pekerjaan yang keras. Aku tak akan sanggup mengkhawatirkan kamu setiap harinya. Jika sampai terjadi sesuatu denganmu karena itu, akan kupastikan hal itu juga terjadi denganku.

Karena rasa sakit yang kamu terima juga akan menjadi rasa sakitku.

Salam sayang, Janette Laterei.

Kuambil sebuah pena untuk menulis surat balasan, menggoreskan tinta-tinta kebohongan demi kebaikan.

Untuk kakak Janette,

Aku telah lebih kuat berlatih dibawah bimbingan Din.

Kakak kapan pulang?

Kakak Din selalu menanyakanmu, ia berharap kamu segera pulang dan menemuinya.

Tertanda, Juan.

Setiap kali Janette mengirimkan surat, aku pasti akan membalasnya dengan berpura-pura menjadi Juan. Terus menyemangatinya, memberikan harapan palsu. Walau aku tahu ini hanyalah seperti membangun sebuah jalan yang mulus menuju jurang. Aku tidak bisa menghentikannya.

Sesekali aku berusaha mengirimkan surat padanya dengan menggunakan identitasku sendiri. Namun tidak ada balasan yang berarti. Hanya sebuah laporan mengenai kemajuan yang dimilikinya, serta pengingat agar aku terus menjaga Juan.

Tidak ada satupun surat yang ditujukan untuk diriku. Aku, adalah orang yang tidak ada baginya. Hanya seorang pemeran pendukung dalam film drama murahan. Meski begitu aku tidak peduli lagi. Aku ingin bisa menjaganya secara langsung. Tugas petualang level A akan lebih mempertaruhkan nyawa.

Aku harus menjaga Janette.

Aku akan melindungi orang yang kucintai.

Dengan cara apapun.

Sebulan sudah berlalu sejak saat itu. Aku memutuskan untuk menyusul tanpa diketahui olehnya. Tentu saja tanpa menghentikan aktifitasku membuat surat kebohongan.

Saat ini dirinya ditugaskan untuk menghabisi gerombolan perampok bersama beberapa petualang bayaran lainnya oleh seorang Duke. Ini adalah ke lima kalinya Janette menyerang markas penjahat. Sebelumnya, Duke yang sama sudah memerintahkan dia untuk menghabisi para perampok di empat markas berbeda.

Aku tidak ingin Janette melakukan pekerjaan seperti ini lagi. Biar kuselesaikan semua ini demi wanita yang kucintai.

Dengan tudung yang menyembunyikan seluruh wajah, sampai mantel yang menutup seluruh tubuhku. Aku menggenggam erat pedang besar ditangan. Berjalan kedalam sebuah bangunan melalui pagar belakang. Setelah beberapa kali dijegal oleh pasukan lawan, akhirnya aku tiba dalam sebuah kamar yang memiliki berbagai perabot mahal.

Targetku adalah gumpalan lemak yang terbungkus oleh selimut tebal. Setelah kutebas, tidak ada kekenyalan daging yang seharusnya kurasakan, hanya kapuk kosong sialan!

"Penjaga! Pembunuh bayaran dari para perampok itu ada disini!" teriak pria buncit yang hanya mengenakan celana pendek dari balik lemari.

"Duke Boran? Maaf sekali tapi semua penghuni bangunan ini sudah tidak bernyawa," jawabku santai.

"Kau! Monster! Kau gila! Tolo-"

Dalam hitungan detik, kepala Duke sudah terlepas dari tubuhnya. Dengan begini, Janette tidak akan terlibat dalam tugas berbahaya lagi.

Tidak kuat menahan semua keasinganku terhadap darah yang berusaha kuacuhkan sejak tadi, kini lututku lemas. Aku mencoba berpegangan pada tembok terdekat. Ini pengalaman pertamaku membunuhi manusia.

Aku tidak boleh pingsan, atau aku akan ditangkap.

"Harus kuat.. demi Janette..."

Walau harus menciptakan lautan darah sekalipun, aku akan melakukannya demi Janette.

***

Dua bulan sudah berlalu. Nama Janette Laterei semakin terkenal karena telah berhasil menumpas lima sarang perampok.

Hujan membasahi kota pada malam yang sunyi. Di sebuah tempat yang terlindung dari rintik air, aku bersembunyi. Suhu tubuh menurun setiap detik, aku tak gentar, tetap awas dan siaga. Beberapa meter dari tempatku berdiri telihat sosok seorang yang mengenakan pakaian kumuh, matanya lelah berkantung hitam, jenggot beserta kumis tumbuh acak, wajah yang tidak terawat.

pantulan wajahku pada sebuah kaca jendela, hampir saja diriku tidak mengenalinya. Entah sudah berapa lama aku fokus mengawasi Janette sampai melupakan diriku seperti ini, karena, ia lebih penting dari apapun bahkan diriku sendiri.

Beberapa suara derap langkah samar terdengar, inilah tamu yang kutunggu.

"Apa yang kau lakukan disini?" sapaku terhadap sosok bayangan itu dari dekat.

"Argh! SIapa kau! Tiba-tiba muncul dibelaka-"

Aku melepas kepala orang itu dari tubuhnya. Sepertinya aku mulai terbiasa menghabisi nyawa manusia.

Beberapa kali percobaan pembunuhan dilakukan oleh kawanan perampok yang dendam terhadap Janette. Mengetahui hal itu, aku selalu bersiaga setiap saat. Satu-persatu para pembunuh bayaran meregang nyawa ditanganku. Setiap harinya, tidak pernah berhenti.

Meski tubuhku sudah sampai batasnya , namun perasaanku untuk melindungi Janette tetap membuatku kuat.

Jelas sudah ini bukanlah urusan para perampok saja. Ada tangan penguasa yang memelihara mereka selama ini. Dengan munculnya seorang Janette Laterei, rahasia besar mereka bisa terbongkar.

Setelah menyelidiki lebih lanjut, kini aku tahu siapa si bos besar. Donalian, salah satu orang paling penting bagi kerajaan Grootania. Juga merupakan penguasa baru Desa Caytre setelah Duke John.

Lagi, aku harus menyelesaikan masalah ini.

***

Sebuah kereta kuda megah berjalan menuju istana melalui jalur penghubung desa Caytre dengan kerajaan. Aku sudah memastikan Donalian berada di dalamnya. Aku sudah membuntutinya berhari-hari sampai kuhapal pola pergerakan orang itu.

Dalam hitungan detik, sesuai dengan keinginanku, keretanya terbalik setelah tersandung oleh jebakan kayu yang sudah kusiapkan. Sebuah kayu besar tertanam secara presisi dengan ujung yang dicat sewarna rerumputan hingga tersamar. Saat roda kereta mengenainya, perjalanan mereka berakhir sudah.

Aku melompat sambil menebas badan kereta kayu yang terbalik. Benda itu terbelah dua beserta cipratan darah yang keluar. Selesai sudah, kendaraan kayu itu remuk beserta isinya.

Satu tugas lagi sudah kuselesaika-

Pedang tajam namun cepat berdesing menebas ke arah leherku. Untungnya dapat kuhindari dengan reflek yang terlatih.

Pengendara kuda yang aku kira hanya kusir itu menyingkap jubahnya.

"Aku tahu kamu akan datang membunuhku!" ucap orang itu.

"Jadi kamu yang bernama Donalian? Cerdas. Pantas saja kamu menjadi seorang ahli strategi negara yang bekerja dibalik layar."

"Tuan pembunuh. Saat ini adalah hari dimana hidupmu berakhir."

"Oh ya? Kulihat kemampuan pedangmu tidak dapat menyaingi naluri alami tubuhku loh~"

Pria tua itu mengambil sebuah bola kecil yang bersinar biru. Ia menelannya begitu saja. Firasatku buruk.

Benar saja, seketika aura biru menyelubungi tubuhnya. Dalam sekejap, ia menghilang... tidak, ia berada dibelakangku, berhasil menusuk lengan kiriku dengan pedang runcingnya. Terus mendorongku sampai kami berdua terhentikan oleh pepohonan.

Tangan kananku yang bebas berusaha memukul lehernya dengan pangkal pedang berkali-kali. Percma, tidak ada dampak apapun dari usahaku. Apa otot orang ini terbuat dari baja?

Entah demi memberikan tusukan berikutnya atau hanya untuk mengampuniku sesaat, ia mencabut pedangnya. Saat ini yang terpikirkan olehku adalah lari. Aku terus melarikan diri ke tengah hutan. Kecepatannya memang dapat mengejarku, namun tidak di dalam hutan. Selain kecepatan, setidaknya dia harus memiliki kemampuan membaca pola pohon serta medan tanah yang tidak beraturan untuk bisa mengejarku.

Bersembunyi diantara dedaunan pohon telah menyelamatkanku. Melihatnya dari kejauhan, aku menyaksikan pemandangan yang mengerikan.

Orang itu berteriak keras sekali, seolah kesakitan. Aura biru yang meluap kini memakan tubuhnya sendiri. Sampai seluruh daging dan tulangnya habis terbakar.

"Mengerikan..." gumamku.

Akhirnya selesai sudah. Sekali lagi aku berhasil menyelamatkan Janette.

Pandanganku kabur akibat kehilangan banyak darah, disusul lenyapnya tenaga dari tubuh, lalu akupun terjatuh dari atas pohon.

Haha... apa sampai disini saja perjalananku melindungimu?

Tidak apa-apa, karena semua penghalang sudah kuhancurkan. Kamu bisa pulang dan menikmati kehidupan indahmu di...

Sialan! Gadis itu tidak akan pernah bisa bahagia tanpaku. Ia akan terlarut begitu dalam karena kesedihan, akhirnya mati percuma.

Dengan darah yang terus bercucuran dari lenganku, ditambah tulang-tulang rusuk yang patah, rasanya sangat menyakitkan. Tapi aku tetap terus merangkak, seseorang... siapapun... aku ingin hidup, aku ingin melindungi Janette.

"To... tolong..."

Dalam kesadaran yang memudar, aku melihat sosok yang tidak asing. Seorang gadis bertubuh kecil dengan rambut emas bersinar bak bidadari. Dia menghampiriku, memanggil-manggil namaku.

"Din! Din bangun!"

Janette...

Ya, dia adalah Janette yang aku sayangi. Aku selamat, tetapi harus menghadapi apa yang akan terjadi saat dia mengetahui mengenai Juan.

avataravatar
Next chapter