4 Ch 3 [Silly Adventurers III] : Hubungan tak bercelah

Setiap orang yang mendekati ajal, akan melihat kilas balik kehidupannya.

Desa Caytre. Sebuah pemukiman kecil yang terkenal subur, panen gandum berlimpah, perternakan besar, sampai tingkat produksi pandai besi dengan kualitas tinggi. Penduduk desa tetangga pun dibuatnya iri sekaligus kagum.

Dikenal sebagai salah satu wilayah milik seorang Duke bernama John Laterei yang juga seorang pedagang. Pencetus sistem sewa tanah untuk mereka yang kehilangan tempat tinggal akibat perperangan, itulah yang diketahui oleh orang pada umumnya.

Sayangnya, apa yang terdengar berbanding terbalik dengan kenyataan. Nyatanya Duke John mengambil alih wilayah tersebut atas nama kerajaan. Dia mengancam akan mengusir ratusan penduduk desa jika mereka tidak mau bekerja untuknya.

Dampak dari keserakahan Duke, sebanyak apapun hasil yang diproduksi oleh penduduk, semuanya hanya akan menambah kekayaan penguasa melalui pajak tinggi alih-alih bayaran atas sewa tanah mereka. Ya benar, status kepemilikan tanah rakyat kecil dirampas bangsawan kerajaan begitu saja. Lalu mereka diwajibkan membayar sewa atas tanahnya sendiri.

Penduduk asli tempat itu diperlakukan layaknya budak tanpa kebebasan. Hidup hanya untuk bekerja.

Tesebut lah Din Steelfold, anak salah satu pandai besi desa Caytre. Seperti hari-hari sebelumnya, anak berumur sepuluh tahun itu sedang membantu Tim Steelfold, ayahnya, untuk menempa material logam sampai menjadi sebuah alat pembunuh.

"Din, ambil logam panas itu. Kelihatannya sudah cukup untuk dibentuk."

Tanpa membuang waktu, ia segera mengambil bongkahan logam menyala menggunakan pencapit panjang besar dari tungku perapian. Tim mengangkat palu besarnya bersiap menempa logam panas itu.

Suara ketukan pintu dari luar memecahkan kosentrasinya, membuatnya kesal. Tim berdecik lalu membukanya dengan kasar.

"Toko Pandai Besi Tim sedang tutup!" bentaknya pada sang tamu.

Ternyata pengganggu tersebut adalah Duke John.

"Selamat datang tuan, ada yang bisa kami bantu? Ahahahaha. Din, minta maaf lah karena sudah bersikap kasar pada Duke!"

"Hah!??"

"Cepat Din."

Din memasang raut muka aneh melihat sikap ayahnya tiba-tiba berubah. Kemampuannya melimpahkan kesalahan kepada orang lain patut diacungi jempol.

Biasanya Duke akan mendiskusikan desain senjata terbaru dengan Tim, selaku pemimpin para pandai besi di desa itu. Hal ini sudah menjadi rutinitas harian bagi mereka. Namun kali ini ada pemandangan berbeda yang dilihat oleh Din, tiba-tiba dari balik kaki Duke, anak perempuan mengintip malu. Rambut berwarna emas melingkar pada ujungnya, kulit seputih salju, tersenyum polos melambaikan tangan kearah Din.

Dadanya berdegup kencang, wajahnya memerah panas, isi kepalanya menjadi kosong. Dengan kata lain, jatuh cinta pada pandangan pertama. Din mencoba membalas senyumnya dengan raut wajah yang aneh.

Gadis itu tertawa geli melihatnya.

Belakangan Din mengetahui bahwa nama anak itu adalah Janette Laterei, cinta pertamanya.

Setiap saat ia selalu menunggu kedatangan Janette. Meski hanya bisa berjumpa sebulan sekali, cintanya tidak pernah pudar, malahan semakin dalam. Dia selalu berharap andaikan Janette bisa bertemu dengannya setiap hari. Sebuah doa dari pemuda polos yang sedang kasmaran.

Entah harus senang atau berduka. Pada umurnya yang kelima belas, keluarga Laterei hancur berantakan. Duke John dieksekusi kerajaan karena terbukti telah melakukan korupsi.

Desa Caytre diambil alih oleh pemerintah. Tidak ada perubahan berarti berhubung hasil pajak yang semula dikorupsi oleh Duke John, kini dialirkan untuk dana perang. Keluar dari mulut singa, masuk ke mulut buaya.

Kini Janette bersama adiknya Juan sudah tidak memiliki apapun lagi. Hanya Toko Pandai Besi Tim lah tempat yang bisa terpikir olehnya untuk mendapatkan bantuan.

"Ayah... mereka, anak Duke masih menunggu diluar,"

"Hah! Biarkan saja. Selama bertahun-tahun aku harus menjilat kaki orang itu. Kini sudah tidak ada alasan bagiku untuk peduli dengan hal yang berhubungan dengannya," balas ayah Din sibuk membereskan peralatan pandai besi.

"Tapi ini musim dingin. Mereka tidak akan dapat bertahan."

"DIAM. Sejak kapan kamu berani membentakku?"

Tidak menghiraukan perkataan ayahnya, dia mengambil beberapa selimut lalu pergi menuju pintu keluar.

"Din! Diluar dingin sekali, kamu bisa sakit!"

"Ayah khawatir padaku?"

"Jelas, kamu anakku!"

Mendengar jawaban Tim, anak itu tersenyum. Dengan wajah penuh keyakinan dia menjawab.

"Mereka temanku. Aku khawatir pada mereka,"

Tim menepuk wajah dengan telapak tangannya yang besar. Menghela nafas, menyatakan dirinya menyerah. Seolah-olah seperti keberatan, dalam hatinya timbul rasa bangga sudah membesarkan seorang laki-laki sejati yang berani menyuarakan pendapatnya.

"Baiklah, suruh mereka masuk."

Din mengangguk, lalu segera menghampiri kedua anak Duke John.

Berhasil! Aku bisa selalu dekat dengan Janette. Pikir Din sambil senyum-senyum malu kasmaran.

"Bocah goblok... baru saja mau kupuji, belum beberapa menit mukanya sudah mirip kera mesum... " gumam Tim memperhatikan anaknya, sambil ikut tersenyum memikirkan betapa mirip anak itu dengan dirinya.

***

Beberapa bulan sejak menumpang tinggal di rumah Tim. Janette tidak memerlukan waktu lama untuk beradaptasi. Walau awalnya tidak bisa melakukan apapun lantaran bekas anak orang kaya, kini ia adalah seorang pemburu handal.

Wanita itu menarik anak panahnya, dengan tajam matanya menatap sebuah apel yang berjarak seratus meter darinya. Perlahan dia menarik nafasnya dalam-dalam, disela keheningan sejenak, anak panah terlontar dari busurnya begitu tinggi seolah akan meleset. Namun sebaliknya, sasaran terbelah dua akibat terjangan panah

Janette.

"Bagus Janette! Tepat sasaran!" Puji Din sambil menepuk tangan.

"Hebat. Kakakku memang luar biasa," tambah Juan.

"Terima kasih, aku sempat gugup loh," balas Janette sambil menyeka dahinya.

Gadis itu menghampiri Juan lalu mengelus kepalanya. Tersenyum sambil bercakap-cakap dengan adiknya, kulit putih memantulkan cahaya matahari, kilau rambutnya tidak tertandingi. Membuat Din terpukau, tanpa bisa mengutarakan kekaguman yang terbesit dalam hatinya.

Cantik... sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya. Kini dirinya bersinar kembali. Bisakah aku memiliki bidadari ini? Aku hanyalah anak seorang pandai besi. Apakah diriku pantas bersanding dengannya?

Motivasi tersebut membuatnya menjadi semakin giat mempelajari ilmu pembuatan senjata.

Sejak saat itu dia dengan tekun membantu ayahnya. Bahkan pekerjaan-pekerjaan besar pun sudah diserahkan kepada pandai besi muda itu. Din dengan semangat tinggi memasukan material logam kedalam tungku api.

Aku akan menjadi pembuat senjata yang hebat. Lalu membawa Janette untuk tinggal di ibu kota agar bisa hidup lebih layak. Kemudian kita akan meni-

Khayalan yang dimilikinya terganggu. Tubuhnya terdorong menuju tungku api, membuat kedua tangannya menyentuh bara panas.

Mendengar jeritan seseorang, para tetangga berdatangan untuk mengetahui apa yang terjadi. Sementara Tim berusaha melakukan pertolongan pertama kepada anaknya. Berita mengenai kecelakaan pada Toko Pandai Besi

Tim mulai jadi bahan gosip, menyebar begitu cepat.

Pintu terbuka kencang. Tanpa menghiraukan nafasnya yang berantakan, Janette bertanya histeris.

"Juan! Juan kamu tidak apa-apa?!" Teriaknya panik memeluk Juan.

"Aku baik-baik saja kak."

"Syukurlah..." Air mata gadis itu mulai menetes.

Tidak sedikit pun dia menyadari kondisi Din yang terduduk dengan perban pada kedua tangannya.

"... yang terluka, ada disini... " celetuk Din pelan.

Bukannya dia tidak menyadari sikap Janette yang begitu terobsesi pada adiknya. Malahan, karena dirinya tahu hal itu. Din selama ini menggunakan Juan untuk memotivasi gadis pujannya.

Setiap Janette kehilangan arah, dia selalu membakar semangat gadis itu, alih-alih untuk bisa menciptakan kehidupan yang layak bagi adiknya. Karena dia sangat tahu, yang ada dalam pikiran pujaannya itu hanyalah Juan.

***

Juan Laterei, adik dari Janette. Kini berumur empat belas tahun. Memiliki wajah cantik, bermata bulat besar seperti kakaknya dengan rambut emas ikal, sampai terkadang orang akan mengira bahwa dirinya adalah perempuan.

Sepanjang hidupnya selalu dimanjakan oleh Janette. Lantaran sudah tidak memiliki ibu sejak dilahirkan, ditambah menghilangnya sosok ayah. Juan semakin tergantung oleh keberadaan kakaknya, seolah dia tidak membutuhkan apapun di dunia ini kecuali Janette.

Melihat bagaimana Din membuka pintu baru bagi hidup Janette, ia merasa cepat atau lambat mereka pasti akan berpisah. Membuat Juan memendam kebencian, seolah-olah pria itu akan merebut kakaknya.

Saat melihat Din bersemangat mempelajari teknik pembuatan senjata. Dirinya yakin, bahwa perpisahan dengan Janette akan semakin terwujud. Dia hanya menginginkan kakaknya berada di sisinya. Tidak peduli apapun yang akan terjadi.

Tanpa berpikir panjang akhirnya dia melakukan hal yang cukup nekat, mendorong Din. Berharap orang yang dibencinya itu tidak akan bisa membuat senjata lagi. Juan puas telah berhasil melukainya. Sampai-sampai dirinya tidak menyangka bahwa ia dapat tersenyum sinis ke arah Din untuk menyatakan kemenangan.

Tak lama kemudian. Perasaan bersalah dan takut terus menghantuinya. Bagaimana jika sang kakak mengetahui kelakuannya, apakah dia akan dibenci? Selain itu jika Din melaporkan masalah ini, bisa saja membuatnya diusir dari desa.

Akibatnya hari-harinya dipenuhi oleh kebingungan.

Saat ini pun dirinya sedang bersembunyi di sebuah lumbung gandum sambil meringkuk dengan penyesalan. Hal yang dilakukannya setiap Janette sedang pergi.

"Jadi di sini tempatmu bersembunyi?"

Mendengar suara tersebut ia kaget lalu segera masuk di antara tumpukan jerami.

"Oi, tenang saja. Aku tidak marah kok."

Walau Din mengatakan hal itu, Juan tetap tidak mampu menyembunyikan ketakutannya. Dia tetap diam.

"Juan, keluarlah. Aku tahu kamu lah yang mendorongku beberapa waktu lalu. Kamu laki-laki kan? Jangan jadi pengecut! Kita selesaikan secara jantan. Dasar tidak berguna, cepat atau lambat, kakakmu tercinta akan jatuh dalam pelukanku."

Mendengar provokasi, Juan tergerak. Dia merasa hal ini memang harus diselesaikan. Bahwa dirinya harus berani mengatakan kepada Din agar dia tidak merebut kakak tersayangnya. Bahkan jika dirinya harus berkelahi sekarang, sebagai laki-laki harga dirinya tidak mengizinkan kakaknya direbut tanpa perlawanan.

Dengan kaki gemetar, Juan melangkah perlahan dari tempat persembunyiannya. Tangannya mengepal kuat.

"Jangan... kau rebut..."

"Hah? Apa katamu? Aku tidak mendengarmu loh! Dasar banci," respon Din yang semakin menyulut amarah Juan.

"Jangan kamu ambil Janette dariku!" Anak itu mengarahkan pukulan kearah Din.

Tentu saja pukulan lembek dari anak manja tidak akan melukai seorang yang ototnya terlatih selama membuat senjata.

Berusaha menghindari luka pada tangannya yang belum sembuh, Din menendang ulu hati Juan. Anak itu tersungkur kesakitan memegangi dadanya. Sesak nafas membuatnya tidak bisa berkata apapun.

"Jika memang kamu ingin bersanding dengan kakakmu. Jadilah orang yang pantas untuk itu. "

"K...kau... tidak pantas mengatakan hal itu... apa yang kamu tahu... dari hubungan kami?"

Tanpa ekspresi, Din mendekati Juan. Dia berjongkok di depannya lalu menjenggut rambut anak itu sampai wajah mereka bertatapan.

"Kalian memang sangat dekat. Tapi jika suatu saat Janette membutuhkan orang yang akan melindunginya, kemampuanku sudah cukup untuk bisa melakukan itu. Kau, bisa apa?"

Setelah mengatakan hal tersebut, Din berjalan keluar dari lumbung gandum, sekali meludah. Makian terdengar keluar dari mulutnya.

"Sampah."

***

Setahun lebih berlalu.

Janette sudah mendapatkan balasan atas pengajuan profesi sebagai petualang. Sebelum berpisah untuk waktu yang cukup lama, Din bertekad menyampaikan perasaannya. Sekumpulan bunga putih sudah siap dalam genggamannya. Merupakan sebuah tradisi desa Caytre, dimana saat hendak melamar seseorang haruslah disertai dengan seikat bunga Seruni. Lambang kebahagiaan abadi.

Ditolak, diterima, ditolak, diterima. Aku sudah tidak bisa lebih lama menunda hal ini. Jika nantinya dia menemukan orang lain yang disukainya di kota, matilah aku. Tapi bagaimana jika ditolak? Ah! Pikiranku kacau.

Berhenti di depan pintu yang sedikit terbuka, tubuhnya menjadi kaku.

Ya, tersenyum. Aku harus tersenyum! Masuk dengan senyum yang ramah dan membuatnya nyaman.

Dia mencoba memasang wajah penuh pesona sebelum membuka pintu itu lebar-lebar. Matanya melirik sebuah hiasan zirah mengkilap di dekat pintu kamar yang memantulkan bayangan wajahnya.

Menjijikan. Pikirnya setelah melihat wajahnya sendiri, akhirnya ia membatalkan rencana senyum pesona.

Sementara Janette memilih baju yang akan dibawa bersamanya, Juan mempersiapkan peralatan berpanah kakaknya.

"Juan, kudengar kamu akhir-akhir ini rajin berlatih pedang,"

"Ya," balasnya singkat sambil mengikati anak panah.

"Apa karena Din yang mempengaruhimu?"

Pemuda itu mengangguk kecil.

Janette menghampirinya. Tangannya menyentuh otot dada Juan, lengannya, kemudian berakhir memegang pundaknya.

"Juan. Kamu benar-benar luar biasa. Tubuhmu menceritakan bertapa kerasnya kamu berlatih... tapi, kamu tidak perlu menjadi petualang sepertiku. Biarkan kakak yang akan menyediakan tempat bagimu."

Juan menunduk. Kata-kata Janette tersebut biasanya akan membuat dirinya senang. Namun tidak kali ini. Dirinya memikirkan siapa yang kelak akan melindungi kakaknya jika bukan dia? Sepintas wajah Din terbayang di benaknya.

"Kak! Aku ingin bisa melindungimu! Seperti Din yang selalu ada untukmu..."

"Sttt," Janette menyentuh bibir anak itu dengan jarinya, "keberadaanmu sudah cukup untuk membuatku bisa hidup, Juan. Kamu tidak perlu menjadi seperti dirinya."

Mendengarnya, Juan menunduk tersipu.

"Kak, kamu tahu? Din, mencintaimu..."

Janette terdiam, tidak memberikan jawaban pasti. Tak menunggu jawabannya, Juan kembali memberikan pertanyaan, "Lalu, apa kakak akan membalas perasaannya?"

Janette menggelengkan kepala. Tersenyum memandang bintang dari balik jendela.

"Juan, kamu pasti sudah mengerti. Tak ada yang lebih kupikirkan daripada dirimu. Aku berharap kita tidak dilahirkan pada keluarga yang sama. Jika begitu, mungkin jika kamu yang mencintaiku... aku akan bahagia sekali."

Dari balik pintu, Din mencengkram tangannya sendiri. Dia sudah tahu, lebih dari siapapun. Tak pernah perasaannya terbalaskan. Tetap saja, baginya selama ini selalu ada harapan untuk bisa menjadi kekasih gadis itu.

Namun mendengar perkataannya terhadap Juan barusan. Akhirnya dirinya sadar bahwa tidak ada tempat baginya di hati Janette. Hubungan kedua bersaudara itu memang tidak normal. Tapi tidak pernah terpikirkan olehnya bahwa tingkat kegilaan mereka sampai sejauh ini.

Terlepas dari itu, amarahnya mulai meluap. Din berlari sekuat tenaga, keluar dari Toko Pandai Besi Tim. Menyelusuri jalan setapak pedesaan.

Aku sudah tahu dia tidak pernah memiliki perasaan padaku! Aku sudah tahu sebanyak apapun aku berada di sisinya, dia tidak pernah menganggapku sebagai seseorang yang bisa menjadi pendampingnya.

Jalan halus yang dilaluinya mulai menghilang tergantikan oleh rumput-rumput liar.

Tapi mengapa, mengapa aku terus membantunya. Mengapa aku terus berada di sisinya. Bahkan walau pada akhirnya dia tidak pernah menganggapku!

Ini sangat... memuakkan...

Din terus berlari sampai tiba ditengah-tengah sawah. Berteriak mengungkapkan kekecewaannya.

"Kalian berdua brengsek. Dasar gila!"

Nafasnya mulai habis. Mengentikan larinya, ia merebahkan diri ke persawahan yang dingin.

"Ditolak sebelum sempat menyatakan apapun huh?" Gumamnya. "Ahahahaha... bodoh... aku merasa bodoh..."

***

Esoknya, hari keberangkatan telah tiba.

Gadis itu siap melebarkan sayapnya ke dunia yang luas. Kakinya melangkah keluar Toko Pandai Besi Tim. Dia melihat papan kecil bertuliskan 'Toko Pandai Besi Tim', mungkin ini adalah terakhir kali dia dapat melihatnya.

"Janette! Jangan kelamaan berpetualang diluar sana! Ahem, bagaimanapun, sekarang ini adalah rumahmu," tegur Tim.

Din yang baru saja kembali melihat Janette sedang bercakap-cakap dengan Juan dari kejauhan. Matanya merah dan sembab akibat kurang tidur. Kegelisahan membuatnya tidak mengantuk. Ini adalah hari terakhir dia bisa bertemu Janette.

Tidak ada harapan. Kata-kata itu terus terulang dalam benaknya. Meski begitu, ia tidak bisa berhenti menyukainya, mencintainya. Setidaknya, dia bisa bertemu Janette sebelum berpisah untuk waktu yang lama.

Dia menepuk pipinya dengan kedua tangannya.

"Oke! Saatnya mengucapkan perpisahan dengan sang tuan putri."

***

Ditengah-tengah persawahan, sebuah pedang bambu terayun berkali-kali menghasilkan bunyi berdesing yang khas. Tangan dengan bekas luka bakar pada kulit menggenggam erat pangkalnya. Menjadi pondasi dari setiap serangan yang dilancarkan kearah ruang kosong.

Trauma dengan api membuatnya tidak mampu berlama-lama berada di tempat pembuatan senjata. Akhirnya sejak saat itu, Din terus berlatih mengayunkan pedangnya. Otot-ototnya tampak besar, setiap tebasannya bertenaga dan memiliki presisi tinggi. Bisa dikatakan dirinya memiliki kemampuan diatas rata-rata.

Demi menjadi pendamping yang pantas bagi Janette, seorang gadis petualang berbakat, motivasi itu yang menjadi tujuannya berlatih selama ini. Din sangat percaya diri tidak ada penduduk desa yang lebih kuat darinya. Tetapi itu saja belum cukup, ia membutuhkan uji coba atas keyakinannya. Melawan orang yang kuat, dimana dia tidak mau kalah oleh orang itu.

Seseorang yang memiliki perasaan sama dengannya yaitu untuk melindungi Janette. Jika memang sosok tersebut tidak ada, maka ia sendiri yang akan menciptakannya. Itulah sebabnya Din memacu semangat orang itu dengan memberikan penghinaan, merendahkan, melecehkan targetnya.

Sesuai harapan, kini buah yang belum masak mulai menunjukan hasil manisnya. Berguru dibawah bimbingan petualang terkuat yang sesekali singgah bernama Zeal, anak yang diawasi oleh Din memperlihatkan perkembangan berarti. Din berlatih sekuat tenaga, seolah-olah tidak ingin kalah darinya, ia hanya ingin membakar semangat untuk menghancurkan buah masak ciptaannya.

Saatnya pun telah tiba.

"Jadi akhirnya kamu datang juga, hah?" Ucapnya pada pemuda yang menghampirinya.

Pemuda itu juga menggenggam sebuah pedang. Posturnya kini sudah terlihat jauh lebih tegak, bukti hasil latihan keras yang diberikan oleh salah satu petualang ternama.

Dia mengacungkan pedangnya ke arah Din.

"Din Steelfold! Aku menantangmu bertarung!" Teriaknya.

Din tersenyum. Ini adalah ujian yang dinanti-nantikan, untuk lebih meyakinkan dirinya bahwa ia pantas bersama Janette. Rintangan kecil, tapi berarti, yang harus disingkirkan dengan segera olehnya.

Kedua pemuda itu saling berhadapan dengan pedangnya masing-masing. Mereka mulai memasang kuda-kuda bertarung. Saling memandang satu sama lain.

Din sudah mengakui kemampuan Juan. Walau dirinya tetap lebih unggul, sebuah kesalahan kecil akibat meremehkan lawan bisa saja menyebabkan dirinya kalah. Terlebih lagi kemajuan anak itu termasuk pesat.

Sementara Juan mengetahui benar bahwa orang di depannya adalah monster. Kapanpun, dimanapun, Din selalu berlatih. Mulai dari mengayunkan pedang, sampai menggunakan beban di tubuhnya, setiap saat. Hal yang tak akan bisa dilakukan pria bertubuh kecil sepertinya. Tetapi dia tidak putus asa, Juan tetap berlatih memaksimalkan kelebihannya sendiri. Gaya yang berbeda dengan Din - yang mengandalkan kekuatan. Ia lebih memusatkan kemampuan pada teknik dan kecepatan.

"Din, apa kamu berani jika kita membuat sebuah pertaruhan?"

"Hah? Pertaruhan apa?"

"Siapa yang kalah harus mengabulkan permintaan yang menang, apapun itu."

Din geli mendengar pengajuan bodohnya. Jelas peluangnya menang lebih besar. Harga dirinya tidak mengizinkan celah sama sekali untuk memberikan kesempatan menang kepada Juan, bahkan walau andai kemampuan mereka setara.

Setelah memenangkan pertarungan ini, aku akan meminta dia agar membantuku bisa dekat dengan Janette.

Tentu saja, sebenci apapun aku dengannya. Dia adalah adik yang disayangi Janette.

"Tentu saja aku menerimanya. Tidak ada jalan mundur loh!"

Mendengar balasan lawannya, Juan terlihat puas.

"Kalau begitu ayo kita mulai! Hiaaaah!"

Juan melesat cepat kearah Din.

"Mencoba menyerang frontal? Kamu berbuat kesalahan, bocah." Ejeknya dengan sombong sembari bersiap menyambutnya.

Mendadak Juan menghilang dari pandangan. Juan yang semula terlihat hendak menghantamnya dari depan, ternyata menjatuhkan pinggangnya secara tiba-tiba sambil memutar pedang kearah kakinya. Sebuah serangan berputar dari tubuh kecil ringan yang mendadak sudah berada di bawah.

Dengan hasil latihannya selama ini, Din berhasil menangkis serangan kejutan.

Gagal mengenai Din. Anak itu kembali bergerak lincah. Tendangan tiba-tiba menyasar dagu Din.

Kehilangan keseimbangan akibat menghindarinya, pertahanannya Din terbuka. Juan tidak membuang kesempatan itu dengan beputar secara vertikal lalu menyabet Din dengan pedangnya.

Sayang serangannya kembali ditangkis.

Membuang ludah karena kesal, Din mengambil kerah Juan lalu melemparnya. Selagi anak itu berada di udara, dia segera melompat, menghajarnya dengan lutut.

"Menyerahlah bocah. Kamu sudah kalah," teriaknya kepada lawannya yang sedang kesakitan di tanah.

Beberapa saat anak itu menatap wajahnya dengan penuh amarah. Lalu kembali melesat dengan cepat, berputar dengan jarak hampir menyentuh tanah. Pedangnya mengincar paha Din, tentu saja berhasil ditangkis.

Namun target sebenarnya bukanlah menebas lawannya. Juan berhasil meraih kaki pria itu lalu menjatuhkannya. Kemudian ia menaiki dada pria itu sambil menghunuskan pedang ke kepala lawannya.

Pedang ditusukan ke arah mata Din. Tepat sebelum mengenainya, pria itu berhasil membuat arah serangan bergeser dengan pangkal senjatanya sehingga pedang Juan malah menusuk tanah.

Segera, setelah itu dia memukul wajah Juan sampai terhempas, tangannya melepas pedang yang masih menancap.

Tepat sebelum tubuhnya menyentuh tanah. Seperti kucing, Juan memutar badannya hingga kaki beserta tanganya menapak ke bawah. Mengambil momentum tersebut, dia melontarkan tubuh untuk mengambil pedangnya.

"Kau sudah kalah. Keras kepala sekali, segitu inginnya kamu mencegahku mendekati kakakmu?" bentak Din sambil berusaha bangun.

Kembali membetulkan posisinya, Juan memasang kuda-kuda. Lalu dia berteriak sambil menyerang, "akulah yang akan menjaga dan melindunginya. Tidak ada yang bisa mencintainya seperti diriku."

"Aku juga mencintainya! Aku bisa menjaganya!" Teriak Din sambil menghantam pedang Juan sampai lawannya itu terjatuh.

Membalas kekalahannya barusan, dia kembali menyerang Din. Bukan dengan sebuah serangan yang kuat, namun cepat, bertubi-tubi, mengarah ke titik vital. Membuat Din kewalahan dalam menghalaunya.

"Omong kosong! Kau lebih tahu dari siapapun Din! Cintamu itu egois, kamu ingin dia menjadi seperti apa yang kamu mau! Ingin menjadikan dia milikmu! Lalu apa!? Membahagiakannya? Kau... apa kau akan tetap mencintai Janette walau perasaanmu tidak akan pernah terbalas? Apakah kamu bisa mengorbankan segalanya, dirimu, nyawamu untuknya?! Bahkan walau kau tahu kalian tidak bisa bersama?!" Serangan Juan semakin keras dan cepat bersamaan dengan teriakannya, "Kau tidak mengerti sama sekali!"

"Lalu apa anak ingusan sepertimu mengerti perasaanku yang bertepuk sebelah tangan?!" Balas Din sambil kembali lagi membuang serangan yang menghempaskan senjata beserta tubuh lawannya.

"AKU LEBIH MENGERTI LEBIH DARI SIAPAPUN!! "

Tusukan pedang menembus pertahanan Din menuju kearah lehernya. Sesaat sebelum urat nadinya putus tertusuk oleh pedang, serangan berhenti.

Juan memenangkan pertarungan.

Terguncang, keyakinan tingginya terpatahkan seketika. Semua rencana-rencana yang dirancang setelah menang kini tidak berarti. Din tidak tahu apa yang harus diperbuatnya, kosong, seakan-akan semua jalan hidupnya tertutup. Lebih dari pada itu, bagaimana dia harus mempertahankan harga dirinya?

Meski ia terus mencari-cari alasan dari kekalahannya tetapi percuma. Pada akhirnya Din harus menerima. Pemuda yang dia aggap sampah, kini berhasil membuktikan kekuatannya. Jika demikian, bukankah artinya yang sekarang menjadi sampah adalah dirinya sendiri?

Kali ini dia tertawa. Dengan lantang menertawakan kondisinya yang menyedihkan. Dewa telah menunjukan seperti apa hukuman bagi manusia sombong.

"Baiklah kamu menang. Aku akan menuruti apapun katamu, mungkin seperti menjauhi Janette selamanya. Atau bahkan membunuh diriku sendiri. Kalah oleh mu? Cuih! Aku sudah tidak memiliki alasan untuk hidup. Setidaknya Janette memilikimu yang bisa menjaganya."

Juan terdiam, berdiri memandanginya tanpa ekspresi. Tidak ada apapun yang tersirat dari wajahnya.

Din mengira dirinya siap menerima semua hukuman apapun, mencoba mengasihani diri dengan cara yang menjijikan, apalagi penghinaan dari Juan, membuatnya resah.

"Pria yang menyedihkan... "

"CEPAT KATAKAN PERMINTAANMU!" Bentak Din tidak bisa menerima hinaan tersebut, berharap kejadian ini berlalu begitu saja tanpa sempat melukai harga dirinya.

Tidak seperti pria di depannya. Sang pemenang tetap tenang walau sudah menerima bentakan. Matanya menatap dingin. Terlihat tidak memiliki emosi atau perasaan. Bagai pembunuh berdarah dingin.

***

Kenangan yang muncul secara acak pada ingatan Din telah berakhir, dan kini dirinya harus kembali menghadapi kenyataan. Pertarungan hidup mati melawan Janette.

Tangan gemetar berusaha tetap mencengkram gagang pedang, memperlihatkan sebuah gejolak dalam hatinya, membuat timbulnya beberapa pertanyaan----Apakah seorang Din memang sudah siap bertarung hidup mati dengan Janette?

Bukankah dirinya adalah seorang pemuda yang memiliki tekad melindungi pujaan hatinya? Lalu kini ia akan bertukar tebasan untuk saling membunuh, ini adalah hal terkonyol, menyedihkan, seseorang yang seharusnya melindungi pujaannya kini telah berubah?

Tidak. Matanya tetap bersinar penuh tekad seperti biasanya, keyakinan tinggi melindungi wanita yang dicintai, Janette Laterei.

avataravatar
Next chapter