3 Ch 2 [Silly Adventurers II] : Pembunuh

Sang Liger mengintip masa lalu gadis kecil yang tidak berdosa.

Namun itu hanyalah sepenggal cerita yang tidak utuh.

Benak Janette dirasuki oleh kesadaran liger, anak buah sang raja iblis. Gadis itupun melihat waktu seakan berjalan mundur. Ia dipaksa mengorek masa lalu. Titik jatuh dari kehidupannya yang nyaman.

Sebuah rumah bangsawan, suasana khas kehidupan aristokrat dengan pelayan-pelayan yang sibuk membersihkan porselen, atau dengan khusyuk sedang menyapu lantai. Para koki istimewa menghidangkan berbagai santapan mewah, kepala pelayan mencicipi hidangan atau menunjuk-nunjuk bawahannya seakan komando perang. Hal yang tidak bisa dibayangkan oleh rakyat jelata.

Sayang hal tersebut tidak tampak pada ingatan Janette kali ini. Bukan kemewahan tapi kejamnya pasukan istana sedang merampas segala benda yang bisa diambil beserta para pelayan. Dengan arogan mengatakan kepada setiap orang bahwa tempat ini sudah bukan milik penghuninya lagi.

Di kamar pada lantai dua bangunan itu, seorang anak laki-laki berambut emas menangis dalam pelukan Janette. Meski rasa cemas akan masa depan menghantuinya, gadis itu tetap memperlihatkan sikap tegar.

"Tenanglah Juan, kakak akan mencari solusi agar kita tetap dapat hidup."

Terlihat pada raut wajahnya, gadis itu terlihat bingung memikirkan nasib mereka berdua.

Waktu dalam memori tersebut mengalir begitu cepat hingga berpindah ruang waktu.

Kini dirinya tinggal di sebuah rumah sederhana namun layak. Sedang mencoba untuk membersihkan sisa-sisa peralatan pandai besi.

"Hei! Apa yang kamu lakukan!" bentak seorang paruh baya berkumis tebal.

"Maaf, aku hanya mencoba membantu," jawabnya panik.

"Ini adalah medan laki-laki. Yang kamu lakukan tidak ada gunanya dan hanya mengganggu! Pergi dari sini!"

Melompat lagi ke waktu yang berbeda. Kali ini di sebuah ladang gandum berwarna kuning, angin bertiup halus dalam suasana sepi. Janette sendirian duduk pada bangunan kayu sederhana dengan atap jerami tanpa penutup sama sekali di setiap sisinya. Pada tempat itu, Janette memeluk lututnya sambil menangis.

Pemuda berambut hitam jabrik dengan poni runcing pada dahinya terlihat mendekat. Dia berdiri di sebelah Janette tanpa mengatakan apapun. Menggaruk-garuk kepalanya, terlihat sedang mengumpulkan keberanian untuk mengucapkan sesuatu.

"Kalau kamu hanya ingin meledekku, pergi sana!" Tegur Janette kepadanya.

Kesal, kalimat spontan keluar dari mulutnya.

"Itu salahmu sendiri... ngapain main ke tempat kerja ayahku!"

Tidak dapat menyangkal ocehannya, Janette hanya bisa terdiam. Tak lama setelah suasana hening muncul diantara mereka, pemuda itu kembali bicara, kali ini dengan nada lebih lembut. "... maksudku..maafkan ayahku. Dia memang galak untuk urusan pembuatan senjata, tapi diluar itu dia sangat baik."

"Aku sudah tahu! Mungkin benar seperti celaanmu selama ini. Aku adalah tuan putri tidak berguna. Mungkin memang aku dilahirkan tidak berguna."

"Hah... tuan putri yang manja, aku selalu... maksudku, aku dapat melihat kekuatan dalam dirimu. Bukan Janette ini yang selama ini ku kenal... "

"Aku tidak mengerti, aku seperti apa lagi yang ada di dalam bayanganmu? Bukankah kamu selalu mencela diriku dengan sebutan tuan putri belagu, wanita yang egois, atau perkataan tak pantas lainnya?"

"Justru itu! Dimataku... Janette adalah wanita hebat, seseorang dengan kedudukan tinggi, karena itu, tidak seharusnya kamu menunjukan kelemahan seperti ini... oke, sesekali seperti ini di depanku tidak apa, tapi bangkit lah, tunjukan sosok wanita kuat yang kukenal..."

Janette merenung, memikirkan pujian-pujian untuk dirinya. Janette sadar bahwa dirinya berbeda dari kebanyakan rakyat jelata. Posisinya, meski sudah direnggut, darah biru miliknya tetap menurunkan bakat-bakat berkelas. Tetapi itu saja tidak cukup untuk menggerakan hati gadis ini, menyadari itu Din menampar pipinya sendiri dengan kedua tangan, mengumpulkan tekadnya untuk berbicara lagi, "Baiklah!"

Tanpa ragu ia memegang pipi Janette dengan kedua tangannya. Matanya berapi-api. Terlalu bersemangat sampai seluruh wajah gadis itu dipaksa mengumpul ke tengah-tengah antara kedua tangan Din, seperti ikan koki.

"Janette, dengar. Setiap orang dilahirkan dengan bakat masing-masing. Kamu hanya belum menemukan hal itu."

"Din.."

"Sekarang kamu pikirkan, apa bidang yang kamu sukai?"

"Aku tidak yakin aku berbakat dalam hal ini, tapi aku suka belajar memanah. Waktu ada kursus memanah dari ayahku, aku sangat menyukainya."

"Baiklah. Selanjutnya, apa yang memotivasimu untuk maju? Mendapatkan penghasilan tinggi, apa yang hendak kamu lakukan dengan itu? Bukankah kamu bisa membeli tanah dan rumah yang layak untuk dirimu dan Juan?"

Janette mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Lalu Din melanjutkan kata-katanya.

"Aku akan membantumu. Aku selalu ada di sisimu. Pertama, kamu harus mengasah kemampuan memanahmu lalu jadilah seorang petualang. Karena aku melihat potensi itu dalam dirimu.

"Seorang petualang bisa mendapatkan banyak penghasilan dengan mengambil permintaan-permintaan Guild. Bahkan jika kamu mencapai peringkat B keatas, negara akan menyediakanmu gaji bulanan yang bisa digunakan untuk membeli rumah."

"Ya, aku harus melakukan sesuatu demi Juan. Ia layak mencapatkan kehidupan yang lebih baik, tapi Din, aku tak bisa melakukan ini sendirian."

"Seperti kataku. Ada aku yang akan membantumu dari belakang."

Janette memeluk Din lalu mengucapkan terima kasih.

Lagi, serpihan memori datang silih berganti.

"Kak Janette, pasti akan kembali kan?"

"Tentu saja Juanku yang manis," balasnya seraya memeluk sang adik.

"Din, kutitipkan Juan padamu," lanjutnya menatap kearah Din.

"Ck, janjiku adalah selalu bersama denganmu. Bukan mengasuh anak manja ini."

"Din!"

"Iya iya. Aku akan menjaga dan melatihnya. Lalu saat kamu sudah memiliki rumah di ibu kota, aku akan kesana bersamanya," tanggapnya terhadap reaksi Janette sambil menggerutu pelan setelah itu, "Cih... sialan."

Janette memukul kepala Din.

"Apa katamu!!"

"Aw.. aduh ampun, maafkan aku tuan putri kasar!"

"Mulutmu yang kasar dasar kuli!"

Lalu mereka beradu mulut. Pemandangan yang biasa terlihat. Meski mereka kerap bertengkar, pada akhirnya Din selalu mengikuti apa yang dikatakan Janette. Membuktikan dirinya selalu ada untuk gadis itu.

Kemudian,

Sebuah ruangan hotel mewah, berisikan lemari berukiran indah, sebuah kasur empuk terlihat mahal dengan renda berlapis sutra

Janette duduk membaca surat-surat yang ditujukan untuknya. Sebagian surat memiliki cap kerajaan, pertanda dokumen negara penting. Sedangkan yang dipegangnya adalah surat pribadi, tanpa simbol apapun.

Surat dari adiknya, Juan.

Dear kakak Janette, aku sedang berlatih pedang bersama Din. Kemajuanku pesat sekali. Walau awalnya berat namun saat ini aku sudah semakin ahli.

Aku ingin menjadi adik yang berguna bagi dirimu. Jangan pikirkan diriku, kakak fokuslah dalam menjalankan misi dari istana.

Biar aku yang akan mengejar kakak ke pusat ibu kota.

Tertanda, Juan.

Selesai membaca, bibir Janette tersenyum. Akhirnya adik satu-satunya sudah mandiri.

Tidak terasa dua tahun sudah berlalu sejak Janette mendaftarkan dirinya ke asosiasi guild sebagai petualang. Dia masih ingat ketika terakhir kali berjumpa dengan adiknya, saat memeluknya sebelum perjalanan jauh.

Janette berjanji akan menyediakan rumah dan pendidikan yang layak untuk saudara kecilnya. Kehidupan yang kurang lebih sama seperti saat mereka masih menjadi bangsawan.

Selama dua tahun menjadi petualang, bukanlah masa yang ringan. Gadis yang dulunya anak manja itu harus bersusah payah untuk dapat diakui sebagai seorang petualang. Berkali-kali semangatnya hancur. Namun mengingat wajah sang adik, yang juga mirip seperti mendiang ibunya. Semua rasa lelah menjadi tidak berarti.

Dia memeluk surat itu menggambarkan bertapa besar rasa rindunya pada Juan.

Ruang dan waktu kembali berganti. Kini suasana berubah suram. Janette berdiri di hadapan Din dengan wajah histeris.

"Apa?! Bagaimana bisa? Din, itu tempat paling berbahaya. Juan tidak mungkin selamat di sana!"

Din menenangkan Jannete dengan menggenggam tangannya erat-erat.

"Janette, kamu tenang saja. Aku akan berusaha mencarinya di Hutan Bamboo."

"Tidak! Aku harus ikut, lebih baik kita kesana berdua kan? Juan adalah adikku, aku yang harus menyelamatkannya." Balasnya

"Janette, satu orang saja sudah cukup. Lagipula, di sana cukup berbahaya, karena itulah-"

"Karena itu aku juga harus ikut! Jika nantinya kamu tidak pernah kembali, bagaimana?"

"Tenang, aku ini cukup kuat untuk ukuran laki-laki desa. Kamu tidak peru mengkhawatirkanku."

"Aku khawatir jika tidak akan pernah ada kabar mengenai Juan!"

Din tampak emosi mendengar jawaban Janette, ia segera menimpalinya, "Kalau aku tidak kembali, berarti aku dan dia telah mati!"

Jawaban tersebut menyulut emosi Janette yang sejak awal sudah meledak-ledak. Gadis itu tak kuasa menahannya sampai menampar wajah Din, "Bagaimana bisa kamu mengucapkan hal itu terhadap Juan!! Aku akan menyelamatkannya, aku akan pergi ke sana!"

Meski awalnya Din terlihat marah, menggertakan giginya juga mengepalkan tangan. Tapi laki-laki itu tidak berniat membalas perlakuan Janette, malahan, ia memberikan jawaban yang membuat Janette tenang, "Baiklah, aku akan menemanimu."

***

Kesadaran miliknya kembali ditarik ke dunia nyata. Dalam sebuah gua di perut bumi dengan beberapa stalaktit hancur, rusuknya yang terasa nyeri, Liger raksasa di depannya.

"Begitu... ya..." ucap liger.

"Apanya yang begitu, liger kurang ajar. Kembalikan adikku!!"

"Sayang sekali... adikmu... tidak pernah ada di tempat... ini."

"Jangan berbohong!"

Induk liger itu menggelengkan kepala, menyerah menghadapi bertapa keras kepala gadis di depannya. Kemudian, sekali lagi Liger tersebut menatap mata Janette untuk menyelami ingatannya.

Kali ini yang dilakukannya adalah mentransmisi ingatannya sendiri. Kesehariannya bersama anak-anaknya, dan bersama si manusia kecil yang bahagia. Tidak ada satu pun Juan muncul dalam ingatan monster tersebut.

Selesai melihat kenangan makhluk buas itu. Janette terguncang.

"Tidak mungkin...kau! A...ah... lupakan itu, lalu kemana Juan sebenarnya?"

Din yang sudah pulih berdiri memegang pedang mengacungkannya ke arah liger. Ia berteriak histeris, terlihat memaksakan diri untuk terlihat emosi, Janette dapat melihat sandiwara yang dilakukannya.

"A-apa yang kamu katakan Janette. Jangan tertipu oleh ucapan makhluk buas itu!"

"Dia tidak menipuku. Dia memperlihatkan semua ingatannya padaku. Dan tidak pernah ada Juan di hutan maupun gua ini!"

Din tebelalak kaget, dari rumor maupun legenda yang ada, tidak pernah terdengar seekor liger bisa menyelami ingatan manusia. Jelas dia tidak mempercayainya.

"Kau!!" Teriaknya kearah Liger dewasa, "kamu itu apa? Kamu pastilah jelmaan iblis yang bisa mempengaruhi manusia!!"

"Din, dia adalah.."

"Cukup... manusia... tidak perlu... beritahu. Semua... pertanyaanmu mengenai... adikmu, laki-laki itu... tahu jawabannya..."

Laki-laki yang ditunjuk oleh liger terlihat panik. Perkataan liger tersebut tepat sasaran seolah menembus dadanya. Matanya bergantian menatap Janette dan kucing raksasa itu, hendak menyangkal namun mulutnya terkunci, bagai tikus yang terjepit.

"Din... apa yang sebenarnya terjadi?" Menghiraukan luka-lukanya, Janette menghampiri Din, tangannya mencekik kerah baju pria itu sekuat tenaga."Din! Ada yang kamu sembunyikan? Dimana Juan? Din! Din katakan!!" dia berteriak histeris di depan mukanya. Matanya melotot panik, urat-urat lehernya terlihat menegang, gadis itu terlihat seperti orang gila.

Rautnya wajah Din berubah marah. Giginya terlihat menyeringai. Menahan semua emosi yang sejak tadi berusaha disembunyikannya. Dia mendorong Janette sampai terjatuh.

"Berisik!!" Bentaknya. "Tidak bisakah kamu menerima kalau Juan sudah mati!?"

Tidak ingin percaya, Janette yang sedang terduduk mempertanyakan kembali mengenai Juan.

"Mati... Juan, mati?"

Sekilas Janette mengingat bagaimana sejak awal pria tersebut melarang dia pergi ke Hutan Bamboo. Selain itu selama perjalanan, beberapa kali Din tampak gelisah saat beristirahat. Terlebih lagi dia berkali-kali meyakinkan Janette kalau Juan sudah mati. Bagi Janette, sudah jelas apa yang telah terjadi pada adiknya.

"Apa yang kamu rahasiakan dariku?" Tanya Janette membidik Din dengan panahnya.

"K-kau! Kau membidik ku?!" Din berkata dengan nada tinggi. Matanya melihat Janette dengan sinis, sikapnya itu membuat amarahnya meluap. Meski dirinya bukan seorang petualang, kemampuannya tidak bisa diremehkan. Diam-diam dirinya berlatih selama jauh dari Janette. Karena itu tidak ada tanda-tanda intimidasi dari Janette berhasil menakutinya. "Kau... kamu pikir anak panahmu bisa melukaiku? Kamu hanyalah Petualang kelas A, tingkat yang diberikan asosiasi guild berdasarkan pengalamanmu menyelesaikan misi. Bukan karena kemampuan bertarungmu."

Menjawab tantangannya, Janette melepaskan anak panah. Disambut oleh tebasan pedang memotong jalur serangannya.

"Adikmu sudah mati. Aku bisa memastikan hal itu," Teriak Din.

"Kau... Kau membunuhnya!"

Pria itu mengepal tangannya erat-erat. Ada perasaan yang membuatnya murka. Menahan apa yang akan keluar dari mulutnya. Setelah pikirannya mulai tenang, dia tertawa. Tawa yang keras menggema ke seluruh gua. Pekikan tawa yang mengerikan, terdengar seperti penjahat.

Janette terkejut melihat gelagat orang itu. Sejak pertama kali mengenalnya, dia tidak pernah melihat sosok Din yang satu ini.

Sementara si kecil mengerutkan dahinya. Kebingungan muncul saat melihat kegilaan orang di depannya.

"Aku benci bagaimana dia selalu menyebut namamu. mengatakan seolah aku akan merebutmu darinya," ucap Din.

Terbakar oleh kata-kata yang didengarnya, Janette melompat kebelakang dengan posisi membidik untuk yang kedua kalinya. "Teganya kamu, kamu merenggut Juan dariku, kamu telah membunuh harapan hidupku, satu-satunya hal yang bisa membuatku bertahan sampai saat ini!"

Tiga anak panah dilepaskan oleh gadis berambut emas kearah Din. Namun dia berhasil sekali lagi menebas anak panah pertama, melakukan langkah zig-zag cepat untuk menghindari dua lainnya. Akhirnya merebut busur Janette sambil mendorongnya kembali sampai dia terjatuh.

"Dan kamu, aku sangat membenci sikapmu yang sama seperti adikmu. Juan, juan, juan, selalu juan!! Padahal aku sudah berusaha agar kamu melihatku. Apa tidak ada hal lain dipikiranmu, Apa tidak ada ak-"

"Tidak ada! Semua hanya untuk dirinya. Karena dialah aku memiliki motivasi hidup sampai saat ini."

Din tidak mampu berkata apa-apa. Dia hanya bisa menggenggam erat pedangnya kuat-kuat. Menundukan kepala. "Dasar kakak beradik sakit jiwa... baiklah, kurasa inilah saatnya aku mengakhiri semuanya. "

Janette mengambil sesuatu dari tas pinggangnya. Sebuah benda bulat berwarna kebiruan, menyala seperti lampu. Walau awalnya ragu, ia tetap memasukkan benda itu kedalam mulutnya.

Melihatnya, Din panik. Telapak tangan kirinya terbuka ke arah Janette, seolah berusaha menghentikannya, "Janette, kubunuh kau jika menggunakan itu!"

Benda itu sudah ditelan olehnya.

Tubuh gadis itu terbalut dalam api biru, sebuah ledakan energi padat sampai kilaunya menyilaukan mata.

Dilapisi olah selaput energi yang terus menerus membara, Janette mengambil pisau belati dari celah sepatunya. Wajahnya dipenuhi kebencian, nafsu membunuh yang luar biasa.

"Aku sudah kehilangan semuanya... karena itu... sekarang yang perlu aku lakukan adalah menghabisi mu!!"

Si kecil terlihat gelisah, bersiap untuk melompat ke tengah-tengah mereka. Dia tidak sanggup membiarkan dua orang yang tadinya akrab satu sama lain seperti sebuah keluarga kini saling menunjukan taringnya.

Tepat sebelum kakinya lepas dari tanah. Ekor raksasa liger menyambarnya.

"Jangan... jangan terlibat urusan para manusia..."

"Tapi, kedua orang itu... seharusnya... mereka... orang baik!"

Liger itu merespon Nidhog hanya dengan menggelengkan kepala. Kepalanya mendekat ke arah telinga anak itu untuk membisikan sesuatu.

"Mereka, sudah... tidak terselamatkan... jika kamu memang... peduli dengannya... kita hanya bisa mengawasi mereka... sampai akhir. Ini.. adalah.. keinginan mereka berdua..."

Kembali menggertakan giginya, dengan tangan bergetar, sorot mata tajam kearah Jannete, suaranya gemetar, "andai saja... andai saja kamu percaya bahwa Juan sudah tiada, berduka untuk beberapa waktu. Lalu dengan tegar kita menjalani hidup bersama..." Senyap, tidak seorang pun menanggapi perkataannya. Sampai akhirnya Din membuat pengakuan.

"Hahahahahaha!! Memang akulah yang telah membunuh adikmu! Kalian adalah adik kakak yang sakit jiwa. Saling mencintai?! Cuih!" hina pria itu membuang ludah sebelum melanjutkan perkataannya, "aku akan mengakhiri hubungan menjijikan kalian, dimulai dari bocah ingusan itu, dan sekarang adalah giliranmu!"

"DIIIIIIIIIN! KURANG AJAR KAU!!"

Teriak Janette sambil melontarkan kakinya sekuat tenaga. Membuat dirinya bergerak secepat kilat seolah sedang berpindah posisi dalam sekejap.

Sedangkan di sisi lain. Ekor kucing raksasa mencengkram si kecil dengan erat. Berjaga-jaga apabila si kecil dengan keras kepalanya tetap ingin menghentikan konflik kedua petualang itu. Sebab anak itu tidak bisa menerima pemandangan yang disaksikannya. Hatinya yang masih bersih dapat melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh Janette maupun Din.

Sementara, menghadapi seseorang yang menggunakan doping sihir, merupakan kekalahan total bagi Din sejak pertempuran dimulai.

Sebuah obat terbuat dari teknik sihir kuno. Berfungsi membuka semua jalan urat sehingga pemakainya dipaksa mengeluarkan seluruh energi sampai habis. Sebuah obat terlarang yang tidak bisa dimiliki sembarang orang. Entah bagaimana Janette bisa mendapatkannya masih menjadi misteri.

Pertumpahan darah antara petualang kelas elit dengan pemuda desa terlatih telah dimulai.

avataravatar
Next chapter