18 Ch 15 [Great General IV] Neraka

Sang jenderal tergesa-gesa membawa para pasukannya. Lembah Shiland, kini hanya berjarak kira-kira dua minggu perjalanan normal, namun dapat ditempuh dalam waktu kurang dari sepuluh hari jika mempertahankan kecepatan pasukan yang dibawa olehnya saat ini.

Menghabisi pasukan Rikedom sebelum mereka mencapai kota Shiland, itulah satu-satunya tujuan Zeal saat ini. Berdasarkan informasi yang dia terima dari Donalian, pasukan Rikedom memiliki kemah di dekat lembah Shiland. Semoga saja dirinya tepat waktu sebelum mereka menggerakan seluruh pasukannya ke Kota Shiland.

"jenderal, kita akan tiba dalam beberapa jam ke perkemahan musuh," ujar salah satu kapten pasukan yang berusaha menyamakan kecepatan kuda mereka.

"Berarti kita pasti sukses menghancurkan mereka sebelum saatnya tiba, apalagi, selama ini kerajaan membiayai pembangunan tembok pertahanan Shiland sehingga akan sangat susah bagi pasukan dalam jumlah besar untuk keluar masuk begitu saja, ini akan cukup mengulur waktu," Zeal menjelaskan alih-alih berusaha menenangkan dirinya sendiri.

"Pantas saja mereka mengincar kota itu, meski jaraknya jauh dari ibu kota tapi akses dari Shiland menuju ibu kota merupakan jalur aman yang sangat lancar, terlebih lagi merupakan benteng pertahanan yang kuat. Andai kota itu berhasil dikuasai, kita akan kesulitan menembusnya," kapten yang berada tepat di sebelah Zeal berusaha memberikan peringatan,

"Begitu juga mereka, karena sistem mekanik gerbang yang rumit, selain sulit ditembus, sekali gerbang itu tertutup maka yang di dalam juga tidak akan mudah untuk--" Zeal terdiam sejenak sebelum kemudian terkejut lantang, " Ah! Keparat! Aku bertahun-tahun mendiami tempat itu, kenapa aku baru menyadarinya sekarang!"

"Ada apa Jenderal?"

Zeal menggigit bibir bawahnya sampai berdarah, amarah memancar dari kedua bola matanya, "Donalian, kali ini kamu sudah keterlaluan. Aku akan membunuhmu setelah semua ini!"

***

Membawa pedang di tangan kanan, Ryn melangkahkan kakinya keluar dari rumah. Gladhir terlihat lusuh, pelindung pada tubuhnya terkoyak. Menggenggam pedang berlumuran darah, beberapa bagian pakaiannya juga penuh dengan noda merah. Tetapi tidak ditemukan satupun luka yang cukup berarti.

"Nyonya, kenapa kamu keluar? Pertempuran sedang terjadi di setiap tempat. Pasukan Rikedom berhasil melewati gerbang yang sedang kita pertahankan mati-matian, dan jumlah mereka semakin bertambah!" Gladhir sedikit marah kepada Ryn.

"Bukankah akhirnya akan sama saja? Cepat atau lambat mereka semua akan memasuki kota ini kan?" Ryn membalas argumen penjaga gerbang itu dengan kritis. Membuat lawan bicaranya mati kata.

Memecah keheningan, Billy menyusul keluar dari rumah dengan membawa sesuatu yang terbalut kain, "ibu, aku sudah membawanya. Apa yang selanjutnya akan kita lakukan?" tanyanya.

Ryn mulai memikirkan bagaimana cara agar mereka bisa bertahan, ia merenung lalu terkejut saat melihat tumpukan mayat di depannya. Kali ini berbeda dengan kejadian barusan, tumpukan mayat telah mengingatkannya pada trauma masa lalu. Ia menutup mulutnya dengan tangan kanan sementara tangan kirinya menghalangi pandangan Billy. Namun tidak perlu waktu lama baginya untuk pulih, ia harus kuat, ia tidak ingin menjadi wanita lemah seperti dulu, ia adalah istri dari seseorang yang hebat maka dirinya harus bisa memiliki ketangguhan yang sama.

Selain pernah berada di tengah-tengah perperangan, Zeal tidak jarang menceritakan kisah  mengenai pekerjaannya sebagai seorang Jenderal. Untuk pertama kalinya wanita itu bersyukur akan celotehan suaminya mengenai kemiliteran yang membosankan, setidaknya kini bisa menjadi bekal utama untuk menghadapi situasi seperti sekarang.

"Gladhir, semua mayat ini… pasukan musuh yang kamu kalahkan sendirian?" tanyanya tidak percaya.

"Iya nyonya, hampir seratus musuh melintasi kediaman anda, dan saya berhasil membantai semuanya," aku pemuda itu.

Istri sang jenderal kembali terdiam, memikirkan apa yang mesti dilakukan, kemudian kembali bertanya, "kenapa kalian tidak menutup gerbangnya saja?"

"Kami sudah berusaha menutup gerbangnya, namun gerbang itu dibuat menggunakan mekanis yang rumit. Berhubung selama ini gerbang tidak pernah ditutup, kami baru tahu bahwa menutup gerbang tersebut membutuhkan waktu lama. Gerbangnya memiliki sebuah pengungkit yang berputar. Saat sedang sibuk memutarnya, tanpa kami sadari, pasukan musuh sudah  menyerbu," Gladhir menjelaskan apa yang terjadi alih-alih menumpahkan kisah kegagalannya, "karena membutuhkan banyak orang untuk memutar pengungkit raksasa itu, tak ada pilihan selain mengabaikannya dan lebih memusatkan tenaga untuk menahan musuh di mulut gerbang," lanjutnya frustasi.

Keringat mengucur dari kepala Ryn, "jadi apa yang harus kita lakukan?"

"Saya juga sedang memikirkannya, sementara para pasukan kita yang lain hanya lebih mengandalkan otot ketimbang kepalanya. Kepala pasukan yang bertugas melindungi kota ini juga sudah buntu otaknya," jawab Gladhir emosi.

"Ayah pasti akan datang, kita harus bertahan sekuat tenaga." Billy berusaha memberikan harapan kepada mereka.

"Semoga," gumam Gladhir ketus, "kalian, lebih baik ikut denganku ke markas militer yang letaknya cukup jauh dari gerbang kota," sarannya.

Selama perjalanan, Gladhir selalu meminta Ryn bersembunyi agar ia lebih leluasa membersihkan jalanan dari pasukan-pasukan musuh. Sementara Billy sibuk mengayun-ngayun pelan bungkusan kain dalam pelukannya, ibunya sibuk memperhatikan pertempuran si penjaga gerbang. Ia tertarik melihat kemampuannya yang diatas rata-rata manusia normal.

Perjalanan yang hanya memakan waktu kira-kira satu jam lamanya, menjadi molor karena mereka harus berhenti setiap beberapa puluh langkah. Mayat-mayat penduduk, prajurit Grootania, maupun pasukan musuh bergelimpangan di setiap jalan. Tak jarang mereka bertemu pasukan Grootania yang sedang mengadu nyawa. Sekali dua kali penduduk lokal sedang berlari, atau disiksa oleh pasukan lawan. Berkali-kali Ryn meminta Billy menutup kedua matanya agar anak itu tidak trauma.

"Ini berbeda dengan masa lalu…" tegas Ryn spontan.

"Maksud anda?"

"Pada perperangan dimasa lalu, pasukan-pasukan Grootania menjarah, memperkosa, atau membunuh siapa saja yang melawan. Tetapi yang ada di sini hanyalah pembunuhan tanpa ampun…" jawabnya sambil meneruskan perjalanan, sesekali memandang ngeri ke arah tubuh-tubuh tidak bernyawa. "Seolah-olah, tujuan mereka hanyalah untuk memusnahkan seluruh rakyat Grootania," Ryn mengerutkan dahi sembari membeberkan pendapatnya.

Terpicu oleh suara langkah dan gesekan sendi-sendi besi yang mendekat, Ryn segera memutar badannya lalu menebas seorang musuh yang hendak memberikan serangan kejutan dari belakang. Sayang tenaganya tidak cukup kuat.

Melihat ini adalah sebuah kesempatan untuk mendapatkan informasi, Gladhir memukul orang itu hingga terjatuh ketanah. Menduduki dadanya, ia mengarahkan ujung pedang ke arah tenggorokan korban barunya.

"Apa tujuan kalian menyerang kami? Bukankah sejak pertempuran terakhir, kedua negara sudah sepakat untuk melakukan gencatan senjata?" Gladhir mencoba mengorek info apapun yang bisa dia dapat.

Tetapi berakhir sia-sia. Prajurit yang diancamnya tidak gentar, malah tatapannya membuas, penuh kebencian. Ia meludahi wajah Gladhir.

"Kalian anjing-anjing Grootania tidak boleh dibiarkan hidup! Kalian setara dengan bangsa iblis. Walau harus mati sekalipun, asal bisa mencabut nyawa satu dua orang anjing Grotan-uuurgh!"

Ujung pedang mencabut nyawa orang itu melalui tikamannya ke tenggorokan.

Tidak perlu mendengarkan seluruh umpatan kasarnya untuk memahami mengapa musuh membunuh membabi buta seperti saat ini, Gladhir berdiri, wajah frustasi membuatnya seolah terlihat tua. Kelelahan tidak dapat ia sembunyikan lagi, putus asa mulai menyerang pikirannya.

"Sudah tidak bisa diselamatkan. Aku, kita, tidak akan bisa menyelamatkan siapapun," seolah sedang berbicara dengan yang lain, ia hanya berkomat-kamit sendiri. "Ah, pupus sudah impianku untuk berkarir sebagai prajurit hebat, aku tidak dapat menyelamatkan keluarga dari orang penting! Sialan! Sialan! Sialan!" Dia memaki sembari menendangi mayat orang yang baru dibunuhnya demi menumpahkan rasa kesal.

"Gladhir! Apa yang kamu lakukan?"

"Diam! Nyonya, apa anda tidak tahu maksud dari semua ini? Bajingan-bajingan Rikedom itu tidak benar-benar melakukan gencatan senjata! Mereka pelan-pelan menyiapkan pasukan militernya, dan mendoktrin rakyatnya untuk membenci setiap tetes darah dari kerajaan kita. Andai saja, andai saja tujuan mereka hanya untuk memenangkan perang, kita bisa memakai siasat pura-pura menyerah. Atau menyerah betulan, setidaknya kita bisa hidup, lalu aku tetap bisa berkarir sebagai pasukan, meski berada dibawah ketiak mereka! Setelah menyadari motif mereka barusan…" Mulai kehilangan dirinya, Gladhir memukul dadanya keras-keras sambil berteriak, "kini tahu kalau semua usahaku selama ini sia-sia!"

Ryn melempar pedang yang dia genggam ke arah pria ngamuk itu. Dengan sigap Gladhir menangkap lalu mengarahkan balik mata pedangnya ke arah istri jendral yang dia kagumi.

"Nyonya, jangan bertindak sembarangan. Aku menghormati suami anda, juga anda. Tapi dengan situasi seperti ini, aku tidak segan-segan membunuh anda."

Billy gemetar ketakutan, memeluk erat-erat balutan yang dia bawa. Matanya berair takut. Tetapi berbeda dengan Ryn, ibu muda itu tidak terlihat gentar meski nyawa diujung tanduk.

"Tuan penjaga gerbang. Meski aku hanyalah ibu rumah tangga, tapi suamiku selalu membahas masalah militer sampai-sampai aku muak. Jangan kamu kira aku tidak tanggap terhadap situasi ini. Justru kamu lah yang kehilangan kendali," tukas Ryn, penuh wibawa, dan terlihat bersungguh-sungguh. "Aku memperhatikanmu. Aku tahu apa tujuanmu sebenarnya, dan kamu memang memiliki bakat untuk berkarir di dunia militer."

"Lalu apa inti dari ucapan-ucapan anda? Mau menghiburku dengan kalimat manis, nyonya?" Matanya melotot--mengancam wanita di depannya.

"Aku memiliki ide, dan juga permintaan. Kamu bisa mendapatkan posisi baik dalam kemiliteran jika kamu bisa mengabulkan harapanku," bujuk Ryn.

Gladhir menurunkan pedang yang dia genggam. Melihat kesungguhan dari wanita itu, ia menjadi yakin bahwa kata-katanya bukan hanya sekedar janji manis. Setelah tenang, ia mulai mendapatkan semangatnya kembali, "jadi, apa rencana anda?"

"kita akan membicarakannya di gedung militer, di sini, terasa tidak aman," jawab Ryn.

Kemudian mereka melanjutkan perjalanan. Billy yang mengikuti dari belakang dapat melihat kaki Ryn gemetar. Namun keinginan kuat ibunya dapat mengalahkan rasa takut. Penasaran, Billy bertanya, "Ibu, memangnya ibu mau ngapain?"

Ryn merendahkan tubuh dengan berjongkok hingga wajahnya mereka saling berhadap-hadapan. Sembari tersenyum, mengelus kepala anaknya, seperti yang sering dilakukan oleh Zeal, ia berkata lembut,

"Menyiapkan sesuatu agar ayahmu tetap bisa melanjutkan hidup, aku harap kamu mau membantu ibu ya sayang."

Melihat mata ibunya yang berkaca-kaca, Billy hanya bisa mengangguk. Anak itu dapat menangkap rasa kesepian dari hati ibunya dan entah mengapa, ia takut kalau dirinya tidak akan pernah bertemu dengan ayahnya lagi.

Tetesan air mata dalam diam mengantarkan mereka ke tujuan akhir perjalanan di tengah-tengah neraka dunia.

avataravatar