17 Ch 14 [Great General III] Shiland

Seperti biasanya, hari-hari penuh kedamaian di pinggiran kota Shiland, orang-orang mengerjakan kegiatan harian, berdagang, bengkel-bengkel senjata aktif menghantam besi-besi mentah, lainnya pergi sedikit lebih jauh dari pusat kota untuk bercocok tanam, irama rutinitas yang memiliki semangat dalam menjalani kehidupan.

Pasukan-pasukan yang tersisa di pos penjagaan membuang-buang waktu dengan bermain kartu, beristirahat - istilah mereka untuk tidur di jam kerja. Tampak jelas para penjaga menikmati gaji buta, namun tidak ada yang protes. Semua tampak menerima kondisi damai ini dengan suka hati.

Terkecuali Gladhir, pemuda yang bertugas menjaga gerbang masuk kota Shiland. Perawakannya rata-rata pria normal, kecil dibandingkan prajurit lain yang cukup berotot. Mata biru dengan rambut pirang menyumbul sedikit dari celah antara dahi dan helmnya.

"hah, masih beberapa jam lagi. Kenapa rasanya setiap hari semakin berjalan panjang ya?" keluhnya.

"Bersabar lah. Kita dibayar untuk ini kan? Jangan malas-malasan dalam bekerja oi," sahut teman jaga si prajurit muda.

"Bryan, aku tidak bermalas-malasan. Hanya, melamun seperti ini benar-benar membosankan. Aku mendaftar sebagai prajurit bukan untuk tugas seperti ini, aku ingin bertempur demi bangsa dan negara, memiliki karir bagus di bidang militer sepe-"

"Zeal Brecker, kan?" sela Bryan. "Kamu selalu membicarakan hal yang sama setiap hari. Apapun kalimat pembukanya, ujungnya selalu menceritakan mengenai Zeal terus, aku bosan mendengarnya," lanjutnya dengan nada kesal.

"Tuan Zeal Brecker," Gladhir mengoreksi panggilan temannya yang dia anggap kurang sopan.

"Terserah! Aku tak peduli, untuk kali ini saja aku ingin ketenangan," Bryan menanggapi sambil beranjak pergi.

Gladhir mengarahkan telapak tangannya ke arah Bryan seolah mencegahnya pergi, "hei hei... ini masih jam kerja, hei Bryan!" tegurnya percuma. "Yah, aku ditinggalkan lagi."

Berusaha tetap menjalankan kewajibannya, pemuda itu berdiri tegap, menghadap lautan rumput di depannya. Berusaha mengawasi titik pertemuan cakrawala dengan daratan, pikirannya menolak untuk diam.

Pemuda biasa yang terlahir dari keluarga normal, tanpa memiliki latar belakang darah bangsawan, tidak ada pula relasi ntuk menariknya ke pusat ibu kota agar mendapatkan pekerjaan yang lebih. Hidup sederhana, bekerja di ladang seperti ayahnya, bukan lah kehidupan yang dia inginkan.

Sampai suatu saat ia mendengar kisah-kisah mengenai Zeal Brecker, seorang laki-laki dari keluarga biasa yang berhasil menjadi seorang prajurit hingga memiliki karir cemerlang.

Sejak itu lah Gladhir bercita-cita mengubah hidupnya dengan berkarir sebagai seorang prajurit. Kisah-kisah mengenai Zeal selalu menjadi motivasi juga inspirasi hidupnya. Terlebih lagi, idolanya juga tinggal di kota yang sama dengannya, peluang menjadi anak buah sang jenderal semakin besar.

"Tapi dia malah jarang pulang, dan aku tidak pernah bisa menemuinya," Gladhir menghembuskan nafas panjang tampak kecewa.

Matanya awas menangkap gerakan dari kejauhan, ia mengenali sosok yang perlahan mulai mendekat.

"Pak Brown ya? Tumben, biasanya dia pulang dua minggu sekali," gumamnya berbicara sendiri.

Brown, penjual kayu hutan yang memiliki fisik cukup besar dan gagah, terlihat berlari pontang-panting. Semakin dia terlihat jelas, suara teriakan histerisnya juga semakin terdengar, "gawat! Gawat! Darurat! Darurat!"

"Halo Pak Brown, tumben sekali sudah turun gunung saja, apanya yang gawat?"

Penjual kayu gagah terjatuh pada lututnya, keringat mengucur deras dari seluruh tubuhnya, berusaha berbicara diantara sela-sela nafasnya, tak ada kata-kata yang keluar kecuali suara dirinya terbatuk-batuk.

Gladhir memberikan botol minum sembari menunggu dengan sabar, yang segera disambar dengan cepat. Pemuda itu menunggu dengan sabar sampai Brown siap untuk berbicara, lagipula waktunya terlalu lowong untuk bersikap terburu-buru. Tiba-tiba pundaknya dihantam oleh telapak tangan besar Brown.

Sembari memberikan cengkraman kuat, wajah si penjual kayu itu terlihat ketakutan, bibirnya yang bergetar mulai mampu berbicara, "Gladhir! Mereka... mereka datang!"

"Siapa? Tuan Zeal dan para pasukan khususnya?"

"Pasukan, puluhan, tidak. Ratusan Ribu pasukan Rikedom! Mereka menyerang kita!"

***

"Itu dia Billy Brecker, jenderal terkuat Grootania, serang!" Anak yang belum berusia akil balig memegang senjata kayu berteriak layaknya seorang pimpinan pasukan kecil.

Di sebelahnya ada anak kecil lain yang menimpali dengan wajah histeris, "whoa, kita tidak akan bisa mengalahkannya sendirian, dia adalah manusia paling kuat diantara kita."

"kita serang bersamaan saja, siap?" Anak ketiga yang sebaya dengan mereka, yaitu antara tujuh sampai sepuluh tahun, mengambil alih komando tanpa mempedulikan hirarki kepemimpinan diantara permainan perang-perangan yang sedang mereka lakukan.

Dari balik gundukan jerami muncul lah Billy Brecker, yang kini berusia hampir sembilan tahun, rambut pendek kecoklatan dengan mata kuning menyala terang, "Serangan kapak Brecker!" ucapnya sambil mengarahkan tongkat mainannya hingga menghantam tanah.

Ketiga anak di depannya, bersandiwara, seolah-olah terkena serangan tak terlihat. Mereka melompat kebelakang hingga terbaring pasrah tak berdaya.

Setelah selesai bermain sandiwara sebagai pahlawan dan penjahat, keempat anak itu berbaring satu sama lain melihat langit biru cerah, seperti hari-hari mereka lainnya.

"Bil, kapan kita bisa bertemu ayamu lagi?"

"Iya, aku juga ingin bertemu dengannya lagi. Melihatnya saja sudah membuat dadaku membara."

"Haha, kalian nggak tau sih seperti apa dia di rumah... "

"Hei, hei, ayo ceritakan kepada kami. Jangan mentang-mentang dia ayahmu, kamu simpan sendiri cerita-cerita hebatnya."

"errr... " "Kalau di rumah, ayah itu... seperti anak kecil."

"Hah? Seriusan?"

"Dia selalu bercanda, tapi tidak lucu, kadang suka marah apabila aku berbuat kesalahan. Tapi dia melakukan hal yang sama, haaaaah... kalau saja dia bukan seorang jenderal hebat, penilaianku kepadanya sudah pasti jatuh total." Billy sempat terdiam ragu, namun melanjutkan pembeberannya mengenai kelakuan Zeal, "apalagi dia sering menyuruhku keluar dengan kode tertentu, lalu bermain berduaan saja dengan ibu. Padahal aku juga ingin bermain dengannya."

"Tapi aku iri padamu Bil, ayahmu terkenal, setiap orang membicarakan kehebatannya. Berbeda dari ayahku yang hanya seorang petani biasa. Andai aku terlahir menjadi saudaramu,"

"Kakak atau adik?" Wajah Billy menegang.

"Kakak dong, aku kan lebih tua,"

Anak jenderal itu kemudian mementahkan ucapan temannya dengan jengkel, "Yasudah, aku tidak mau!"

"Loh kok begitu sih? Nggak apa-apa deh aku jadi adikmu,"

"Deal," ucap Billy spontan.

"Hei, memangnya jadi adik kakak semudah itu? Memangnya orang tua kalian langsung setuju begitu saja?" Protes salah satu teman mereka.

Kemudian anak-anak itu saling bersahutan tanpa irama, satu kalimat saling menimpa dengan kalimat yang lain, hanya Billy yang terlihat diam. Ia memikirkan ucapan temannya, bertapa membanggakan sosok sang ayah. Disaat yang sama Billy juga berharap andai ia memiliki ayah dengan pekerjaan normal, sehingga bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama keluarga.

Meski ia senang memiliki ayah yang tenar, di satu sisi Billy juga kesepian. Sebagai seorang Jenderal, Zeal hanya berada di rumah beberapa hari saja dalam beberapa bulan. Bahkan kini sudah hampir dua tahun ia tidak bertemu.

Billy memahami, Grootania sedang mengalami masa perang dingin dengan Rikedom, dan perperangan skala besar bisa meletus kapan saja. karena itu lah sebagai seorang Jenderal, Zeal selalu terlibat dengan berbagai urusan militer.

Anak itu tetap sabar menunggu janji ayahnya. Setelah perperangan terakhir dengan Rikedom, mungkin ia akan pensiun sebagai Jenderal untuk menghabiskan waktu bersama dengannya. Membayangkan hal tersebut, Billy tersenyum.

***

Ryn, istri dari Zeal Brecker, seperti ibu rumah tangga lainnya, menjalani rutinitas mencuci pakaian sehari-hari keluarganya. Memeras pakaian basah untuk kemudian menjemurnya. Sesekali, ibu muda itu menghela nafas. Pikirannya tidak lepas dari rasa rindu kepada suami tercinta. Terkadang, meski ia tahu Zeal adalah orang yang kuat, kekhawatiran tidak pernah bisa ia enyahkan. Apalagi saat ini ia tahu, suaminya sedang melancarkan serangan besar untuk mengakhiri perperangan antara Grootania dengan Rikedom.

Lamunannya buyar oleh kehadiran Billy, matanya fokus pada pakaian anaknya yang kotor penuh noda tanah.

"Billy! Apa yang kamu lakukan? Bukankah sudah berkali-kali aku bilang jangan mengotori bajumu. Nodanya sangat sulit dibersihkan," Ryn reflek memarahinya sembari melepaskan pakaian bayi yang sedang dia cuci.

"Tenang saja mama, namanya juga anak kecil, harus energik. Tidak masalah sekali-kali kotor, hahahaha," jawab Billy dengan percaya diri.

Alis Ryn mengkerut karena melihat bertapa miripnya sifat Billy dengan ayahnya. Tanpa basa-basi ia segera menarik baju Billy dan melucutinya.

"mama, apa yang, ah! Jangan menelanjangiku di depan umum! Malu, ah!" protes Billy dengan wajah memerah

"Siapa yang mau melihat burung kecilmu hah? Selagi ibu sedang mencuci, sini sekalian mandi."

"Tapi... itu, itu sabun cuci, mama! Argh."

Ryn mengabaikan setiap ucapan Billy, dengan kasar menggosokkan sabun ke seluruh tubuh, juga kepala anak itu.

"Mama... te-brupbrupburp.... cuih, cuih!" Celotehan Billy terganggu oleh derasnya air yang mengalir dari kepalanya.

"Jangan berbicara saat aku sedang membilasmu," cetus Ryn.

Keheningan datang sesaat. Bukan berarti Billy menunggu hingga ibunya selesai memandikan. Ada yang ingin dia sampaikan namun membutuhkan waktu.

"Ma, tenang saja, ayah sebentar lagi tidak akan pergi kemana-mana. Ia pernah memberitahuku rahasia kecil, menurutnya, perperangan setelah ini adalah yang terbesar dan terakhir. Setelah itu kita akan memasuki masa-masa damai," ucapnya tanpa melihat ke arah Ryn. "Jadi, ibu tidak perlu terus-terusan khawatir ya," kali ini Billy berusaha tersenyum untuk menenangkan hati ibu yang dia sayangi.

"Ya, ibu juga merasa, semua ini akan segera berakhir. Semoga," tanggap Ryn selagi mengelap tubuh dan kepala anaknya dengan santai,"Oh ya Bill, ibu sudah menyiapkan makan siang. Setelah ini, ayo kita masuk ke dalam."

Ia memberikan pakaian kering yang diambil dari jemuran kepada Billy, lalu mendahuluinya untuk pergi ke dalam rumah. Baru beberapa langkah, suara seorang pemuda memecahkan keheningan.

"Nyonya Zeal!" Sapa pemuda yang menghampiri mereka. Beberapa bagian tubuhnya terlihat penuh luka sayat, beruntung pelindungnya mencegah bagian-bagian vitalnya terluka. Tangan kanan orang itu juga menggenggam sebuah pedang yang berlumuran darah.

"Kamu, Gladhir si penjaga gerbang kan? Apa yang terjadi?"Ryn bertanya heran.

"Iya, aku adalah Gladhir yang itu. Ah, nyonya, kumohon segera masuk kerumah,"tukas Gladhir sambil menarik tangan Ryn dan Billy kedalam rumah mereka. Setelah beberapa detik memperhatikan interior rumah Zeal, pemuda itu mengambil inisiatif untuk menggiring mereka ke dalam salah satu kamar, lalu menunjuk ke kolong ranjang, "Anda dan Billy bersembunyilah di sini, aku pasti akan menjaga kalian, aku berjanji," tekadnya.

"Billy, apa yang-"tanya Ryn dari bawah ranjang berusaha mengeluarkan kepalanya.

"Tidak ada waktu lagi nyonya! Jangan bersuara."

"Gladhir! Kamar disebelah dapur, tolong temukan dan ja-"

"Nyonya, saya paham. Sudah jangan bersuara lagi, percayakan kepada saya," potong Gladhir sambil berlari keluar kamar.

Ryn dan Billy menuruti nasihat pemuda itu, mereka berusaha menutup mulut, namun telinga mereka cukup awas untuk menangkap suara-suara gaduh dari langkah kaki yang berusaha masuk ke dalam rumah.

Suara beberapa porselen yang pecah jatuh ke lantai bersahutan dengan hantaman benda-benda keras, suara kayu yang patah, teriakan laki-laki yang sedang berkelahi. Sampai akhirnya tidak terdengar apapun.

"Semua terkendali, aku akan menjaga rumah ini dari luar!" Teriak Gladhir dari depan rumah diiringi pintu yang tertutup.

Wajah Ryn terlihat cemas dan bingung. Meski ia lebih memilih mempercayakan semuanya kepada Gladhir, rasa khawatir terus membayanginya saat ini.

"Ma, kita diserang," Billy yang pertama kali memberikan jawaban mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Kemudian ia keluar dari tempat persembunyian.

"Billy! Apa yang kamu lakukan? Kesini!" bentak Ryn panik.

Anak itu kembali dengan koleksi senjata Zeal di tangannya. "Ma, cepat atau lambat, sisa pasukan mereka juga akan menyerbu rumah ini. Pasukan di kota ini terlalu sedikit untuk bisa bertahan dari serangan musuh. Ibu bersembunyi lah, aku sudah cukup berlatih diam-diam menggunakan senjata ayah," sahutnya gagah.

Pintu yang sempat ditutup oleh Gladhir kini terbuka. Salah seorang prajurit Rikedom masuk dan menemukan mereka di kamar persembunyian. Sekuat apapun tekad seorang anak kecil, tidak sebanding dengan mental pasukan yang siap membunuh sesama manusia. Billy menyadari bahwa nyawanya akan berakhir.

Sebuah mata pedang menusuk diikuti dengan bunyi kasar, menembus tubuh dan zirah perang. Prajurit Rikedom itu mendadak kaku saat ia menemukan jantungnya sudah ditembus pedang yang tadinya dipegang oleh anak di depannya. Hanya saja bukan si kecil itu yang menyerangnya.

Kesigapan Ryn membantunya untuk melompat dari kolong ranjang, merebut senjata Billy lalu menusuk orang itu seketika.

Si kecil terkejut, tubuhnya gemetar lantaran ini adalah pertama kalinya ia melihat seseorang terbunuh. Matanya melihat sosok ibu yang disayanginya, berdiri dengan gagah, seorang istri jenderal agung, yang memiliki kekuatan untuk melindungi anak-anaknya.

"Billy, kamu benar. Jika kita hanya bersembunyi, maka tidak akan ada yang tersisa dari kita. Sekuat apapun Gladhir, tidak akan mampu menghalau semua pasukan musuh," ucap ibu muda itu. "Ayo Bill, kita kumpulkan semua orang untuk melakukan perlawanan balik, sambil mencari tempat yang aman, kita harus hidup agar ayahmu tetap memiliki tempat untuk pulang, keluarganya."

Ryn menoleh ke arah Billy dengan wajah penuh percaya diri, "sama sepertimu, ibu juga berlatih menggunakan senjata. Bedanya, ayahmu lah yang mengajari ibu langsung untuk dapat mempertahankan diri."

avataravatar
Next chapter