16 Ch 13 [Great General II] Siasat Busuk

Setelah lebih dari setahun pembangunan kekuatan pasukan, pengaturan strategi militer, menyiapkan perbekalan dan jalur untuk mengantarkan cadangan makanan. Grootania sudah dapat dikatakan siap melakukan perperangan secara besar-besaran. Kini yang perlu dilakukan adalah penunjukan tugas oleh raja kepada jenderal-jenderalnya.

Dalam aula utama berkarpet merah, dekorasi tembok berlapiskan keramik mahal, beberapa pot atau ukiran patung emas melambangkan kemakmuran, luasnya cukup untuk menampung satu batalion pasukan. Hanya saja saat ini tidak sampai setengah dari ruangan itu yang terisi. Belasan bangsawan berdiri pada sudut tepi karpet utama yang memanjang menuju kursi pada pangkal ruangan. Para pengawal terlihat mematung sigap berdiri di tiap titik dimana mereka siap untuk bergerak kapan saja jika diperlukan.

Seorang bapak-bapak setengah baya duduk pada satu-satunya kursi di ruangan itu, penuh wibawa, dengan gestur kaku sombong, menatap rendah ke arah dua orang yang sedang berlutut di depannya.

"Jendral Donalian dan Zeal, dengan ini aku berikan kesempatan kepada kalian untuk membawa kemenangan kepada Negara ini. Terimalah kehormatan untuk memimpin pasukan Grootania yang kupinjamkan kepada kalian," titahnya sebagai sang raja.

"Siap yang mulia, terima kasih atas kebaikan hati anda," jawab Donalian dan Zeal dalam irama yang sama.

Raja William mengibaskan tangannya dengan malas sembari memberi perintah, "Donallian, berdiri," katanya dengan nada arogan.

Tak mengucaplan apapun, Donalian berusaha berdiri tanpa merubah posisi badannya yang sedikit menunduk.

"Aku memerintahkan kamu menjadi pemimpin seluruh pasukan, masa depan kita ada di tanganmu," tutup sang raja.

Para penjaga menghentakkan senjatanya ke arah lantai. Donalian membungkukkan tubuh mengisyaratkan dirinya untuk pamit, disusul oleh Zeal yang mengikutinya. Para bangsawan-bangsawan yang memiliki jabatan saling berbisik, beberapa mempertanyakan keputusan sang Raja yang mengizinkan Donalian membawa hampir seluruh pasukan elit kerajaan. Beberapa memperbincangkan peluang kemenangan yang besar karena keberadaan Jendral berbakat yaitu Zeal.

Ada yang berharap mereka gagal, mencibir Donalian, karena tidak ingin posisinya tersaingi. Jenderal yang satu itu memang cukup dimusuhi oleh para bangsawan.

Donalian berjalan seolah tidak mendengar apapun, meski bisikan itu kuat sampai ke telinganya. Sedangkan Zeal berusaha tegak tanpa ekspresi meskipun kerisauan tampak pada raut wajahnya.

***

Dalam sebuah gudang persenjataan, tempat yang cukup padat oleh benda-benda pembunuh, namun tetap sepi dari kehadiran manusia. Seorang Jenderal duduk termenung, kedua tangannya mengepal kuat. Ada kerisauan dalam pikirannya. Mempertimbangkan moral juga loyalitas yang selama ini dia miliki. Kemenangan perperangan besar beberapa tahun lalu sudah cukup membuat kerajaan ini memiliki sumber daya melimpah, benteng pertahanan dibangun dengan kuat, ditakuti oleh musuh-musuhnya.

Andai saja Grootania tidak melancarkan invasi agresif kepada negara-negara lain, maka dunia tetap akan damai. Tidak perlu ada pertumpahan darah hanya untuk memuaskan nafsu akan kekuasaan.

Zeal berpikir keras, apa gunanya pertempuran-pertempuran yang dia lakukan selama ini? Saat dimana ia membayangkan kehidupan bahagia bersama keluarganya, malah datang sebuah tugas dimana nyawanya bisa hilang kapanpun.

"Zeal, aku mencarimu sejak tadi. Apa yang kamu lakukan di sini?" Seorang pria kurus muncul dari balik pintu gudang persenjataan.

"Hah, disaat aku ingin menyendiri, orang yang datang kemari bukanlah wanita cantik tapi malah pria kurus tua bertampang muram," balas Zeal tanpa menoleh sama sekali.

Donalian berpura-pura memeriksa beberapa senjata sambil sesekali bergumam mengomentari bertapa bagusnya tempaan bilah-bilah pedang. Sampai akhirnya ia membuka omongan dengan Zeal, "mungkin kamu tidak mengetahui ada agenda apa dibalik penyerangan besar-besaran ini."

Meski tampak terdiam namun Zeal menunggu Donalian melanjutkan kalimat-kalimatnya.

"Kamu tahu kalau ada kekuatan besar lain, selain negara-negara manusia, yaitu mereka yang memiliki fisik seperti monster, kekuatan diatas binatang buas, haus darah, bernama bangsa Demonia, yang cepat atau lambat akan mengangkat senjata-senjatanya kepada umat manusia?" ucap Donalian sambil tetap berusaha terlihat sibuk mengagumi tiap-tiap senjata.

"Donalian, hentikan," tanggap Zeal.

"Tidak. Ini adalah informasi yang sangat penting dan perlu kamu ketahui. Agar kamu bisa tanpa ragu mengabdikan jiwa dan ragamu untuk Kerajaan ini--umat manusia! Negara ini, harus berhasil menyatukan kekuatan manusia yang terpencar." Nada bicara pria kurus itu kencang juga bergetar, menyampaikan kekhawatirannya.

Zeal mengeluarkan botol anggur yang dia simpan diantara kedua kakinya, "maksudku adalah tingkahmu yang seolah-olah tertarik pada senjata itu. Kamu itu Jenderal yang lebih sering berada di barisan belakang dan memberikan komando. Penciumanmu mengenai senjata tidak bagus-bagus amat. Senjata yang kamu sentuh-sentuh sejak tadi itu adalah produk gagal. Rasio penempaan besi dan logam lainnya tidak seimbang hingga membuatnya keras, mudah patah." Denting botol beling beradu dengan meja kayu, "mari kita duduk mendiskusikan hal ini, aku butuh banyak penjelasan mengenai strategi tertutupmu itu."

Donalian tetap menjaga gerak-geriknya yang anggun, berusaha menganggap kesalahannya dalam bersandiwara tidak pernah terjadi.

"Oh, aku akan menganggap hal barusan tidak pernah terjadi, hahahahaha," ledek Zeal menambah coreng pada muka temannya.

Suasana hening sesaat. Lalu Donalian melanjutkan pembicaraan, "Zeal Brecker. Pemuda dari kelas petani. Tidak memiliki latar belakang apapun yang bisa membuatnya menjadi seorang petinggi militer. Tapi aku tahu, kamu memiliki tekad kuat, untuk meningkatkan derajadmu. Kamu juga tak tertandingi sebagai seorang petarung. Hingga prestasi di medan perang mengantarkanmu kepada jabatan tertinggi, seorang Jenderal."

Zeal melambai-lambaikan tangan dengan remeh, "ya, ya, langsung ke intinya saja Donalian. Aku tak suka bertele-tele."

"Aku, kerajaan ini, umat manusia, membutuhkanmu sepenuhnya untuk dapat bertahan dari kepunaha-"

"Untuk membantu karir militermu naik, maksudmu, Donalian?" potong Zeal dengan nada kurang ajar. "Tapi tenang saja, aku tidak menganggapmu sebagai saingan. Aku hanya mempedulikan satu hal, pengabdianku untuk kerajaan ini. Apapun tugas yang diberikan padaku, akan aku selesaikan dengan sempurna. Itu adalah prinsipku sejak menjadi prajurit rendahan," tutupnya.

"Bahkan jika kamu harus pergi, berkorban, meninggalkan istri dan anakmu?" Donalian mulai mengintimidasi.

Zeal tertawa lepas, mementahkan ucapan temannya, seolah meremehkannya.

"Hei, kita ini prajurit. Sejak pertama kali menggenggam senjata, kita sudah harus siap membunuh atau dibunuh. Bagaimana denganmu? Yang hanya bisa memerintah di belakang? Apa sudah siap kehilangan nyawa?" balasnya.

Jenderal kurus yang tersinggung berdiri, lalu beranjak. "Siap tak siap, aku adalah otak dari seluruh pasukan negara ini. Otaknya mati, maka anggota tubuh yang lain juga mati," tutup Donalian sembari menghilang agar kata-katanya tidak ditangkis lagi.

Kini dalam kesendiriannya, wajah cemas Zeal berubah. Tidak ada rasa takut sama sekali seperti sebelumnya. Bara api kuning menyala dari mata, menunjukan hasratnya untuk bertahan hidup.

"Donalian, sekuat apapun kamu ingin menyingkirkanku. Aku akan bertahan hidup untuk menemui keluargaku," gumamnya.

***

Beberapa bulan kemudian, ratusan ribu pasukan Grootania bergerak mantap. Pergerakan masif membawa hampir seluruh kekuatan negara. Dipimpin oleh dua orang Jenderal. Satu Jenderal memimpin di belakang dengan kereta kuda megah, berlapiskan tirai mahal. Seekor makhluk yang dimaksud dengan kuda, memiliki otot-otot teramat kencang dengan tanduk runcing pada ujung kepala, menarik kereta dengan gagahnya. Selain itu ratusan penjaga elit--terdiri dari orang-orang terkuat, berjaga disekitarnya. Jenderal satunya lagi, yaitu Zeal, berada pada bagian samping tengah seluruh batalion dengan kuda coklat tangguh.

Zeal menyadari ada kontradiksi dari pernyataan Donalian yang seolah-olah ingin menempatkan jenderal berbakat itu di baris depan, namun tidak dilakukannya dalam formasi perang. Instingnya mengatakan ada yang tidak beres. Ia merenung selama perjalanan, lebih sibuk memikirkan apa rencana licik yang dimiliki temannya ketimbang pertempuran besar yang sudah direncanakan sejak awal.

Belum sempat memecahkan teka-teki dalam pikirannya, surat perintah datang dari pembawa pesan.

"Tuan Zeal, ada pesan dari Donalian," seorang prajurit berkuda datang membawa surat bersegel.

Tergesa-gesa, Zeal merobek segel sekuat tenaga, membaca apa yang tertulis.

Kepada, Zeal Brecker.

Maaf apabila telat memberitahukan kepadamu mengenai strategi ini.

Mata-mata Rikedom tersebar diantara orang-orang kita. Tapi begitu juga dengan mata-mata kita.

Aku mendapatkan informasi bahwa Rikedom melakukan serangan penuh ke Grootania.

Mereka secara senyap menggerakan pasukannya diantara semak-semak dan pepohonan, memerlukan waktu lama, namun cukup untuk mengamankan rute mereka dari menara-menara pengawas kita.

Sementara kita akan membagi pasukan menjadi dua. Aku beserta seratus ribu pasukan akan merebut kota-kota Rikedom dan membangun pangkalan militer disana, selagi hampir semua sumber daya mereka kerahkan untuk menyerang kita.

Kamu beserta lima puluh ribu prajurit harus mempertahankan perbatasan kita sampai kabar bahwa kota-kota utama Rikedom yang telah kurebut sampai kepada pasukan mereka. Dengan begitu moral pasukan mereka akan jatuh, dan para pasukan mereka yang menyerang akan panik lalu mundur.

Karena itu, aku perintahkan agar kamu segera memotong jalur mereka, di kota bagian timur, yang merupakan salah satu pangkalan militer kita. Saat ini mereka mungkin sudah memasuki pegunungan Hochland.

Jika kamu segera bergegas, empat belas hari dari sekarang, kamu akan tiba pada lembah Shiland lalu bertemu dengan mereka.

Namun pilihan ada pada dirimu sendiri.

Kamu bisa saja bergegas menuju Kota Shiland, dengan egois melindungi keluargamu. Namun sudah terlambat bagi Grootania apabila mereka semua berhasil memasuki tembok Shiland dan membangun pertahanan di sana. Kamu tetap akan dikepung oleh lebih dari seratus ribu pasukan. Sia-sia.

Atau bertarung mati-matian menggunakan strategi yang aku siapkan, jika kamu dapat berpacu dengan waktu, maka kemenangan akan menjadi milik kita dan keluargamu akan selamat.

Semoga kamu tetap memegang prinsipmu sebagai seorang prajurit yang loyal terhadap negara.

"Dia sudah mengetahui bahwa Rikedom telah mengirimkan pasukannya jauh-jauh hari!!"

Tangan sang Jenderal gemetar membaca surat tersebut. Kemarahan tampak pada wajahnya, meski dia tahu kawannya itu teramat licik, namun tak pernah disangka tingkat dusta seorang Donalian mampu mengelabui hampir ratusan ribu pasukan, juga seorang Jenderal yaitu dirinya sendiri.

Zeal berteriak dengan suara lantang, menggetarkan dada pasukan-pasukannya, "semuanya! Kita menuju ke Lembah Shiland!"

Diiringi teriakan para pasukan yang tanpa ragu mengikutinya.

Berusaha mendahului waktu, Zeal harus menghabisi lebih dari setengah daya perang kerajaan Rikedom, hanya dengan sepertiga sumber daya kekuatan tempur Grootania. Tetapi ia yakin dirinya menang. Ia harus menang. Ini sudah bukan mengenai kemenangan Grootania lagi, tetapi keselamatan orang-orang yang dicintainya.

Yaitu istri dan anaknya.

avataravatar
Next chapter