15 Ch 12 [Great General I] Sang Jendral

Batu yang kokoh, akan rapuh oleh akar.

Logam yang kuat, akan hancur oleh karat.

Pintu terapat dapat terbuka jika memiliki kuncinya.

Pembunuh berpedang, luluh karena cinta.

12 tahun lalu.

Salah satu dari kota terbesar kerajaan Grootania, terletak pada perbatasan negara, dikelilingi oleh tembok-tembok tinggi namun tidak terlalu kokoh untuk menahan gempuran alat pelontar batu. Meski begitu, kota Shiland, terkenal aman baik dari serangan Demonia maupun pihak kerajaan musuh. Salah satu pangkalan militer Grootania berdiri lalu menaungi setiap sudut kota.

Pria muda gagah perkasa, berjalan tegak penuh wibawa di antara sela-sela bangunan. Mencolok, zirah sisik peraknya memantulkan cahaya silau. Perhatian orang-orang tidak akan bisa tak acuh padanya, disapa hormat oleh pasukan-pasukan berkelas rendah. Sudah jelas lah bahwa dia bukan sekedar rakyat biasa.

Setelah melalui beberapa jalanan utama, akhirnya ia tiba di sebuah rumah sederhana. Seorang anak kecil berumur tujuh tahunan, memiliki rambut kecoklatan, mengenakan kaos dan celana pendek sederhana, namun memiliki gerak-gerik tubuh elegan menyambutnya penuh keceriaan.

"Woah! Ada jenderal Zeal. Hormat Jenderal, suatu kehormatan bisa berjumpa dengan anda," sapa anak itu sambil memasang gesture hormat ala militer.

"Aku ayahmu, bodoh," celetuk Zeal.

"Bercanda yah! Selamat datang. Ibu, ayah sudah pulang," teriak anak itu ke dalam lorong menuju dapur rumah.

Si ayah muda menggendong anaknya, "hei hei, jangan langsung memberi tahu ibumu, kan ayah mau memberikannya kejutan," ucapnya.

"Sayang, semua orang sudah membicarakan kepulangan seorang jenderal terkenal di kerajaan ini, mana mungkin aku tidak tahu?" sahut wanita cantik yang menengok dari balik sudut ruangan.

Rambutnya pendek sebahu tergerai dengan ujung agak melingkar ke dalam. Seorang ibu rumah tangga yang terlihat tangguh namun matanya menyorotkan kelembutan, daster dengan celemek yang digunakan sudah cukup mengatakan bahwa wanita ini dapat diandalkan

"Ah, iya, aduh benar juga. Harusnya aku pura-pura hilang saja lalu muncul dengan tiba-tiba, kamu pasti terkejut," balas sang suami sambil tertawa-tawa.

"Yah, ibu bisa menangis berhari-hari kalau seperti itu. Setiap ayah pergi tugas saja, ibu selalu terlihat gelisah," potong sang anak membuat tawanya terhenti.

Ia mengelus kepala si anak sebelum menurunkannya. Menghampiri istri yang sedang mempersiapkan sajian di dapur, memeluknya erat dari belakang dengan perasaan bersalah yang dalam. Membisikan kata-kata penuh kasih, "Zeal-mu tersayang ini tidak akan pernah tersentuh di medan perang oleh lawan-lawannya. Setiap saat, aku selalu teringat akan kamu, Billy, dan rumah ini. Kandang ternyaman bagi seekor beruang sepertiku."

"Sayang, masa rumah ini disamakan dengan kandang beruang... " ibu muda itu tidak menoleh sama sekali menyembunyikan rasa malunya.

Menggoda istrinya, tangan Zeal meraba payudara dan bagian diantara kedua paha wanita yang dipeluknya, "Tidak, bukan begitu.. ah, aku beruangnya yang sangat kelaparan, membutuhkan mangsa seekor kelinci lembut untuk memuaskan diri, huehehehe."

"Sayang, hentikan, jangan di depan Billy. Tahu diri dikit dong."

"Wah ayah sedang memangsa ibu, aku jadi beruang kecilnya, aku menuntut limpahan makanan dari ayah!"

Zeal memarahi anaknya dengan nada agak tinggi, "Billy! Kamu harus mengerti yang namanya situasi, kamu kan sudah besar, sana pergi main diluar!"

"Sayang, kamu harusnya mengatakan itu kepada dirimu sendiri..."

Billy tidak mengerti mengapa sang ayah menyuruhnya keluar, tapi ia anak yang penurut, dan cukup pintar untuk mengetahui bahwa sang ayah ada kepentingan lain dengan ibunya, bukan sebuah hentakan kata-kata penuh amarah melainkan sebuah kode. Hal seperti memang ini sering terjadi saat Zeal sedang bersama istrinya dan kebetulan ada Billy di situ.

***

"Ryn, ayo buka bajumu. Aku sudah tidak sabar, huehehehe," tawa si suami selagi melepaskan zirah perangnya.

Ryn menengok cemberut ke arah Zeal, meski begitu, parasnya yang elok dengan mata biru cerah tetap memancarkan kelemah lembutan membuat sosok keibuannya terlihat kuat. "Sayang, tolong beradab sedikit. Bukan seperti itu caranya meminta jatah kepada sang istri. Setidaknya, aku lebih suka cara yang lebih halus," balasnya dingin.

"Karena kamu bersikap dingin seperti itu, baiklah. Aku akan bersenang-senang dengan tanganku saja," Zeal berpura-pura kecewa.

Ryn memeluk Zeal suaminya dari belakang dengan lembut, bagai ibu yang sedang menenangkan anaknya. Ia berbisik pelan ke arah telinga suaminya, "lepaskan semua bebanmu, aku akan memasakan air hangat lalu kamu bisa mandi setelah itu kita bisa memiliki waktu pribadi. Bagaimanapun, rumah inilah tempatmu membuang diri dari peliknya dunia ini."

Zeal diam tidak berkutik. Apa yang ada di pikirannya telah membungkam mulut.Pandangannya menunduk, merenung, kata-kata Ryn telak menggenggam hatinya. Mendobrak pintunya yang terkunci rapat-rapat.

"Heheh, aku memang seorang yang jeli. Untung saja aku meminangmu dulu," akhirnya ia mengatakan sesuatu, dengan penuh rasa syukur.

Masih memeluk suaminya, Ryn melihat keluar jendela, menatap jauh, "akhir-akhir ini aku selalu teringat pertemuan pertama kita, waktu itu aku kehilangan semuanya. Keluargaku, rumahku, kota yang aku cintai. Aku saat itu melihat pasukan-pasukan Grootania sebagai binatang, melahap semuanya, mengambil semuanya tanpa belas kasih.Bahkan-"

"Termasuk diriku?" sela Zeal.

Ryn menggelengkan kepalanya, "aku sangat membenci pasukan Grotania, aku sudah kehilangan rasa percayaku kepada kebaikan. Semua manusia adalah binatang yang memakan satu sama lain. Tapi ada satu orang, berbadan tegap, sangat kuat, setiap ayunan kapaknya dapat menghabisi lusinan musuh. Namun ia tidak seperti yang lainnya. Orang itu, hanya menyerang prajurit yang berusaha melukainya. Ia melindungi rakyat sipil," ia melanjutkan dengan tidak mengacuhkan perkataan suaminya.

"Ryn... "

"Kamu tahu sayang? Aku dapat melihat bertapa hancur hati orang itu karena kawan-kawannya yang berhasil menguasai kota dengan jasa besarnya, bertindak semena-mena terhadap rakyat sipil. Aku melihatnya, ia menahan kesedihan, meski berusaha tegar, tapi ia terluka," Ryn memeluk semakin erat. "Saat itu lah aku menghampiri pria itu, lalu..."

"Kamu memelukku seperti saat ini..." sambung Zeal.

Ryn tertawa kecil, "tak kusangka, prajurit yang ditakuti bernama Zeal Brecker menangis di pelukan seorang wanita, meminta maaf atas ketidakberdayaannya."

"Ryn, tolong jangan bahas itu," wajah Zeal memerah.

"Aku ingin membahasnya, karena setiap memikirkan hal ini, aku selalu tersenyum sembari menunggu kepulanganmu. Melihat dirimu yang seperti itu, aku tersentuh, dan memaafkan. Kepercayaanku terhadap dunia ini kembali," ibu muda itu tersenyum memuji suaminya. "Zeal, seorang yang kuat, tidak pernah memiliki masalah. Namun aku tahu kamu memikirkan orang banyak lebih dari apapun, kamu orang yang baik, hanya saja tak ada seorang pun yang dapat melihat sisi lemahmu itu. Hatimu terkunci, terbiasa sendiri. Tetapi hatimu berteriak kencang meminta pertolongan."

Zeal mengelus tangan sang istri yang melingkari pundaknya. Sementara Ryn melanjutkan, "aku tahu saying, ada hal yang membebanimu saat ini. Aku tahu, ada yang tertahan dan kamu berusaha menanggungnya sendiri. Aku tidak akan memaksamu untuk menceritakan apapun. Tapi, untuk saat ini, setidaknya aku bisa membuatmu melupakan dunia."

"Ryn... " Zeal terdiam berusaha mencari-cari kata yang tepat untuk menyampaikan sesuatu, "sedikit lagi akan ada perperangan besar. Grootania akan diserang... aku adalah seorang Jendral, prajurit yang tidak pernah mengenal rasa takut. Tapi... entah mengapa, aku... aku takut..." Tangannya gemetar menggenggam tangan istrinya. "Aku takut gugur di medan perang, bukan karena takut mati. Tapi aku masih ingin bertemu dengan istriku, anakku. Kurasa aku tidak sekuat dulu lagi."

"Kamu kuat, sayang. Setidaknya rasa takutmu itu akan membuatmu lebih bertekad untuk bertahan hidup. Aku, dan Billy akan menunggu kepulanganmu. Membawa kabar gembira, dan kita bisa hidup dalam damai setelah semua ini," Ryn mengeluarkan penghiburan yang menguatkan hati Zeal.

Zeal menoleh, berusaha mengatakan sesuatu dengan tergesa-gesa, "andai aku tidak kem-"

Ryn segera menyambut bibir Zeal dengan kecupannya. Memberikan ciuman hangat, menyatukan organ lidah mereka. Sementara Zeal menyambut permainan sang istri, meraba-raba tubuhnya dengan kasih sayang.

Kedua pasangan itu melakukan permainan panas di siang bolong.

***

Beberapa minggu kemudian, pembawa pesan mengumumkan para pasukan untuk bersiaga. Semua Jenderal dipanggil menghadap raja, tak terkecuali Zeal. Tampaknya perperangan panjang akan mencegahnya untuk pulang ke kota Shiland.

Akan ada banyak yang tak kembali. Namun yang pasti bukan lah Zeal. Ia memiliki sinar membara dalam matanya. Perperangan ini, akan dia menangkan dengan cara apapun. Kemudian kembali pulang ke pelukan Ryn dan Billy, rumah satu-satunya.

"Billy, apa kamu mau kubawakan mainan nantinya?" Ia menggendong Billy, menawarkan oleh-oleh berharap si anak tidak melupakannya. Ia akan pergi dalam waktu cukup lama.

"Aku ingin, pedang ayah. Saat kamu kembali, aku pasti sudah cukup besar untuk mengayunkannya," balas Billy.

"Huh? Kuharap kamu meminta mainan seperti anak kecil pada umumnya. Ternyata darah tidak bisa bohong ya, hahaha." Zeal terlihat senang mendengar permintaan Billy yang tak lazim.

"Billy memang senang dengan senjata perang. Ia selalu bermain perang-perangan dengan kawan-kawannya. Saat melihat zirah dan kapakmu, matanya bersinar seperti melihat sesuatu yang berharga," suara Ryn mendahulu kemunculannya dari balik pintu.

Zeal segera menurunkan Billy, memeluknya sekali lagi. Kemudian ia memeluk Ryn penuh khidmat.

"aku pasti akan kembali, kalian jaga diri baik-baik," bisiknya. Lalu ia melepaskan pelukan sembari memberikan nasihat,"Dan jangan lupa untuk terus melakukan apa yang telah aku ajarkan kepadamu, saying. Setidaknya lakukan itu setiap pagi."

"Uh, kenapa aku harus melakukannya sih?"

"Aku tidak ingin kamu bolos ya. Anggap saja itu adalah olah raga untuk mengencangkan tubuhmu," kali ini Zeal menggunakan tangannya untuk menutupi bisikannya dari Billy. "Semakin seksi, semakin menarik. Kurasa membuat ratusan anak denganmu tidak akan masalah jika saat aku kembali nanti," lanjutnya.

"Sayang, aku bukan ratu laba-laba yang bisa memiliki banyak anak sekaligus. Seratus anak berarti seratus tahun, itu mustahil," Ryn menyahut skeptis.

"Ayah kenapa sangat senang memiliki anak?" Tanya Billy polos.

"Billy! Coba baca situasi."

"Baiklah ayah, aku akan bermain bersama teman-temanku sekarang."

Zeal segera menangkap Billy yang hampir saja beranjak dari situ di saat dirinya sedang berpamitan. "Bukan itu maksudku, ah... nanti ada saatnya kamu akan memahaminya, jenderal kecil."

Sang Jenderal memberikan pelukan terakhir untuk anak dan istrinya. Setelah itu dengan gagah ia meninggalkan kediamannya menuju pusat ibu kota. Tekadnya untuk pulang memberikan semangat moral yang luar biasa besar dalam memenangkan pertempuran.

"Aku pasti akan kembali dengan kemenangan," gumamnya percaya diri.

avataravatar
Next chapter