13 Ch 10 [Bamboo Battle IV] Iblis Yang Lemah

[Wahai roh kecil. Mengapa kamu terbangun?]

"Aku mendengar suara... yang memanggil."

[Dia tidak memanggilmu. Kamu bisa kembali tidur, menyatu lagi dengan alam semesta ini.]

"Tapi, aku tak bisa mengabaikan permohonan yang sudah kudengar ini. Aku tergerak untuk membantunya, sesuatu dari dalam diriku berkata seperti itu."

[Itu adalah hati nurani, nak. Salah satu sifat dari alam semesta yang saat ini ada di dalammu. Sekali lagi aku katakan, kamu tidak perlu menjawabnya. Karena jika menjawabnya, kamu akan mengalami perjalanan yang sangat sulit.]

"Aku tak akan bisa tidur dengan tenang jika tidak menolongnya."

[Yang pengasih. Tentu saja karena kamu adalah bagian dari yang awal dan akhir, dzat tunggal yang meliputi alam semesta.]

"Aku tidak mengerti."

[Kamu tidak perlu mengerti. Karena tidak ada kaitannya dengan tujuanmu saat ini. Tapi kesadaran dari yang awal dan yang akhir, memberikan kemudahan bagi mereka yang berdoa. Sebutkan doamu.]

"Doa?"

[Keinginan dari hati terdalammu, dimana kamu membutuhkan persetujuan dari alam semesta, aku, kami, kita, juga termasuk dirimu sendiri, untuk membimbing kepada jalinan takdir agar sampai kepada titik yang kamu mau.]

"Meski yang itu aku juga tidak mengerti, tapi setidaknya aku tahu apa yang aku inginkan. Aku ingin..."

***

Percakapan yang terngiang-ngiang di kepalanya terputus saat kesadaran mengambil alih. Bella terbangun, masih di sarang liger. Mimpi samar-samar tapi terasa begitu nyata, apakah itu adalah serpihan ingatan masa lalu? Pertanyaan itu cukup mengusiknya sesaat. Ada hal lain yang lebih mengganggunya, yaitu keberadaan asing yang telah memasuki hutan. Sesuai prediksinya, kedamaian hidupnya terancam.

Memandangi kedua anaknya yang sedang saling menggigit, mencakar penuh canda, termasuk si kecil Nidhog, hatinya tercubit oleh rasa pilu. Nuraninya lebih mengetahui apa yang akan terjadi daripada pikirannya. Bella mendekati anak-anaknya dan Nidhog. Menyandarkan kepala, atau sisi tubuhnya erat-erat ke pada mereka, satu persatu penuh rasa cinta.

Anak-anak menikmati kasih sayang dari induknya, hanya saja si loreng tanggap terhadap kejanggalan ini. Tidak ingin yang lain tahu, ia memandang Bella dengan penuh keyakinan. Auman marah Bella tidak membuatnya gentar. Anak liger itu tetap duduk kokoh menatap induknya.

Bella yakin, apapun yang dia lakukan tidak dapat menyuruhnya untuk mengurungkan niat. Setidaknya, ada sedikit bantuan dari si loreng dalam mengusir para penyusup. Sedangkan alih-alih menyuruh si polos beserta Nidhog untuk menjaga sarang mereka, Bella ingin melindungi kedua anak yang belum siap bertarung.

"Nidhog... jaga... tempat... ini."

"Bella mau kemana? Aku ikut," Nidhog merengek.

"Kamu harus... menjaga... rumah kita... akan ada orang jahat... yang mau.. memasuki... tempat ini," Bella berusaha memberitahunya dengan kesungguhan bahwa menjaga rumah adalah tugas penting. "Aku... percaya padamu..."

Perasan penting memotivasi raja iblis kecil. Bella telah memberinya tanggung jawab, maka sebagai pemimpin anak-anak, Nidhog mengiyakan perintahnya.

Sedangkan waktu semakin sempit, yang ada di pikiran Bella adalah bagaimana ia bisa mengusir para penyusup, atau setidaknya bisa melindungi anak-anaknya. Bahkan termasuk si loreng yang ikut bersamanya. Hatinya berat meninggalkan Nidhog yang terlihat cemas, maka ia memutuskan segera beranjak dari sarangnya sebelum keputusannya berubah.

Sementara Nidhog tidak dapat merasakan hal yang sama seperti para kucing raksasa itu. Tekadnya untuk menjaga tempat itu masih berapi-api.

Sampai tiba-tiba suara ledakan terdengar dari mulut gua. Si bulu polos meringkuk di pojokan. Nidhog tergesa-gesa berlari untuk memastikan apa yang terjadi. Ternyata kecemasannya benar. Mulut gua tertutup tanpa celah. Sebuah benda keras padat, sepertinya sebuah batu, telah memutus penghubung dari sarang liger menuju ke hutan. Bella telah mengurung Nidhog dan si bulu kuning dari dunia luar, memastikan mereka aman agar hatinya tenang.

Tetapi tidak bagi Nidhog, meski telat, sekarang ia paham situasi yang sedang mereka hadapi. Kegelisahan Bella juga liger yang lain, perdebatan si loreng dengan Bella melalui bahasa tubuh, hingga si polos yang bersembunyi pada sudut-sudut gua. Musuh kuat telah datang, sangat kuat hingga para liger tidak yakin kalau mereka akan bertahan hidup pada malam ini.

Ketakutan Nidhog menjadi nyata, mungkin ini adalah terakhir kalinya ia bisa bersama para liger, dan ia tidak memiliki kemampuan yang cukup untuk melindungi keluarganya.

***

Mereka dapat merasakan ancaman dari para pelanggar batas wilayah kali ini. Rombongan manusia yang dikuasai oleh hawa pembunuh, haus darah, eksistensi perusak dan pembuat kekacauan. Ini tidak akan menjadi sebuah rutinitas pengusiran seperti biasa, tetapi pertumpahan darah besar-besaran.

Didampingi oleh si Loreng, Bella tergesa-gesa menghampiri mereka. Jika sampai sarang mereka diketahui, maka upayanya untuk melindungi si kecil akan sia-sia. Tahu dirinya yang menjadi target buruan, maka ia akan memberikan apa yang mereka inginkan demi melindungi sahabat kecilnya. Meski gaung dari suara kecil berusaha memanggil-manggilnya dari balik tumpukan batu, telinganya berusaha tak acuh meski hatinya berkata lain.

Sementara pemilik suara, Nidhog, memukul-mukul bongkahan batu dengan percuma. Tenaganya tidak sekuat dirinya sewaktu masih menjadi Raja Iblis, bahkan ia tidak ingat siapa dirinya pada masa lalu.

Tiba-tiba terdengar suara auman keras dari kejauhan, suara besi beradu, dan debuman keras saling menyahut. Rasa cemas mulai meliputi dada Nidhog membuatnya semakin brutal memukul bebatuan hingga kulitnya sobek. Hingga ia tak sadar, suara-suara mencemaskan sudah tidak terdengar kembali.

Tapi bukan ketenangan yang didapatkan dari kesunyian. Selama ini dia percaya keluarganya adalah yang terkuat di hutan ini, penguasa dan tak terkalahkan. Sekarang berbeda. Terlintas momen mangsa-mangsanya yang selama ini dirobek oleh taring para Liger, mereka merintih kesakitan disertai darah yang mengalir dari lehernya, sampai akhirnya menghadapi fase mengerikan dengan otot-otot mengejang dan tarikan nafas tersedak. Kemudian tidak bergerak sama sekali.

Anak itu berteriak histeris, merasakan ketakutannya menjadi nyata. Kepalan terakhirnya menghantarkan energi besar dari tubuhnya tanpa sengaja. Membuat ledakan besar yang menghancurkan tumpukan batu-batu dari dalam, sampai berkeping-keping. Sangat panik hingga ia tidak memikirkan dari mana asalnya kekuatan itu, Nidhog segera berlari menghampiri Bella.

Bau tajam mulai tercium, menyengat dan semakin mendekat. Terlihat sosok makhluk yang dia kenal dengan nama manusia, tergeletak, mengenakan pelapis besi yang sudah hancur dan darah mengucur dari salah satu lubang ditubuhnya. Disebelahnya, sosok berbulu loreng yang dikenalnya tergeletak dengan kondisi yang sama. Tidak bernyawa.

Tangan kecilnya mengguncang-guncang badan saudaranya dengan percuma.

"Aaaah...ahhhhh!"

Sambil mengeluarkan suaranya, dia terus berusaha membangunkan anak liger yang sudah tiada. Dia tahu usahanya sia-sia, tapi hati kecilnya masih berharap ada secercah kehidupan dari bangkai yang dia sentuh. Anak itu menjambak bulu si Loreng di depannya seraya menggoyang-goyangkannya sekuat tenaga. Berkali-kali...

Pada akhirnya ia menyerah. Hatinya telah menerima kematian saudaranya. Tangannya mengelus bulu-bulu loreng, menunjukan kasih sayang mewakili hatinya.

Khidmat penuh duka terganggu oleh debuman keras beberapa puluh meter dari tempatnya berada. Bella masih bertarung melawan para pembunuh. Meski kaki Nidhog lemas, ia memutuskan untuk melangkah, setidaknya ia bisa sedikit membantu sahabatnya. Berharap menemukan Bella yang berhasil memenangkan pertarungan melawan para manusia.

Sampai akhirnya ia sampai ke tempat Bella hanya untuk menemukan sahabatnya yang terbaring dengan luka-luka perih ditubuh. Sayatan-sayatan panjang menganga di beberapa bagian tubuh sang kucing raksasa, dan yang membuat Nidhog terasa tercekik dalam ritme nafasnya, hanpir terputusnya bagian leher sahabatnya itu, mengucurkan darah segar berliter-liter.

Tepat di sebelahnya, seorang manusia berperawakan besar, berotot dengan wajah yang familiar, satu-satunya bagian tubuh yang tidak terlalu kotor oleh noda darah. Zirah bersisiknya telah merah pekat, dan bau tercium anyir darah. Pria itu hendak menjatuhkan kampaknya sekuat tenaga ke arah tenggorokan Bella.

"Aaaaaaahhhhh!!!! Aaaaaaahh!!!" teriak Nidhog berusaha mencuri waktu walau hanya sedetik. Berharap perhatian pria itu teralihkan oleh suara teriakannya.

Usahanya sia-sia. Besi penjagal telah jatuh ke tanah membelah bagian leher Liger yang masih tersambung dengan tubuhnya. Darah segarpun mengalir dari tubuh kucing raksasa itu, mewarnai rerumputan jadi merah pekat. Menggenangi permukaan tanah disekitarnya. Otot-otot pada tubuh tanpa kepala itu sempat berkontraksi, hingga akhirnya terluntai lemas. Shok karena menyaksikan pemandangan yang ditakutinya, nafas Nidhog tertahan sesaat.

Lalu sambil meraung sekuat tenaga, Nidhog melompat ke arah pria itu bersiap untuk menancapkan cakar dan giginya pada bagian tubuh manapun yang bisa didapatkannya.

Tangan sang penjagal lebih dahulu menghantam si kecil, membuatnya terlempar ke arah pohon. Sekali lagi, Nidhog merasakan luapan tenaga meledak beserta amarahnya. Kakinya mendarat pada salah satu batang pohon lalu melontarkan tubuhnya ke arah Zeal. Dengan kecepatan tinggi, tinjunya mendarat pada wajah Zeal hingga membuat tubuh mantan jenderal itu goyang. Dalam sepersekian detik, Zeal berhasil mengembalikan momentumnya yang hilang, segera menangkap tangan Nidhog lalu mengibasnya ke arah tanah dengan sekuat tenaga.

Debuman keras mengantarkan tumbukan tubuh iblis kecil itu ke tanah. Membuat beberapa rusuknya patah hingga ia tidak mampu melakukan perlawanan balik. Sebelum sempat melakukan apapun, berkali-kali tubuhnya dihantam tanpa bisa melawan.

Kaki besar Zeal menendangi Nidhog beberapa kali sampai ia menyadari beberapa gigi anak itu tanggal, wajahnya terlihat mulai rusak, hingga bermuntahkan darah. Ia memutuskan menghentikan tindakan anarkisnya. Wajahnya yang sempat terlihat penuh niat membunuh, kembali menjadi Zeal yang santai.

Zeal memandanginya dengan remeh, tanpa ada belas kasihan pada sorot matanya. Kemudian ia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu.

"Hei bocah. Camkan ini baik-baik!" kata Zeal sambil membelakanginya. "Di dunia ini, yang kuat membunuh yang lemah." Lanjutnya sambil berjalan menjauhi tempat itu, sampai menghilang ditelan oleh dedaunan dan semak-semak lebat.

Pandangan Nidhog mulai kabur, pikirannya berangsur pergi dari tempat itu. Menyerah dengan panca inderanya, Nidhog merangkak mendekati tubuh Bella perlahan-lahan. Memeluk tubuh sahabatnya yang tak bernyawa. Sepintas ia teringat kepada dua petualang bodoh yang juga gagal melindungi orang yang mereka sayangi. Kini hal yang sama terjadi pada dirinya.

Air mata kekecewaan mengalir dari matanya yang terpejam. Kekecewaan terhadap kelemahan.

Si kecil akhirnya tidak sadarkan diri. Sementara pertarungan di hutan Bamboo belum berakhir.

avataravatar
Next chapter