webnovel

Sirkuit Kenangan

Di mana ini?

Debu membumbung tinggi di bawah terik matahari yang panas. Bau anyir darah dan keringat berkumpul menjadi satu menciptakan aroma yang tidak sedap.

Apa yang sedang terjadi?

Banyak orang dengan pakaian besi tengah beradu fisik dengan senjata di tangan masing-masing. Teriakan demi teriakan menggema di semua tempat, memekakkan setiap telinga yang mendengar.

Siapa mereka?

Cahaya sihir berwarna-warni keluar dari telapak tangan manusia berbaju hitam, mengenai target di depan mereka. Gelombang sihir membuat para raksasa, manusia serigala dan iblis terpental beberapa meter jauhnya. Namun, makhluk lain sejenisnya segera menyerang para manusia itu dan membuat mereka menghentikan sihirnya.

Apakah ini mimpi? Tangan itu mencoba menyentuh sebuah tameng besi yang berada di bawahnya.

Tidak bisa disentuh? Jadi ini memang mimpi? Kenapa aku bermimpi seperti ini? Ini seperti ... sebuah peperangan.

Kepalanya berputar ke kanan-kiri, mencoba mencari petunjuk jalan keluar. Di kejauhan, dilihatnya sesuatu yang menarik perhatian. Di tengah kerumunan itu, terdapat seseorang yang dirantai. Sayapnya berwarna biru dan merah. Lingkaran sihir di atasnya mengeluarkan rantai hitam besar yang melilit tubuh makhluk itu. Sayang, hanya punggung bersayap itu yang dapat dilihatnya karena posisinya membelakangi.

Apakah itu manusia burung? Mengapa dirantai?

Samar-samar terdengar teriakan makhluk itu menyebutkan sebuah nama.

Sharon ....

Sharon ....

....

....

Mata lentik itu terbuka. Atap kayu yang sama masih tetap menjadi pemandangan pertama di kala bangun tidur. Perlahan kesadarannya terkumpul. Tubuh remaja itu dipaksa bangun dan meraih segelas air di atas meja kayu. Kerongkongannya terasa kering.

Cassandra menyandarkan tubuhnya ke dinding. Hari masih gelap, dan dirinya sudah terbangun. Padahal hari esok aktivitas mencari kayu bakar membutuhkan tenaga yang banyak.

Cassandra merenung. Selama beberapa hari terakhir ini dirinya sering bermimpi aneh. Seperti dua hari yang lalu, dia memimpikan dua orang wanita yang kepalanya dipenggal di atas tebing. Cairan merah pekat mengucur ke tubuh dan baju mereka. Tentu sang eksekutor tak luput dari cipratan darah ketika memotong kulit dan tulang kepala korbannya.

Setelahnya, kepala itu dibuang ke laut. Tanpa merasa bersalah, eksekutor itu mengarahkan pedang besarnya ke arah wanita lain yang juga berada di sana dalam posisi menelungkup. Lelaki bertubuh tinggi dan besar berjalan mendekati calon korban yang tidak berdaya. Ketika hendak mengayunkan senjata ke bawah, tubuh wanita itu memancarkan sebuah cahaya yang sangat terang. Cahaya itu membuat beberapa orang yang ada di sana melarikan diri, termasuk eksekutor itu.

Hingga kini, Cassandra belum mengetahui alasan orang-orang itu lari ketakutan melihat cahaya tersebut.

Gadis itu menghela napas pendek. Matanya masih terasa mengantuk. Akan tetapi, dia takut untuk tertidur kembali. Takut kembali bermimpi aneh lagi. Meskipun hal itu tidak mempengaruhi kehidupan sehari-harinya selama ini, tapi hal itu cukup membuatnya risih. Setelah pertarungan batin selama beberapa saat, tanpa disadarinya, matanya terpejam. Sirkuit kenangan pada otaknya kembali menelusuri celah ingatan dalam pikiran dan membawanya bermimpi.

Ruangan itu terasa luas dan ramai. Banyak orang yang meneriakkan kata-kata yang sama.

“Hidup Raja dan Ratu yang baru.”

“Hidup Raja dan Ratu yang baru.”

Kalimat yang sama, yang terua diulang berkali-kali. Sihir berwarna-warni beterbangan di udara, ikut memeriahkan suasana.

Jauh di depan, tempat yang paling mencolok karena dihias dengan indah dan lebih tinggi dari yang lain, terdapat dua orang berlainan jenis. Seorang lelaki dan seorang wanita duduk di atas singgasana. Baju yang gemerlap dengan warna senada, dan mahkota di atas kepala masing-masing, menandakan jika merekalah yang dimaksud oleh orang-orang itu sebagai raja dan ratu. Namun, wajah keduanya tampak samar.

Cassandra mencoba menebak tempat ini. Namun, gagal. Dirinya sadar jika ini adalah mimpi anehnya untuk ke sekian kali, dan hal itu tidak membuatnya terkejut lagi.

Seorang lelaki berjalan ke arah Cassandra dari depan. Tatapannya seperti menangkap keberadaan Cassandra, lurus dan serius. Namun, tubuh itu terus berjalan menembus Cassandra yang memang transparan.

Lelaki yang cukup tampan dengan tubuhnya yang kekar. Kedua matanya memiliki warna bola mata yang berbeda. Merah dan biru. Rahangnya tegas dengan hidung mancung yang menggemaskan.

Seandainya ini bukan mimpi, pasti laki-laki itu akan kubawa ke hadapan Nenek. Nenek yang selalu ribut tentang jodoh, pasti tidak akan menolak. Cassandra tersenyum geli mendengar pemikiran absurdnya.

Tiba-tiba Cassandra merasakan sesuatu menggelitik telinga, hidung dan mulutnya.

Di sebuah rumah sederhana, seorang wanita tua tengah mempersiapkan sarapan di meja makan. Tangan keriputnya cekatan menata ubi bakar, sayur dan sepotong daging kelinci asap yang didapat dari hasil berburu kemarin di atas piring.

“Cass, bangun. Sarapan sudah siap!”

Hening. Tidak ada suara balasan dari seberang kamar yang pintunya tertutup. Menghembuskan napas kesal, wanita itu masuk ke dalam kamar. Dia melihat seorang remaja yang masih terlelap meski matahari sudah naik.

Diam-diam wanita tersebut mengeluarkan sihirnya. Sekelompok air membentang panjang, terbang masuk ke dalam hidung remaja itu dan keluar lewat telinga, kemudian masuk lagi dari mulutnya yang terbuka dan keluar lewat hidung.

Cassandra, sang cucu yang masih terlelap mulai merasakan sensasi aneh. Tanpa sengaja dia menghirup air dan membuatnya tersedak.

“Nenek! Kau mau membunuhku?” teriak Cassandra terbatuk-batuk. Dilihatnya sang pelaku menatapnya tanpa rasa bersalah di atas kursi seberang kasurnya.

“Kalau Nenek mau membunuhmu, tentu Nenek tidak akan menyiapkan sarapanmu. Matahari sudah tinggi, kenapa kau masih di sini? Cepat bangun, sarapan, dan cari jodohmu,” perintah Nenek Esphe.

Cassandra mendelik begitu mendengar kata ‘jodoh’. Baru semalam dia bertemu laki-laki tampan, dan sekarang neneknya kembali merongrongnya dengan kata-kata itu. Ah ... betapa kejamnya dunia, pikir Cassandra.

Dirinya masih delapan belas tahun dan wanita di depannya ini sudah mengungkit-ungkit kata sakral itu hampir setiap hari. Jangankan kekasih, teman saja dia tidak punya. Siapa yang mau berteman dengan yatim piatu miskin sepertinya?

Cassandra bergegas turun dari ranjang menuju meja makan. Saat hendak mengambil sepotong ubi bakar, tiba-tiba sebuah pukulan mendarat di punggungnya.

“Cuci muka dan gosok gigi dulu” larang Nenek Esphe. Cassandra berlalu sambil bersungut-sungut. Padahal dia sendiri tadi yang menyuruhnya untuk bangun dan sarapan, batin Cassandra kesal.

Beberapa saat kemudian, Cassandra bersiap-siap mengerjakan aktivitas hariannya setelah menyantap habis sarapan favoritnya. Semua peralatan lengkap, saatnya berpamitan kepada sang nenek.

“Nenek, aku berangkat!” teriak Cass sambil mengenakan sepatu yang sudah berlubang di kedua ujungnya.

“Ke mana?” tanya Nenek Esphe dari belakang rumah. Wanita tua itu tengah memanen beberapa sayuran untuk menu makan siang nanti.

“Tentu saja mencari jodoh,” jawab Cassandra asal. Dia berjalan ke samping rumah demi melihat satu-satunya orangtua yang dimilikinya saat ini.

“Jangan pulang membawa monyet lagi. Nenek tidak akan merestui meskipun kalian berjodoh.”

Cassandra tertawa mengingat kejadian konyol itu. Karena sang nenek terus-menerus menerornya untuk mencari jodoh, akhirnya dia membawa pulang monyet dari hutan demi memenuhi permintaan Nenek. Hasilnya sudah bisa ditebak. Nenek Esphe yang murka mengembalikan monyet itu ke hutan dan memukuli tubuh Cassandra dengan kekuatannya yang tidak seberapa.

Bagaimana mau mencari jodoh jika kesehariannya hanya dihabiskan di hutan untuk mencari ranting-ranting pohon dan dijual ke pasar. Setelah pulang dari pasar, dirinya masih harus membereskan rumah dan merawat tanaman sayuran agar mendapat hasil panen baik, yang nantinya sebagian dijual ke pasar. Cassandra tidak mau pusing memikirkan apa yang diminta neneknya. Biarkan waktu yang mempertemukan mereka nantinya.

Jarak antara rumah Cassandra ke hutan terbilang cukup dekat apabila dibandingkan dengan pusat pulau. Membutuhkan perjalanan 3 jam dari sana dengan menaiki kereta, sedangkan Cassandra hanya membutuhkan waktu 1 jam ke hutan dengan berjalan kaki.

Next chapter