webnovel

Mengorek Luka

"Kedatanganku bukan untuk mengorek luka, tetapi jika takdir memang ingin membenturkanku dengan masa lalu. Aku tak akan berlari menghindar darinya (lagi!)"

*****

Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta, terlihat begitu ramai. Aku melangkah keluar dari pintu kedatangan, menuju tempat parkir. Ponselku terus saja bergetar. Pesan-pesan singkat bertubi-tubi masuk. Tak satu pun aku baca dan balas. Aku lelah.

Pikiranku melayang pada peristiwa dua hari yang lalu sebelum keberangkatanku ke Jakarta. Sebuah peristiwa yang membuatku terus saja didera rasa bersalah hingga sekarang.

Aku tak pernah menyangka semua akan menjadi seperti ini. Namun, aku tak pernah bisa menolak takdir yang memang sudah seharusnya terjadi dalam kehidupanku. Apapun itu, aku harus bisa menerima dan menjalaninya.

Beruntung, beberapa hari ini aku mendapatkan seorang teman bicara. Seseorang yang setidaknya bisa membuatku sejenak tersenyum dan melupa beban. Aku bisa menjadi sedikit tenang tatkala berbicara dengannya. Semoga saja dia tak merasa terganggu dengan kehadiranku.

Satu tangkapan layar yang aku baca dari status media perpesanannya kemarin malam, bisa membuatku tersenyum. Setidaknya, kehadiranku bisa menjadi terang dan memberi kebahagiaan pada orang lain. Memang hanya itu yang aku harapkan di sisa waktu hidupku.

Ponselku bergetar, kali ini tak juga berhenti. Aku merogohnya dari saku celana. Sebuah nama terpampang di layar. Segera saja aku menggeser bulatan berwarna hijau di sana.

"Iya, aku di tempat parkir. Aku sedang menuju ke situ. Tunggu."

Panggilan itu segera ditutup oleh orang yang meneleponku. Aku kembali melangkahkan kaki, menuju ke sebuah Nissan Terrano silver yang berada di ujung tempat parkir.

Seorang perempuan ber-niqab, dengan warna krem, terlihat berdiri di samping mobil. Matanya tajam mengawasi kedatanganku. Aku hanya mampu tundukkan kepala, tak membalas tatap matanya.

"Lama. Kaya keong jalannya."

Aku tak menanggapi ucapannya. Nada ketus seperti itu sudah sering kali aku dengar di setiap dia meneleponku. Aku membuka pintu mobil bagian belakang. Terlihat seorang anak kecil tertidur di sana.

"Di depan saja. Biarkan dia tidur. Jangan diganggu. Taruh aja kopernya di bagasi."

Lagi dan lagi. Nada ketus itu tak pernah hilang dari setiap kalimatnya. Aku masih saja diam. Menaruh koperku di bagasi mobil dan segera duduk di depan, di samping wanita yang matanya tak pernah lepas mengawasiku sedari tadi.

"Apa, sih, dari tadi memandangnya seperti itu terus? Mana ketus pula bicaranya. Sudah tahu pesawat datang jam berapa, jalan dari pintu keluar ke tempat parkir juga lumayan jauh."

Kali ini aku terpaksa angkat bicara, saat dia terus saja tak melepaskan pandangan. Mobil tak juga berjalan. Wanita itu terlihat begitu kesal dan beberapa kali mengembuskan napas panjang.

"Kamu nyetir, gih!"

Tiba-tiba saja dia bergerak melepas sabuk pengaman dan bersiap-siap membuka pintu di samping kemudi.

"Enggak! Kamu aja yang nyetir. Aku capek. Kalau enggak mau, ya, udah. Aku pesan taksi online saja. Capek aku, tuh, diajak berantem melulu sama kamu!"

Seketika wanita itu mengurungkan niatnya keluar dari dalam mobil. Dia menoleh ke arah belakang, anak kecil yang tertidur di sana seolah tak terganggu dengan pembicaraan kami yang sedikit keras.

Baru saja aku mengeluarkan ponsel dan hendak membuka kuncinya, dia langsung melotot ke arahku.

"Dari tadi pesan enggak dibuka. Giliran ketemu, malah mau asyik main ponsel. Apa enggak bisa nanti saja main ponselnya?"

Wanita ini benar-benar memancing emosi dan menguras habis kesabaranku. Aku menarik napas dalam-dalam, menutup mata, lalu mengembuskan napas panjang dengan keras.

"Ros, mau kamu apa sebenarnya? Jika aku tahu, bahwa permintaanmu agar aku menemuimu di Jakarta hanya untuk kamu ajak bertengkar, enggak bakalan aku mau menurutinya!"

Tanpa menjawab, wanita itu menyalakan mesin Nissan-nya. Mobil melaju keluar dari tempat parkir bandara. Aku sudah tak berniat lagi menikmati gemerlapnya lampu Kota Jakarta di sepanjang perjalanan. Aku memilih menyandarkan kepalaku di jok dan menutup mata.

"Mami, kita mau jalan-jalan ke mana?"

Tiba-tiba saja, suara anak kecil terdengar di belakangku. Refleks aku menoleh. Terlihat anak itu duduk dan mengucek matanya. Dia tersenyum saat menatapku.

"Hai, Om. Oleh-olehnya mana?"

Segera saja aku merubah posisi duduk agar bisa menjangkau anak itu. Lenganku terjulur, dia bergeser dan mendekat. Aku memeluknya dengan erat. Wanita di sampingku sekilas melirik. Lalu diam menatap lurus ke depan, ke arah jalanan yang macet.

"Kemarin liburan ke mana sama Mami, Nak? Kok kamu tahu, Om mau datang ke Jakarta? Perasaan, Om-"

"Aku yang kasih tahu kalau kamu mau datang. Lalu dia memaksa ikut menjemput. Padahal sedari siang dia tidak mau tidur. Bandel. Sama persis seperti ...."

Wanita itu tiba-tiba memotong ucapanku, tetapi seketika itu juga dia terdiam. Seolah-olah ada sesuatu yang membuatnya harus menahan ucapannya. Tanpa meminta persetujuan, aku melepas sabuk pengaman dan berpindah duduk di samping anak kecil itu. Tak ayal, tindakanku mengejutkan wanita itu.

"Heeh, enggak sopan!"

Anak kecil itu tertawa mendengar ibunya yang terkejut melihat sikapku. Dia segera memelukku saat aku duduk di sampingnya.

"Om, kemarin liburan ke mana? Pas Mami video call, suara Om tidak terdengar. Terus Mami marah-marah."

Kami berdua tertawa cekikikan saat melihat wanita yang berada di belakang kemudi itu mengomel tak jelas mendengar percakapan kami. Mobil terus melaju menembus padatnya lalu lintas Jakarta.

"Mi, kita ke Ancol, boleh?"

Anak kecil itu bertanya kepada wanita yang sedang fokus mengemudikan mobil, menyalip satu demi satu kendaraan lain di jalanan. Aku menatapnya dengan tatapan mata yang serba entah. Campur aduk perasaanku saat ini.

"Tidak, Sayang. Besok saja, ya. Ini sudah malam. Om juga harus beristirahat. Kita antar Om ke hotel saja."

Anak kecil itu tampak tidak suka dengan jawaban yang dia dengar. Aku mengelus rambutnya, mencoba menenangkan dirinya yang mulai resah. Aku takut anak itu tantrum dan berbuat di luar kendali.

"Eizka, bener kata Mami. Gini aja, deh. Biar Eizka percaya bahwa Mami tidak bohong, malam ini Om menginap di hotel dekat Pantai Ancol. Setuju?"

Aku mengangkat tangan, anak kecil itu tertawa dan menepukkan telapak tangannya ke telapak tanganku. Lalu dia memelukku dengan erat. Kami pun tertawa bersama.

"Mercure Ancol, ya, Ros. Malam ini aku tidur di sana saja. Besok, kamu ajak Eizka ke sana. Aku dan Eizka mau habiskan waktu di pantai."

Wanita itu hanya mengangguk perlahan mendengar ucapanku. Aku menatapnya. Entah, aku masih saja menjaga jarak dengannya setelah sekian waktu lamanya. Sikapnya yang masih saja tak berubah, dan luka yang masih kurasakan hingga kini, mungkin menjadi alasan utamaku untuk tetap bersikap sama terhadapnya.

Next chapter