1 Pesan Pembuka

"Jadi aku mesti bantu selesaikan gimana?"tanya Alea.

"Kamu jujur saja soal malam itu."

Ada berbagai kisah yang harus ditulis jika disusun berpasang-pasang, ada banyak guratan kata yang masih terurai menjadi frasa baru yang tertanam dalam benak. Benakku, anda, kita, atau bahkan milik siapapun. Banyak pula waktu yang membisingi ruah kelam yang berdenting di setiap dinding kamar. Delian, menatap atap kamar itu, berharap ada sepasang cerita yang ingin ia abadikan dalam secarik kertas putih. Tidak ada yang diharapkan selain angan dari sebuah makna yang tersusun dalam kisah ini. Jika ada berbait-bait kata yang pernah Delian janjikan, ada berbagai sesak yang menghimpit.

Aku masih berdecak diatas dinding yang reot, memandang sosok itu. Ada berbagai jalan kisah yang pernah kita arungi, juga berbagai titik rasa yang membelenggu. Alea, aku terkejut ketika ia memelukku hanya untuk mengucapkan terimakasih. Andai, ada butiran salju disana, pasti aku sedang merasa terlalu hangat. Banyak hal yang bertajuk, jurang antara aku dan ketidakwarasan untuk meraut beberapa nama mereka dalam pena. Alea Priananti, masih ingat betul aku dengan gadis itu.

Dia suka sekali bintang, andai aku juga. Banyak yang bertabur diantara kilatan rindu. Hingga ia membuka sebuah topeng kepalsuan di tengah malam. Jika mengharapkan banyak kisah tentang sepasang kasih merpati putih. Maaf, ini bukan kisah soal putih saja, bukan hanya juga soal kopi hitam manis. Sepenggal pergulatan dengan waktu, kisah yang lama atau bahkan sudah lapuk terurai. Aku coba mendaur ulangnya lagi. Maaf, ini bukan sampah.

Sebuah peluk yang kau perlihatkan di atas ranjang, itu bukan hal yang tak lain dari kata palsu. Aku hanya... Hanya anomali dalam hidup, terngiang-ngiang hingga meriang . Seperti 'anak kecil'. Tidak, bahkan lebih dari kata itu jika hanya sebatas rasa kesal yang ia lampiaskan. Pertemuan di awal sebuah pahatan berlukis nama sekolah ini, siapakah yang memahatnya? Jika aku tahu siapa yang memahatnya, aku akan mengucapkan terimakasih karena telah memahat tempat itu untuk mempertemukanku dengannya. Ada berbagai sosok yang masih mengingatkanku di masa lampau, memasuki jendela yang kubuka setiap malamnya. Angin itu, mengatasnamakan masa lampau untuk masuk. Mengorek beberapa bekas luka yang kering terjahit. Benar, aku tidak suka bintang. Banyak cerah di sana yang menertawakanku ketika sedang pahit. Mereka hanya berbinar ria. Akankah kisah hidup yang manis ini tergulir dengan secarik kertas asing yang datang melalui bisik angin, tidak jangan sampai. Aku terlalu palsu baginya.

Jalanan kota yang kosong, masih adakah berbagai peluk di sana? Sebuah hangat, juga sebuah kecup. Aku mengibaratkannya bagian dari hidupku saat ini, kosong saja tapi pernah terisi. Tetes air itu memusnahkannya dari cantik paras hati, aku bergidik. Mengibaratkan kau hanya sebatas merpati yang gundah mengirim surat itu. Kau berteman sejenak dengan kepingan raga yang hancur, aku disana. Di desirkan pasir berbisik yang menenggelamkanku dalam rindu. Datang saja, jangan ucapkan salam bila ingin pergi. Karena aku tak akan menjawabnya, hanya menggulirkan sesal dan air mata yang jatuh. Kisah ini menceritakan ketidakwarasan waktu menggulirkan cinta, menarik keras-keras butiran halus, jiwa yang sedang melekatkan kasih. Di tarik dalam jurang penuh luka. Aku ingin menjadi Dilan, agar Alea menyukai kisahku. Tapi, kisahnya tidak seperti Milea, banyak hal yang ditutupi. Memaksaku untuk masuk, menyembuhkan kain-kain yang terpotong. Selebur hatinya.

Ingatkah ia dengan kisah ini, semoga saja tidak ketika membacanya. Keluarganya terlanjur hancur, kisah cinta, dengan sebuah pembunuhan yang tragis. Siapakah yang bertopeng? Aku, ataukah penyuka bulan yang datang disetiap malammu yang indah. Akhir adalah bagian dari hidup baru, kau hanyalah bagian dari delusi hidup. Semoga tak ingat saja, jangan susun gugusan kisah itu. Jangan, rumit rasanya. 

Dia bergidik kala itu, andai aku bisa menyeka harunya dengan ikhlas yang tulus. Entah dalam ikhlas apa, semoga cepat usai lalu yang membuatnya hinggap pada binar mata ini. Aku tetap mengadu pada kisah yang melingkar dalam seputar benak otak. Jika ingin terbit kala itu, mungkin aku sedang terperangah diam, melihat indahnya terik. Andai kau tahu juga dengan raut kelamku malam itu, mungkin kau cepat untuk berbalik arah dan kembali. Mungkin sesaat untuk mendekap. Untuk apa mendekap? Bukankah ia bukan sepasang kemeja putih yang kemarin baru saja melekat di tubuhku. Bukan, dia bukan sekedar sosok itu. Jika senja tak seindah Alea, lalu seindah apa? Akankah seindah langit sedu yang sering menampung pilunya dengan awan, kemudian seketika turut jatuh meneteskan air mata.

Dengarkan saja dinding reot itu, aku mungkin sekedar bertopang dagu. Melepaskan sejenak rasa yang ingin hinggap, anomali rasanya. Kenapa harus demikian, dia sedang berpulang jauh. Tiada sedikitpun merpati datang mengirim secarik kertas, dengan bulu-bulunya yang lembut putih. Dia merana, dibalik sosok lemah itu, atau bahkan bisa sejenak membawanya untuk pupus. Jika tahu dia sedang berdenting, kenapa dia melamun. Tangannya masih terperangkap ujung kelam. Hanyut tenggelam.

Tak adil rasanya bila tetap ia rasakan dalam. Akankah kembali sebagian hidupnya? Jika pohon kelapa yang ia tatap masih berada dalam gundah, kenapa ia demikian. Bukan Alea, bila hanya tertegun hanyut menatap desir senja. Atau sekadar ditikam malam yang tak berujung, sepi rasanya. Kemana lepas hinggap? Akankah kembali padanya. Ia juga masih bertanya sosok itu, siapakah dia? Apakah masih bertahan tegap dalam cinta yang membelenggu? Akankah kegelisahannya sirna? Tidak, ini tidak sirna. Jika rumit harus kacau, tidak mudah juga untuk pupus kau tahu. Bila ingkar juga berduka, jangan mengepal kisah sayup yang kelam sore itu. Entah kisah apa? Aku sudah tak ingin mendengar sedikitpun.

Kau tahu Alea, jika kisah ini pernah membuatmu berderai tetes tangis, jangan. Aku hanya ingin bersedu. Jika ingin aku mengutarakan bait sajak, jangan. Mungkin nantinya mereka tahu akan itu. Jika kau masih berandaikan gurat senyum, mungkin aku hanya senyap tersenyum ditengah malam. Masihkah kau ingat bulan sore itu? Aku anggap masih saja, biar jiwamu masih merasa, saya terlena merona. Kau tahu juga cerita sepasang dinding batu di rumah Alina, aku yakin kau tahu itu. Bukan waktu saja yang membawaku tinggal lebih jauh, hingga hinggap tanpa sayap. Hanya saja, kau perlu tahu Alea, tidak pernahkah aku menyalahkan jarak? Semoga saja tidak, ataukah kau. Mungkin saja sudah tenang, waktu yang menciptakan semuanya. Aku hanya berjalan, mengiringi detik demi detik. Hingga hanyut semakin hilang, bodohnya.

"Masih ingat tentang kita?" tanyanya. Delian menunduk menatap wajah gadis itu. Sedikit tertegun, jika ada banyak yang harus diungkit untuk mengisahkan cerita ini.

"Masih, kamu juga?" jawab Lian. Delian, panggil saja Lian.

"Untuk apa?" tanya Alea.

"Untuk mereka membacanya, biar kita kenang bersama. Mungkin tidak harus beberapa." Ia mengerutkan kening, meninggikan pundak dengan sweater pink malam itu. Bukan frasa yang membuat Delian ingin terkapar, atau hanya sebuah denyut jantung yang semakin cepat membuatnya sesak. Saya yakin, ada sedikit hal yang tidak perlu diceritakan dalam kisah ini.

"Jadi aku mesti bantu selesaikan gimana?" tanya Alea.

"Kamu jujur saja soal malam itu." Delian terperangah, mungkin ini kalimat yang sekali ia tuntutkan kepada Alea untuk segera ia jawab. Atau mungkin terlalu hancur, hingga hanyut tertelan. Alea mengingatnya. 

avataravatar