9 Teman

Selamat membaca

°•°•°

"SEAAAN...!" kencang, panjang, dan menggelegar. Aku sudah tak tahan.

"APA?!"

"Lepas..." lirihku memohon di sela-sela tawaku akibat ulahnya.

Sean yang masih sibuk menggelitik pinggang rampingku malah tak kunjung berhenti. Sedangkan aku, sekuat tenaga meronta-ronta. Sampai rambut panjangku yang tadinya tergerai rapi menjadi berantakan tak karuan. Belum lagi jantungku yang berdegup kencang tak terkontrol. Aku juga tidak tahu kenapa Sean bisa sedekat ini denganku.

"Kasih tau dulu!"

"Sean... Kamu kan lebih pinter dari aku, nggak mau ah..." mengeratkan buku tulis yang ada di dekapanku karena ingin diambil olehnya. Bukannya aku tidak ingin menunjukkan padanya, tapi aku hanya malu kalau pantunku itu tidak sebagus dengan karyanya.

"Yaelah liat doang. Perasaan dari kemarin nggak boleh liat. Mana ada belajar kelompok kayak gini." cerocosnya dengan kedua tangannya yang masih sibuk menggodaku.

Aku sendiri masih merasa kegelian. Dengan sekuat tenaga aku memerintah, "lepas dulu...!" Sean yang mendengar nada tegas dari bibirku pun menghentikan aktivitasnya.

"Gitu dong dari tadi. Mana?" aku yang semula duduk di lantai bersamanya kini buru-buru bangkit. "Heh!" pekiknya, karena aku sudah lari. Aku berkeliling di sekitar ruang keluarganya, tempat yang kami gunakan untuk belajar.

"Tangkep dulu kalau bisa!" tantangku yang sebenarnya cuma sebatas bercanda.

"Belum tau ya..." ucapnya santai. Langkahnya pun tak kalah santai. Aku yang melihat jaraknya masih jauh mulai ikut memelankan langkahku. Tanpa kuduga ia mencoba berlari dan mendekat kearahku, aku yang masih mengatur napas singkat kembali menguji jantung.

"STOP! STOP!" perintahku dengan telapak tangan yang sudah menempel di perut ratanya. "stooophhh..."

Dahi laki-laki berkaos biru dongker itu mengernyit, bingung. "Kenapa?"

Aku terengah-engah menatap tajam manik matanya. "Capek!"

Sean terkekeh. "Salah siapa? Udah tau gampang capek, gaya-gayaan pake lari segala... Makanya jangan sok-sokan."

"Woi!" aku menoleh ke sumber suara. Terlihat di ruang tamu Alin tengah menenteng dua plastik putih yang entah apa isinya aku belum tahu. "Bantuin kek. Malah pada pegang-pegangan. Kalian habis ngapain?" refleks, aku menarik tanganku yang tengah mendarat di perut Sean, sedang lelaki di depanku itu mengedikan bahu, bersamaan dengan itu kakinya melangkah ke arah dapur.

Baru saja aku ingin membantu gadis polos itu, Nino sudah muncul dari arah belakang tubuh nya. Sang laki-laki lantas menyambar cepat salah satu plastik yang ada digenggaman tangan kiri Alin.

"Gini aja berat? Alay!" kata Nino lantang seraya matanya menatap Alin tak suka. Aku yang melihat raut wajah kesal teman perempuanku itu pun tersenyum kecil. Nino melanjutkan jalannya dan melewatiku, ternyata dia mengikuti jejak Sean yakni ke arah dapur.

"Ish... Gitu-gitu tetep ngebantu. Kalau nggak mau kan bisa langsung masuk. Pakek ngata-ngatain lagi... Aneh!" omel Alin setelah dirinya berdiri tepat di sampingku.

"Udah-udah... Ntar malah suka lho..." godaku seraya menaik-turunkan kedua alisku. Tak lupa juga mencolek dagunya, khas orang kalau ingin menggoda.

"Apaan sih?! Amit-amit!"

"Nggak usah pada ribut! Siapin tuh makanannya!" teriak Nino dari dapur yang aku iyakan dengan sahutan keras.

"Pengatur!" cibir Alin terdengar kesal.

"Udah deh, suka beneran baru tau rasa!"

"Nih anak, bukannya nyemangatin temen malah doain yang enggak-enggak." pukulan ringan di lengan kananku membuatku tertawa.

"Inget Lin, kita nggak tau siapa jodoh kita nanti. Bisa jadi kan kalau dia orang yang awalnya kita benci?" ucapku setelah berhenti tertawa.

"Apaan lagi... Nggak usah bahas ginianlah, bikin takut aja."

"Mana makannya?" tanya Nino yang tiba-tiba saja hadir dengan teko berisi sirup warna hijau ditangannya. Membuatku menelan ludah karena haus melanda begitu saja. Pasti segar.

Aku yang sudah mengeluarkan martabak dari dalam plastik mengangkatnya tinggi-tinggi agar Nino bisa melihatnya karena memang posisinya terhalang tubuh Alin yang ada di depanku. Sedangkan Alin yang dari tadi hanya berbicara, kini sibuk mencari sesuatu yang juga ada di dalam--tempat martabak tadi, mungkin mencari cemilan.

Sean datang dengan empat gelas yang sudah terisi---diatas nampan yang di bawanya. "Minum dulu nih... Makanannya aku yang siapin nanti. Nggak usah dengerin omongan Nino. Dia aja dari tadi nggak ngebantuin." sontak Alin menghentikan aktivitasnya yang sedang mengeluarkan beberapa snack.

"Dasar!" menyorot tajam ke arah Nino yang tengah tersenyum puas.

Aku menggeleng. "Jodoh pasti ber...te... mu..." bisikku bernada, sesuai dengan lagu itu. Tepat di telinga kiri Alin lalu menjauh dari sisinya beralih ke arah meja tempat minuman yang telah disuguhkan Sean.

°•°•°

Aku tidak tahu terbuat dari apa pikiran Sean itu. Aku pun tidak tahu terbuat dari apa perasaanku ini. Begitu mudahnya Sean memperlakukanku seperti tadi tanpa memikirkan efeknya pada perasaanku, dan segitu gampangnya juga aku jatuh pada tingkahnya itu. Sean-Sean, kamu membuatku selalu bimbang.

"Dimakan Dea...!" perintah lelaki yang duduk di sebelahku. Siapa lagi kalau bukan orang yang aku pikirkan barusan. Aku manggut-manggut tanpa menoleh padanya.

"Kamu kenapa?" bisik Alin di telinga kiriku setelah aku menelan nasi goreng yang sudah aku kunyah. Belum sempat menjawab, Alin bertanya lagi namun dengan nada sedikit menggoda, "gara-gara adegan pegang-memegang tadi ya?" sontak aku terbatuk. Dasar Alin! Dengan cepat aku meraih gelas di depanku dan meminumnya hingga habis tanpa sisa.

"Pelan-pelan kali minumnya..." suara Sean menginstrupsi.

"Iya." balasku dengan senyum paksaan lalu menatap Alin dengan kedua bola mata yang seakan ingin keluar. Sedang yang kutatap seakan merasa bersalah. Ia melipat bibirnya sembari menggeleng kecil dengan jari membentuk huruf 'v'. Aku yang tahu maksudnya yakni tidak sengaja pun mengangguk memaafkan.

Tunggu. Pegang? Memegang? Perasaan hanya aku yang spontan memegang perutnya. Ya, perut ratanya yang mampu membuat pipiku memanas seketika. Sekarang jantungku yang ikut-ikutan bermasalah. Oke. Makan dulu Dea! Jangan pikirin perut Sean yang rata. Fokus!

Aku menggeleng berusaha mengenyahkan pikiran gilaku itu. Melanjutkan makanku yang sudah tertunda beberapa kali. "Lah, pada udah selesai?" kulirik samping kanan, kiri dan depanku.

Dimana Sean, Alin dan Nino tengah duduk. Sean sendiri sudah selesai makan. Kini dia tengah memainkan ponselnya yang entah untuk apa. Sama halnya dengan Sean, Nino juga mengotak-atik benda pipih ditangannya. Sedang Alin, ia sibuk dengan martabak yang tadi dibelinya bersama Nino.

"Udahlah De, emang dari tadi rohmu melayang kemana?" suara Alin yang membuatku mendengus. Tak ingin membalas perkataannya, aku pun mengajaknya untuk membereskan bungkus-bungkus makanan yang harus masuk ke tong sampah secepatnya. Mempersingkat waktu karena mengingat langit yang sudah menggelap.

"Kali ini harus pada nunjukin kerjaannya tadi. Saling kerjasama bukannya kerja sendiri-sendiri. Namanya kan belajar kelompok." ujar Sean membuatku yang tengah asik menata meja, menyipit ke arahnya. "Kalau nggak mau aku kasih tau Pak Beni." bibir merah Sean melengkung keatas. Aku tahu maksudnya. Bilang aja kalau mau baca pantunku! Pake bawa-bawa Pak Beni segala.

"Oh iya, yang kemarin belum sempet dirembug juga kan?" tanya Alin memastikan. "Kemarin kan aku langsung pulang gara-gara mau ke Solo."

"Kalo mau pulang lagi juga nggak masalah. Pintunya terbuka lebar. Perlu saya antar? Saya rasa perlu." ujar Nino yang membuat Alin memutar bola matanya.

"Kenapa si No? Suka sama Alin? Kalo suka tembak aja kali." ucapan Sean membuatku ingin ikut menambahi tapi urung karena ucapan Alin yang tak terduga.

"Kalo Nino sama aku, kamu sama Dea. Gitu maksudnya?" berani sekali Alin mengatakan itu.

"Ngomong apaan sih dari tadi? Aku pengen pulang deh... Takut telat pulang terus dimarahin Diya." protesku yang membuat Alin tersenyum jahil.

"Hm... Mengalihkan pembicaraan... Masih jam delapan juga..."

"Heh! Siapa juga yang mau sama anak polos! Dari dulu pake jepit aja, kek anak paud tau nggak?! Inget umur..."

"Apaan sih, emang aku mau sama kamu? Pede banget!"

"Lah tadi ngapain nyuruh-nyuruh Sean ama Dea segala."

"Ye, kalau itu sih emang."

"Ya udah nggak usah bawa-bawa nama orang. Apalagi jodohnya kamu! Cewek alay! Kalo polos-polos aja, nggak usah plus alay. Nggak pantes..." Alin terlihat sudah menahan kesal. Aku tahu ucapan Nino lah penyebabnya.

"Stop!"

"Berhenti!"

Aku dan Sean melerai keduanya secara bersamaan tanpa aba-aba. "Dari tadi kan cuma bercanda No... Ngapain pake marah-marah nggak jelas." sambung Sean lalu meminum es sirup buatannya. "Kayak Dea tuh, dijodoh-jodohin juga biasa aja. Emang semua kan temen." aku terdiam mencoba untuk menyerap dengan benar apa yang barusan lelaki yang kusuka itu katakan. Aku tertawa hambar dalam hati.

Makasih Sean karena kamu sudah mengingatkan. Aku tahu kalau kita itu cuma sebatas teman. Aku juga sadar kalau perasaanku ini terlalu cepat. Ya, memang semua ini beresiko khususnya untukku, terutama hatiku yang beresiko untuk patah. Karena hanya satu hati yang merasa dan tetap singgah disana, sedangkan hati yang lain, entah terbang ke mana. Tanpa memedulikan hati itu yang selalu menyapa.

Aku memaksa bibir untuk tersenyum menatapnya. "Iya, bener kata Sean. Cuma temen." yang dibalas Sean dengan kernyitan dahi. "Eh? Ah, salah... Kan emang temen... Hehe." sambungku membenarkan ucapanku. Lalu acungan jempol miliknya diarahkan untukku. Aku sadar, sepertinya kata 'cuma' membuatnya berpikir bahwa aku seperti menginginkan lebih dari sekedar pertemanan.

°•°•°

Gimama? Kurang? Selalu berusaha.

Setidaknya katakan, cerita ini layak dilanjut atau tidak (biar semangat nulis kalo disuruh lanjut, enggak juga ya sudahlah)

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter