webnovel

Tamu Tak Diundang

Selamat membaca :)

°•°•°

Hari ini adalah hari yang menurutku paling ditunggu-tunggu oleh manusia, hari Minggu. Ya, bagi aku pribadi, Minggu itulah hari yang penuh kebebasan dan kecintaan bagi beberapa orang, bisa jadi untuk setiap orang? Mungkin... juga pagi ini, senyumku belum pudar dari awal aku membuka mata. Ketika menatap jendela kamarku yang masih tertutup rapat.

"AKU JALAN DULUAN, DEA!"

"OKEIII...!"

Akhirnya Nadiya yang pamit duluan. Sedangkan aku, masih sibuk memoles pewarna bibir yang licin ini --- tipis-tipis --- di depan kaca rias. "Boleh muji diri sendiri nggak nih?! Kalo Alin di sini, pasti heboh!" Kegirangan karena hasil wajahku yang natural tapi terkesan manis, hehe percaya diri dikit.

"Oke, sekarang gantian rambut." Aku melamun sebentar untuk membayangkan model rambut yang mau kutampilkan setelah keluar kamar. "Ow! Digulung ke atas aja kali ya! Daripada digerai terus... bosen."

Menggabungkan semua rambutku tanpa sisa menjadi satu kesatuan, lalu kuangkat tinggi. Mungkin jaraknya tiga sentimeter lagi hampir pas di ubun-ubun. Sedikit lagi hampir sejajar dengan telinga. Kuputar-putar rambut panjang nan hitam ini seperti memeras baju, setelahnya kugulung. Paling terakhir, diikat kencang oleh karet rambut merah yang baru kuambil dari atas meja. Pastinya untuk membuat cepolanku ini aman dari goncangan. "Okeh! Cukup...."

Meneliti tampilanku dari ujung kepala. Hingga di mana panjang two piece dress motif garis-garis horisontal merah-hitamku, membalut sampai di bawah lutut. Aku rasa, aku sudah cantik. Tak lupa flat shoes merah, untuk memperlengkap. Tas slempang hitam yang di sudah aku siapkan di atas ranjang berbungkus sprei kembang-kembang ungu-putih langsung kupasangkan dibahu kanan. Di saat benar-benar siap, aku menarik napas sebelum keluar kamar.

Seperti biasa, aku menunggu Alin di teras rumah sehabis mengunci pintu. Beberapa menit kemudian, kulihat mobil silver tehenti di depan pagar hitam. Buru-buru aku mendekatinya.

Sampai di dalam kendaraan roda empat ini aku menoleh. Di sebelah kursi sang pengemudi, yang tak lain adalah sahabatku, dia tengah mengembangkan senyum manisnya. "Udah siap foto-foto?"

Aku mengangguk antusias dan tersenyum. "Kenapa enggak? Seru banget pasti!" Alin mengiyakan.

Tangan dan kakinya mulai menjalankan mobil. Kemarin, aku sempat kesal dengannya. Kudiamkan saja si Alin ketika di sekolah sampai jam delapan malaman. Dan, idenya hari inilah yang menjadi wujud permohonan maafnya yaitu, kita bereempat akan menghabiskan hari ini dengan berfoto ria! Yuhuuu... Kapan lagi?!

Senyumku semakin melebar. "Nggak sabar BANGET-BANGET-BANGET, Lin...!" teriakku yang memang benar-benar sangat excited. HUH! BAHAGIA TAK TERKIRA!

Si pemakai jepit pita warna jingga itu malah tertawa. "Girang banget, De-De...

Kalo gini, yang alay aku apa kamu, hem?"

"Alaaah...! Ngaku jugalah kamu... kamu menanti saat-saat ini, kan?" tanyaku seraya menaik-turunkan alis. Aku yakin beratus-ratus persen kalo kamu baper sama Nino! Ya, kan? Hayooo... iya kan?!" desakku, agar Alin mau mengaku. "Sok-sokan kamu tuh!"

"Hiiiih... apaan si, enggak mungkin mau sama dia aku tuh... usilnya minta ampun, Dea...! Nino bukan-selera-aku!" diakhiri dengan membuang napas kasar.

Aku yang kaget langsung komentar, "dih... sok banget pake bilang bukan selera segala lagi...!" sambil geleng-geleng kepala dengan sisa senyum riangku karena acara hari ini.

"Iiih... Emang bener kok!"

Aku manggut-manggut saja biar dia senang. "Ya-ya... oke, percaya-percaya." mendengar jawabanku, Alin malah cemberut. Ia kembali fokus mengatur setir.

Hampir sama, kutatap jalanan depan yang ramai akan pejalan kaki, sepeda, sepatu roda, dan aneka macam pedagang. Mungkin mereka belum sadar kalau ini sudah jam sembilan, yang di mana jalanan sudah mulai dibuka. Bukan saat-saat hari yang bebas kendaraan lagi.

Setelah berperang melawan kerumunan orang dari semua kalangan usia, kita berdua turun dar benda silver ini. Menapak di tempat yang belum pernah aku kunjungi sama sekali. Aku tersenyum cerah lagi.

"Lirik kanan dikit, De..." bisik Alin yang berjalan di samping kiriku. Sesuai arahannya, aku langsung menelan ludah ketika melihat sepasang kekasih yang baru saja keluar dari mobil merah. Jarak mereka dari sini mungkin hampir sepuluh meter. "Heran deh... ngapain dia ikut?"

"Kamu aja nggak tau, apa lagi aku?"

"Perasaan, aku enggak ngajak Elisa, De."

Kedua bahuku terangkat. "Mungkin mereka berdua habis jalan bareng. Makanya dia sekalian ngikut..." senyum tipisku keluar. "...daripada Sean nganter dia pulang kan? Malah bolak-balik."

"Hem... males deh liatnya."

Aku terkekeh. "Yang suka sama Sean siapa, yang kesel liat Sean sama pacarnya siapa?! Aneh...."

"Ya aku enggak suka aja, De... ini kan waktunya kita berempat! Masa Sean ngajak ceweknya?"

"Ya nggak papalah... Kamu kan ada Nino. Apa kamu diem-diem suka sama Sean juga?"

Plakkk!

Lengan kiriku dipukul. "Asssh, dasar..." enggak kencang sih, tapi cukup sakit. Lumayan keras.

"Kalo ngomong enggak dicerna! Mana ada?!" ketusnya langsung meninggalkanku sendirian di parkiran ini.

"Heh?! Astaga! Iya-iya! Maaf Lin...! Lin! Bercanda, Alin! Hei!" tidak digagas sama sekali. Malah ayunan kakinya dipercepat. Bodo amat sama orang di kiri-kanan yang melirik. Aku kejar saja, sambil meneriaki nama Alin.

Tapi, baru beberapa saat aku mengejarnya, tanganku ditarik paksa. Tak terlalu kencang, tapi cukup membuat kepalaku menengok ke kiri. Sean. "Ngapain lari-lari? Fotonya enggak buru-buru kan?"

Pertanyaannya membuatku menggeleng dan tersenyum secara bersamaan. "Lagi ngejar Alin kok..." jawabku setelah melirik cewek di samping Sean, tetap dengan senyuman kecil.

Bukannya membalas senyumku, Elisa malah memberi lirikan mata yang menurutku, cukup sinis. Oh... Aku tahu! Pasti karena cegatan Sean. Ya, karena laki-laki ini menggenggam erat pergelangan tanganku. "Lepas dulu." sambil melirik pegangannya di tanganku dan refleks dia menuruti perintahku.

"Aku sama Alin nunggu di dalem ya! Duluan..." gantian kutatap sang pacar. "...duluan Elisa!"

Gadis yang memakai baju terusan putih bertebaran bunga mawar merah tiga dimensi itu manggut-manggut tanpa ekspresi. Datar, sama persis sama ubin di rumahku. Tanpa pikir panjang lagi, aku lari ke dalam.

Meninggalkan pasangan muda itu dengan hembusan napas panjang. "Kuatin mata, lapangkan dada. Yang sabar Nadea!" gumamku pelan, sangat pelan seraya mencati-cari sosok Alin. Dan... Ketemu juga sama cewek itu.

Refleks aku terkekeh kala melihatnya berdiri di pojokan. Aku pun menghampiri dan berucap, "ngapain di sini?"

"Hem... Aku nunggu kamu..." Alin nyengir tiba-tiba sambil melanjutkan, "...males masuk sendiri, hehehe...."

Aku selalu paham, dia memang orang yang pendiam dan selalu seperti ini kalau bertemu orang baru dalam jumlah banyak. Alin seakan harus didampingi oleh orang terdekatnya. "Sudah kuduga..." kuselipkan satu tanganku di lengan kanannya untuk menarik dia ke loket pembayaran. "...ayok, meluncur beli tiket masuk!" Alin terkekeh sambil mengangguk setuju.

°•°•°

Terima kasih para pembacaku :) pesanku, selalu menjaga kesehatan, okei?! Harus!

STAY HEALTHY :D

See you :*

God Bless <3

Penciptaan itu sulit, dukung aku ~ Voting untuk aku!

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan membaca dengan serius dan dijawab :)

kocakajacreators' thoughts
Next chapter