6 Puisi Sean

Selamat membaca

°•°•°

"Masuk." perintah Nino yang sudah berpakaian lengkap, kaos polos putih dengan celana pendek coklat selutut.

"Ya." balasku sambil berdiri. Begitupun Alin, dia bangkit dari duduknya dengan memasang muka datar dan memilih berdiri di belakangku. Sedangkan kakiku terus membuntuti Nino yang sudah berbalik. "Ngapain sih jalan di belakang aku? Aku kentutin baru tau rasa."

"Ish Dea... Jorok tau!" sahutnya namun pindah posisi jadi di sampingku. Nino yang sudah berada jauh di depanku berjalan lebih cepat lagi.

"Belum juga dikentutin... Makanya, jangan di belakang." ia memukul pelan lenganku.

"Tunggu di ruang tv aja!" teriak pemilik rumah.

"Ya!" sahutku.

Baru beberapa aku melangkah. "Permisi!"

Aku pun menoleh cepat ke pusat suara.

"KELUAR!" teriak Nino.

"SIALAN! Eh, baru masuk?" tanya Sean kearah kami-- aku dan perempuan-- di sampingku. Aku mengangguk kaku. Alin berbalik, ia ikut menatap pria berkaos hitam didepanku, berjaket warna hitam pula, dengan celana jeans panjang yang sobek di bagian lutut.

"Iya." balas Alin lalu menebarkan senyumnya ke arahku. Aku yang takut kalau Sean mikir macem-macem, sengaja menyenggol lengan kanan Alin.

"Aku kira udah pada dari tadi."

"Gara-gara liat karya Tuhan yang indah jadi pada salting. Makanya pada diluar, nggak mau masuk." sela Nino yang tiba-tiba datang dengan empat gelas diatas nampan yang dia bawa.

"Maksudnya?"

"Nggak usah dengerin Nino, mendingan langsung belajar." jawab Alin lalu melenggang pergi.

"Kenapa, De?"

Aku menggeleng. "Ng-nggak ada. Ninonya aja yang aneh." orang yang namanya kusebut tertawa.

Dengan gesit aku duduk di samping Alin, sedang Nino duduk berhadapan denganku membelakangi tv. Posisi meja ada ditengah-tengah kami.

"Apaan sih? Karya indah apaan?" tanya Sean, lalu duduk di sampingku, seketika itu juga napasku sesak. Pasokan udara di sekitar seakan menipis.

"Dada bidang... Dada bidang doang!"

Alin melebarkan kedua matanya. Sedang aku sudah menggeleng-gelengkan kepala, heran dengan Nino. Masih aja ngebahas, nggak malu apa? Sedang Sean, ikut-ikut tertawa, bahkan lebih lepas dari tawa Nino.

"Biasa aja kali. Padahal kan cuma dada. Kayak nggak pernah liat dada cowok aja." ucap Sean di sela-sela tawanya.

"Makanya. Aneh kan tuh? Emang cewek-cewek alay!" balas Nino.

Alin yang tak mau kalah menimpali, "biarin lah! Merusak mata."

"Cewek alay!"

"Cowok mesum!"

"Alay ya alay!"

"Mesum ya mesum!"

Aku yang mendengar pertengakaran mereka berdua akhirnya menengahi dengan sedikit sentakkan, "Diem!"

"Berisik!" lerai Sean bebarengan dengan ucapanku. Mereka berdua diam seketika.

Hingga suara Alin berhasil membuatku ikut bungkam, "cie barengan."

"Cia-cie... Alay!"

Alin ingin menyahut namun urung karena perintah dari Sean. "Buruan belajar! Aku ambil tas sekolah dulu, ketinggalan di mobil." Sean pun bediri dari duduknya, pergi mengambil barang yang ia maksud tadi.

Alin mendekatkan kepalanya ke arahku lalu berbisik, "nggak nyangka ya, kaos kamu sama Sean sama. Jodoh emang nggak kemana." aku yang fokus mendengar perkataannya dengan spontan mendorong pelan pipinya. Pemilik pipi malah terkekeh.

"Heh gila! Buruan pindah tempat duduk. Sini, jadi babuku." suara Nino membuat kedua mata Alin membola sekaligus merapatkan mulutnya, namun gadis pemakai jepit biru itu tetap menuruti sang penyuruh.

Aku yang melihat respon Alin, tertawa dalam hati, "salah sendiri godain temen seenaknya."

Tak lama Sean kembali dari kepergiannya menjemput tas ransel warna hitam yang kini ditenteng tangan kirinya.

"Baik-baik No sama Alin. Sampek muka dia kayak orang takut gitu." sontak aku terkikik.

"Nggak! Mana ada aku takut."

"Kalau kemarin nggak di belain ama si Dea, palingan udah pipis di celana. Iya nggak Lin?" sembari menaik-turunkan alisnya, sengaja untuk menggoda gadis di sampingnya itu. Aku dan Sean tertawa. Sedang buku paket punya Alin kini mendarat keras dilengan kanan Nino. "Sakit heh!"

"Biarin! Makanya jadi orang jangan ngeselin."

"Udah-udah belajar, keburu malem."

Sean menghentikan tawanya lalu menyetujui apa kataku, "bener omongannya Dea, keburu malem."

Alin pun menurutiku, ia fokus dengan kumpulan kertas yang berisi kalimat di hadapannya. Sedang Nino, laki-laki usil itu masih berusaha menatap buku dengan menahan tawa. Jangan tanya si Sean--- laki-laki berkaos sewarna --- dengan yang kupakai itu sudah sibuk membolak-balikkan kertas yang ada ditangannya dengan ekspresi penuh keseriusan.

°•°•°

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Tandanya sudah hampir dua jam kami menghabiskan waktu untuk belajar. Selama itu juga aku semakin mengagumi sosok Sean. Contohnya tadi, karena aku sempat membaca puisi buatannya. Lelaki itu dengan mudahnya merangkai kata.

Indonesia

Indonesia... Tempat kediamanku.

Indonesia... Tanah kelahiranku.

Indonesia negaraku, akan selalu menjadi kebanggaanku.

Indonesia, dia penuh agama, beragam suku dan bahasa, ya... Indonesia namanya.

Indonesia, dia tuli pertengkaran namun dengar akan perdamaian, ya... Indonesia namanya.

Indonesia, dia rendah permusuhan namun tinggi akan persahabatan, ya... Indonesia namanya.

Indonesia, dia kaya perbedaan...

Namun, itu bukanlah suatu halangan melainkan ujian untuk melatih kebersamaan.

Ya, itulah negeriku. Indonesia.

Siapkah Indonesia tetap bersatu dan bersama?

Meski tak sama terus melanda?

Mampukah Indonesia menjunjung hormat sesama rakyat?

Meski tak sama di depan mata terus melekat?

Bisakah Indonesia melakukannya?

Ya! Aku yakin... Indonesia bisa!

"Mau makan di mana? Pada belum ke isi kan?" tanya Nino tiba-tiba.

"Iya, laper nih. Kalian mau makan di mana?" Sean menimpali. Aku dan Alin saling pandang.

"Aku ngikut ajalah." balasku karena bingung.

"Sama." sahut Alin pasrah.

"Pede! Aku nawarin Sean sama Dea aja. Ngapain ngikut jawab?" tanya Nino sembari mengernyit menatap Alin, cewek yang masih duduk santai di sampingnya.

Pukulan kencang yang entah melayang kapan, kini sudah jatuh pada lengan kanan Nino. Membuat laki-laki itu mendesah kesakitan. "Sinting! Kalau mau adu pukul ke sana tuh, ikut tawuran di sekolah sebelah. Untung cewek!"

"Makanya, jadi orang jangan ngeselin mulu kerjaannya." balasku sambil terkekeh.

"Emang De, dari dulu kayak gitu. Pas masuk SMA, targetnya si Alin. Heran juga aku, nggak bisa berubah."

"Sensi banget, emang aku salah apa?" melotot ke arah laki-laki berkaos putih itu.

"Enak aja kalo dijailin." balasnya enteng. "Aduh, ssh..." kini ganti cubitan. Aku rasa, Alin semakin kesini semakin berani, bagus lah. Jangan mau dibully. Say No to Bully!

"Udah-udah... Jadi makan nggak nih?" aku mengangguk mengiyakan pertanyaan Sean.

"Iya... Ayok!"

"Nggak ada yang ngajak kamu!"

"Mulai lagi..." Sean mendesah frustasi lalu mempercepat langkahnya untuk keluar.

"Udah lah No!" leraiku. Pemilik nama hanya mengedikkan bahu dan setelah itu melesat pergi. "Dasar!"

"Eh, masuk mobil duluan De, hpku bunyi." aku mengangguk menanggapi suruhan Alin.

Sampai di ruang tamu, suara Nino terdengar menggelegar, "AKU PAKEK MOTOR!"

"SERAH!" jawabku karena Sean sudah berada di luar, hanya aku yang masih tersisa di sini.

Alin saja masih sibuk dengan benda yang menempel di telinganya beberapa menit lalu. Dengan santai aku berjalan ke luar pagar. Aku menepuk dahi, ingat sesuatu. "Lah, kuncinya kan di Alin."

"Eh, Dea! Ini jadinya gimana? Nino mana?"

Aku terdiam mengamati aksinya yang tengah menyugar rambut ke barah belakang dengan tatapan menyejukkan. "Heh? E-eh kata Nino, dia mau pakek motor."

"Ck. Ngapain coba?" aku menggeleng tak tahu.

Tiba-tiba Alin datang dengan raut wajah yang seperti merasa tak enak. "Ekhm... Sorry De, aku nggak bisa anter kamu. Mamah bilang kalau aku harus prepare ke Solo. Aku juga nggak bisa ikut makan bareng." ucapnya dengan nada melas.

"Aku sih nggak apa pulang sendiri. Emang kamu mau ngapain ke sana?"

"Urusan keluarga. Nggak tau sampek kapan. Aku duluan ya, buru-buru..." Alin memelukku. "Maaf."

"Santai aja kali." ia melepas rangkulannya. "Hati-hati ya..." Alin mengiyakan dengan menyunggingkan senyum.

"Ati-ati Lin..."

"Iya, duluan." Sean dan aku sama-sama mengangguk, selepasnya Alin berjalan menjauh.

"Woi! Mau kemana? Temen sendiri ditinggal! Kasian Dea lah...."

"Apaan si No! Udah pamit juga." tuturku.

"Emang mau ke mana dia?" tanya Nino setelah sampai di depan pagar berdiri bersamaku juga Sean yang tengah menatap Alin masuk ke mobil.

"Cie, kepo... Ati-ati ntar suka."

"Apaan?! Ngasal! Kemana, De?" aku yang masih tertawa karena ucapan Sean berusaha untuk tenang.

"Ekhm... Mau ke Solo."

"Oh... Lah, terus kamu gimana?"

"Biar sama aku. Pulang aku anter." aku melotot.

"Biasa aja kali De." setelah mengucapkan itu Nino pergi menghampiri motornya yang ada di halaman.

"Ayok De."

"Hah?"

"Ayok!" aku mengangguk pelan.

Tiba-tiba saja Sean menarik pergelangan tanganku. "Sini... Emang bakal aku gigit?" aku yang masih shock hanya bisa menggeleng. Aduh jantung, yang jinak ya. Jangan ribut! Nggak tau apa aku panas dingin?

Belum juga si jantung berdetak santai, perlakuan Sean membuat dadaku naik-turun. "Aku bisa buka pintunya sendiri kok."

"Kamu lama." penekanan suaranya memang ringan namun, maknanya itu yang menyakitkan.

"Hehe, makasih." Sean mengangguk.

Mobil melaju dengan santainya. Di tengah kemacetan, Sean mengurangi keheningan dengan obrolan ringan. Ia menanyakan seputar keluargaku. Tak ingin menutupi apapun, ceritaku mengalir apa adanya. Termasuk kepindahanku. Hampir semuanya aku ceritakan kecuali sikap Papa yang berubah. Aku mengatakan bahwa ada sedikit masalah antara Mama dengan Papa. Sampai di mana Sean memberikan secarik kertas yang tadi dirogohnya dari kantong jaket.

"Itu cuman kata-kata biasa aja sih. Tapi coba kamu nilai, dari satu sampek sepuluh aku dapet berapa." aku terkekeh. "Serius Dea...."

"Iya-iya. Bentar, aku baca." kedua mataku mulai menatap kertas yang dia beri.

Rasa

Aku ada ketika kamu melihatku nanti.

Aku ada ketika kamu menemukanku nanti.

Aku mengernyit. Ini mah teka-teki Sean... Bukan kata-kata.

Aku ada ketika matamu menangkapku di akhir nanti.

Aku ada ketika kamu membalik alasku. Ya, aku ada di bagian belakang kertas ini.

Temukan Aku!

Aku pun membalik kertas yang kupegang ini sesuai sama perintah kalimat tadi. "Ini mah bukan kata-kata." ucapku sembari tersenyum kearah Sean sebelum lanjut membaca.

"Udah cek aja." aku mengangguk patuh.

Ikan hiu makan Nadea...

I love you yang baca.

"Hah?!" teriakku spontan.

°•°•°

Gimana? Aneh nggak? Terus berusaha nih.... Btw, maaf kalau puisinya jelek... itu terlintas gitu aja.

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter