15 Penilaian Akhir Tahun

Selamat membaca

°•°•°

Pagi yang hangat akibat sinar mentari yang tak terlalu menyengat menimpa wajahku. Mendekap erat lelaki yang memberiku tumpangan pulang-pergi ke sekolah seperti hari-hari sebelumnya, semakin memberi kehangatan untuk tubuh dan perasaanku. Rasanya aku ingin tetap seperti ini. Nyaman...

Baru saja aku ingin memejamkan mata, suara Sean mengganggu ketenanganku, "udah belajar?"

Aku melepas lingkaran tanganku di perut datarnya. "Udah, kenapa?" dahiku mengernyit, bingung. Pasalnya, dia tak pernah seteliti ini menanyakan kegiatanku. Pesan darinya juga berisi tentang sesi penjemputan untukku saja. Itu dilakukannya juga karena tak ingin kesepian saat duduk di atas motor atau mengemudikan kendaraan beroda empatnya. Sedikit mengecewakan bukan?

"Ya tanya aja." bersamaan dengan itu, tubuhku condong ke depan. Kueratkan pelukanku.

"SEAAAN...! KEBIASAAN...!" teriakan panjangku malah membuatnya tertawa. "Nggak berubah... Udah dibilangin, aku takut. Eh... Malah disengaja!"

"Kalo nggak kenceng bisa telat masuk."

Balasannya yang membuatku refleks memukul pelan punggungnya. "Mulai kan." seraya memajukan tubuhnya untuk menjauh dariku. "Alesan aja! Kita berangkat itu kayak biasanya ya... Mulai tesnya jam berapa...? Masih lama!" sahutku tak terima, sedang Sean malah tertawa dan kecepatan motornya kini stabil seperti detak jantungku.

"Tumben pinter." jawabnya usai tertawa.

"E-enak aja!" gugup, karena tiba-tiba Sean membawa tanganku untuk kembali mendarat di perutnya.

"Mau kencengan apa sedengan?"

"Hah?" aku sedikit tak 'connect' dengan penawarannya.

"Belum dikorek berapa hari telingamu De?"

Aku mendengus karena ejekannya barusan. "Apa sih..."

Sean berdecak. "Kan tadi aku tanya, mau kenceng apa sedeng? Gas motornya Dea..."

Aku mendesah. "Nggak perlu aku jawab kayaknya." Sean tertawa kecil. "Kalo aku minta sedengan di turutin nggak?" sambungku.

"Oke!" laju motor yang membawa kami sedikit meningkat, namun tak membuat jantungku berdisko seperti tadi.

"Hm, lumayan. Tumben penurut." balasku senang. Namun kesenangan itu hanya berlangsung empat detik. "SEAN...!" teriakku kesal serta mengeratkan tanganku untuk memeluknya.

"Anda salah besar..." dilanjut dengan tawa jahilnya.

"Kamu bawa dua nyawa kalo kamu lupa!" ucapku penuh penekanan.

"Ingetlah..." sahutnya enteng masih dengan kecepatan tinggi yang aku tak ketahui berapa lajunya motor ini. Aku hanya bisa menggeleng dengan mata yang terpejam, belum lagi tanganku yang semakin erat melingkari pinggangnya.

°•°•°

Hari ini adalah hari terakhir penilaian kenaikan untuk seluruh siswa yang mengikutinya, terutama kelas sepuluh dan kelas sebelas. Tandanya, ini penyiksaan terakhirku. Bukan tersakiti karena mengerjakan sulitnya soal-soal tapi tersiksa karena tak melihat wajah Sean di kelas berhari-hari. Karena aku dan dirinya memang beda ruang tes. Hanya aku dan Alin yang satu kelas, Nino dan Sean pun berbeda ruangan.

Aku sudah duduk di bangku kantin bersama Alin dengan semangkok mie ayam yang siap kusantap. Gadis berjepit biru langit cerah itu duduk berhadapan denganku. Ia tengah asik memasukkan bakso kedalam mulutnya yang tadi sudah dipotongnya menjadi dua bagian menggunakan sendok.

"Tumben banget ya Lin, si Nino sama Sean belum nongol. Biasanya mereka duluan yang sampek kantin." kataku setelah menelan mie yang sebelumnya kukunyah lembut. Alin mengangguk membenarkan ucapanku. "Pada kemana sih...." sambil mengedarkan pandangan di seisi kantin.

Alis Alin menyatu, menatapku dengan senyum anehnya. "Kangen Sean hm...?" pinter nebak kamu Lin.

"Peka deh..." tersenyum girang dengan binar bahagia.

"Yah... Malah senyum-senyum nggak jelas. Gitu banget ya efek daei nama Sean." aku manggut-manggut saja. "Astaga... Makan dulu."

Masih dengan senyum yang mengembang. "Iya-iya bawel."

"Kamu doa tiap hari nggak buat hubungan kalian?" tanyanya memastikan. Aku yang masih mengunyah penuh makanan hanya bisa membalas dengan gerakan kepala. "Baguslah... Siapa tau dapet jawaban."

Aku mendelik. Buru-buru menelannya. "Bantu doalah... Aminin juga dong...!"

Gadis di depanku itu tersenyum. "Iya pastilah..."

Aku ikut tersenyum dengan mata berbinar. "Makasih...!" balasku heboh seraya mencubit kedua pipi Alin pelan.

"Girang banget... Bisa ngerjain?" tanya seorang siswa yang sudah kuhapal suaranya dari arah sampingku.

Aku pun menoleh ke arahnya dan berdeham. "Bisa." kembali menormalkan ekspresi. Harus bersikap biasa aja di depannya. "Lama banget datengnya. Nino mana?" sambungku karena tak melihat lawannya Alin.

Sean duduk di sampingku dengan tangannya menarik mangkok mie ayamku yang masih ada isinya karena aku hanya memakannya beberapa suap. "Mesenin makan sama minum." lalu memasukkan segarpu penuh mie milikku ke mulutnya sendiri.

Dengan cepat kutarik mangkok yang diambilnya. "Aku masih laper... Nggak usah macem-macem."

Sean mengembalikan garpu yang dipakainya diatas mangkok yang kupakai. "Nyicip doang."

"Tuh ambil. Udah disuruh nungguin, mesenin makan, temen apaan..." Nino menatap Sean tajam sambil meletakkan nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas es teh, sedang yang ditatap malah tersenyum lebar.

"Tumben mau disuruh..." ejek Alin seraya terkekeh geli. Karenanya, tatapan tajam korban ejekan itu kini beralih padanya. Hitam pekat hingga Alin bungkam seketika, ia lebih memilih untuk melanjutkan makan nikmatnya daripada merespon tatapan Nino.

"Ya, makasih." ujar Sean lalu menyeruput minumnya.

Nino masih berdiri di tempatnya. "Terus duduk sama si alay ini?" tanyanya sinis. Aku mengangguk bebarengan dengan Sean yang juga ikut mengiyakan sambil memasukan suapan pertamanya. Nino mendesah. "Geser, woiii... Duduk longgar-longgar padahal badan kecil, pendek, tapi sok-sokan." dengan cemberut Alin menggeser tubuhnya. Aku yang melihat keduanya hanya mampu menggeleng dan menelan mie ayamku.

"Oh ya, aku mau tanya. Kalian pada kemana dari tadi? kok baru muncul." tanyaku yang membuat Nino menatapku lalu melirik Sean membuatku mengerutkan dahi. "Sean?" tanyaku lalu menoleh ke orangnya.

"Tanyain aja tuh anak. Lama banget ngobrolnya. Kalo dia sendiri nggak bilang mau neraktir, ya nggak bakal aku mau nungguin." terang Nino yang membuat Sean tersedak hingga terbatuk.

"Ngobrol sama siapa?" penasaran karena jarang Sean seperti ini. Sean masih tak bersuara untuk menjelaskan. Ia sibuk minum agar merasa lega.

"Aku nggak tau, tanya dia." jawabannya kurang memuaskan. Lagi-lagi tanya Sean. Yang disinggung namanya saja malah sibuk menikmati makannya.

"Ngobrol sama siapa Sean...?" Sean menoleh dan menatapku.

"Ada, lah... Lanjut aja makannya, entar pulang sekolah aku ceritain. Oke...?" balasnya dengan senyum di bibirnya yang membuat hatiku menghangat.

"Oke."

Kami melanjutkan makan hingga tak terasa sepuluh menit lagi bel tanda tes kenaikan di jam kedua akan berlangsung. Beruntung karena sebelum bel berbunyi masing-masing dari kami sudah selesai. Mau tak mau, aku harus berpisah dengan Sean beberapa jam ke depan. Alay dikit bolehlah...

°•°•°

Mata pelajaran terakhir ini juga bukti bahwa tes berakhir, begitu pula perasaanku yang terbebas dari rasa tak nyaman. Hanya dia obatnya, Sean.

Aku bergegas meraih tasku yang tertumpuk oleh tas para siswa lainnya di meja dekat kursi pengawas. Kini aku sudah kembali duduk dan sibuk membereskan alat tulis yang kugunakan selama tes berlangsung dengan semangat empat lima. Begitu juga dengan Alin. Kulihat wajahnya nampak tak lelah sedikitpun atau kesusahan sekalipun. "Eh Dea..." panggilnya yang membuatku bergumam, ia masih sibuk beberes. "Aku pulang duluan ya... Ada urusan, biasa... Palingan mau diajak jalan-jalan." sambungnya lagi. Aku paham, itu pasti ajakan orang tuanya. Aku ikut senang kalau keluarga Alin tampak akur dan saling mendukung.

Menyengir lebar di hadapannya yang membuatnya menggeleng. "Iya... Hati-hati...!"

Alin memakai tas punggungnya, wajahnya sumringah. "Pasti... Da...!" melambaikan tangan kanannya padaku.

Senyum lebarku terlukis. "Da...!" ia pun keluar ruangan.

Kulihat di sekitar kelas, hanya ada beberapa siswa yang tersisa. Belum beranjak dari tempat duduk, tiba-tiba ponselku berbunyi nyaring. "Lah, lupa nggak di mode diam." dengan cepat kucari benda pipih itu. "Sean!" pekikku kegirangan. Tanpa basa-basi kuangkat panggilannya. Aku yang tadinya semangat kini lemas seketika karena mendengar penuturannya. Lelaki itu mengatakan bahwa dia tak bisa mengantarku pulang karena teman seruangannya butuh tumpangan dan Sean tak tega jika meninggalkannya. Terlebih lagi katanya kondisi temannya sedang kurang baik. "Oh, oke..." belum sempat aku bertanya lagi, Sean memutus panggilannya sepihak.

"Tapi, dia cowok kan Sean...?" lirihku cemas menatap ponsel. "Oke, aku harus pastiin ke parkiran. Semoga aja dia masih ada." aku pun dengan cepat bangkit dari tempat duduk. Berlari kecil menuju tempat yang kuharapkan. Semoga masih ada seseorang yang selalu mengisi hatiku disana.

"DIYA..!" teriakku melihatnya yang sudah siap masuk ke mobil karena pintu mobil sudah dibuka lebar. Ia berhenti dan berbalik, menoleh ke arahku. "Tungguin...! Aku pulang bareng...!" sampai di depannya aku mengatur napas.

"Tumben..." balasnya singkat lalu masuk dan menempatkan dirinya di kursi kemudi.

Aku pun ikut masuk dan bersender di kursi penumpang, sampingnya. Baru akan memakai sabuk, aku melihat keduanya. Aku tersenyum miris dengan tangan terulur menyentuh dadaku. "Ini yang aku takutin..."

"Apa?! Nggak denger..." sahut Diya yang membuatku menggeleng lemah.

"Enggak... Jalan aja."

Mobil menyala, sesudahnya berjalan pelan. "Sok ngatur!" ucapan Diya yang tak kugubris karena pandanganku masih terfokus pada dua insan yang tengah menaiki motor besar yang biasa kutumpangi berjalan pelan keluar pagar tinggi sekolah.

Tangan sang gadis yang menggantikan kedua pelukanku, melingkar erat di sana. Tepat di pinggang yang tadi pagi masih kudekap sama seperti pemandangan yang mengganggu mata dan perasaanku tepat di depanku ini. Kualihkan fokusku ke arah Diya. "Mau nangis...?" tanyanya menerka. Belum sempat kujawab ia bersuara lagi, "nggak usah ngelak! Terus bilang kalo itu kelilipan..." aku pun mengunci bibirku rapat-rapat dengan dada berdebar dan itu membuatnya berujar, "aneh ya, padahal udah biasa dengerin bentakanku. Eh sekarang malah mau nangis. Kesambet apaan..." sekarang aku malah ingin tersenyum mendengar penuturan sok tahunya.

°•°•°

Gimana? Kurangkah? Yang pasti, aku masih dan terus semangat untuk menulis.

*)Pasti cuma pada diem :D

See You

GOD BLESS YOU

avataravatar
Next chapter