14 Menjauh?

Selamat membaca

°•°•°

Bangunan yang bisa dikatakan mewah mulai nampak, tempat yang membuatku lebih mandiri karena jauh dari perawat muliaku selama kurang lebih enam belas tahun. Mobil yang kutumpangi berhenti tepat di depan pagar rumah. "Makasih Pak." Pak sopir taksi yang tak kuketahui namanya itu menerima uangku dengan mengangguk tersenyum.

Aku masuk ke halaman serta menutup pagar. Melangkah menuju teras. Sampai di depan pintu aku mendorongnya tanpa mengetuk lebih dulu, beruntung karena tak dikunci, dengan cepat kututup kembali.

Kulihat Diya yang tengah duduk dengan kakinya yang berselonjor, fokus menonton tv. Aku yang sudah sampai di tangga mendadak berhenti karena panggilannya, menyebut namaku tak sabaran.

"Mana titipanku!" teriaknya yang kuyakini masih ada di tempatnya semula.

Aku pun berbalik dan berjalan gontai ke arah Diya. "Nggak beli." balasku singkat. Kuambil uangnya dari saku celana. "Nih." sambil kusodorkan padanya.

"Kamu tuh gimana sih De... Udah dititipin kok malah nggak dibeliin! Yang bener dong...!" protesnya yang membuat telingaku berdengung.

Menarik napas dalam-dalam. "Kamu tau sendiri kan, aku perginya nggak lama... Udah ah, aku mau istirahat." memutar tubuh, berbalik, ingin segera masuk kamar untuk menumpahkan semua perasaanku yang sudah campur aduk.

Belum ada tiga langkah aku berjalan, Diya mencengkeram kuat lenganku hingga rasa sakit mulai terasa. "Kamu ya! Bisa tanggung jawab nggak sih?!" bentaknya menatapku tak terima.

"Lepas Diya...!" protesku sambil meronta untuk dilepaskan. "Aku beneran nggak jadi belanja apa-apa..."

Diya mengganti posisi tangannya menjadi ke rambut panjangku yang kugerai. "Masih ngejawab?!"

Aku yang merasa sangat kesal, meronta sekuat tenaga. Jambakan mautnya akhirnya terlepas. "Aku capek! Aku nggak jadi belanja dan aku mau istirahat! Ngertiin aku!" teriakku dengan air mata yang sudah menetes di pipi. "Kamu nggak tau apa-apa tapi dengan gampangnya nyiksa aku. Bukannya nanyain dulu baik-baik...!" lanjutku. Sedikit lega menumpahkan semua kekesalanku padanya, aku bergegas meninggalkan Diya dengan mulutnya yang sudah menganga lebar selebar langkah kakiku.

Kuhempaskan tubuh penat dan pikiranku yang lelah di atas kasur usai mengunci pintu kamar. Kupikir hari ini aku akan bersenang-senang tapi nyatanya, berbanding terbalik dengan perkiraanku.

Kelakuan Nino dan Alin tadi mampu menyebabkan kepalaku serasa hampir pecah. Rencana konyol mereka bukannya membuat hubunganku dengan Sean semakin dekat tapi malah bermasalah. Terlihat dari tatapan Sean yang terlempar ke arahku tadi. Tatapan yang biasanya terasa hangat dan damai, berubah seratus delapan puluh derajat.

"ARGH...!" kutinju saja guling di sampingku, bertubi-tubi sampai kurasa cukup puas. "Aku harus gimana...." menatap langit-langit kamar bersama guling yang sekarang berada dalam pelukanku. Tak kuasa menahan, air mataku kini mengalir. Mungkin Sean sekarang berpikir bahwa dirinya tak penting untukku karena aku tak menceritakan apapun tentang huhunganku bersama Nino, yang sebenarnya memang tak ada apa-apa.

Entah kenapa, aku rasa kalau bertahan dalam cinta itu sulit, apalagi mencintai sendirian. Sangat sulit. Memiliki rasa yang harus dipendam, kini dibumbui dengan drama tak jelas. Lelah itu pasti, sedih sudah pasti, bahagia pun juga pasti karena, aku melakukannya dengan tulus hati. Di saat aku berani memilih, di saat itu juga aku harus berani menerima resiko dari pilihanku.

Pintu balkon yang terbuka lebar mampu menyalakan sorot kedua mataku yang semula redup jadi rembang karena menangkap rintik-rintik air hujan di luaran sana. Kuputuskan untuk bangkit dari rebahan dan turun, menghampiri pemandangan yang membuat perasaanku lebih tenang.

Kuhirup dalam-dalam aroma di sekitar, sesampainya aku di balkon kamar yang berpagar setinggi perut atasku. Semilir angin bersama curahan hujan seperti berusaha menghiburku. Keduanya seakan mengatakan bahwa apa yang terjadi tadi akan baik-baik saja. "Aku harap masalah yang kecil ini nggak akan berubah jadi monster besar yang mematikan. Mematikan hubunganku sama Sean, semoga enggak."

°•°•°

Aku terbangun dari tidurku yang memang tak nyenyak, akibat panggilan telepon berkali-kali dari sahabat perempuan yang teramat polos. Mau tak mau aku mengangkatnya. "Ngapain?" ia menyuruhku untuk bersiap-siap karena pukul tujuh malam nanti menjemputku. "Males banget Alin... Lagi capek, besok juga sekolah." lagi-lagi ia memaksaku. Ancamannya, Sean tak akan dekat lagi padaku dan berangkat plus pulang sekolah tanpa Sean. Aku tahu, pasti ini berhubungan dengan masalah di mall. "Hem... Iya deh iya...!" terdengar hembusan napas lega dari seberang. "Oke."

Secepat mungkin aku menyiapkan pakaian yang akan kupakai. Bukan nanti lagi, melirik jam di ponsel sudah menandakan pukul setengah enam lebih sepuluh. Menyebabkan tubuhku refleks bergerak tergesa-gesa.

Persis dua puluh menit aku selesai mandi. Kupilih baju tanpa lengan warna navy yang kubalut dengan jaket jeans warna senada serta legging panjang warna hitam. Sling bag tak lupa untuk kubawa. Begitu bercermin, aku lupa dengan tatanan rambut dan kondisi muka. "Sabar Dea, tarik napas dulu, rileks...."

Kulihat jam di ponsel. "Setengah tujuh kurang lima menit... Oke, semoga aja si Diya ngasih ijin."

Menutup pintu kamar selesai berdandan. Karena kamar Diya yang terlihat kosong tanpa pemiliknya, aku pun menuruni tangga tak sabaran. "Diya!" teriakku memanggil seraya celingukan di sekitar ruang tamu dan ruang televisi. "Kemana sih..." belum sempat berteriak lagi, Diya muncul dengan jaket hitam dan celana pendek warna abu-abu di atas lutut.

"Apa? Laper?" aku menggeleng. "Lah, rapi banget. Mau pergi?" aku menggangguk. Nampak tatapan matanya yang menajam, secara spontan aku menelan ludah.

Aku berdeham. "Aku ijin, ada masalah yang harus aku omongin sama Alin." pintaku. Sedikit khawatir kalau Diya tidak memberi ijin.

"Suruh Alin ngomong sendiri ke aku." putusnya penuh penekanan seraya berjalan ke sofa, menonton tv.

Aku mengirim pesan ke Alin kalau dirinya yang harus meminta ijin ke Diya. Aku menunggunya di teras dengan cemas. "Berani apa enggak Alin sama Diya...."

"Kenapa takut?" tanya Diya yang sedang menyender di pintu serta menatapku.

"Ya... Alin kan orangnya polos gitu, ntar kalo kamu bentak-bentak bisa takut."

Diya melipat tangannya di depan dada seraya terkekeh. "Ya deritanyalah... Salah sendiri penakut." menggeleng dan tersenyum miring setelahnya.

"Kamunya aja yang nggak ngerti jadi orang." Diya hanya mengangkat bahu cuek.

Bunyi mobil yang baru saja datang di hadapan pagar berhenti. Tak lama, si pengemudi keluar dan membuka lebar pagar rumahku seukuran tubuhnya. "Permisi." kata Alin di hadapanku dan Diya. Ketika menatap Diya, tatapan Alin seakan terkejut. Namun berubah secepat mungkin. Aneh.

"Mau minta ijin?" tanya Diya menatap Alin yang tengah mendekat ke sebelahku.

"Iya." jawabnya berakhir dengan senyuman kaku.

"Pokonya inget batesan, sesuai peraturan. Jam sembilan sampek rumah." balas Diya lalu menutup pintu setelah menatap tajam mataku.

"Ayok sekarang Lin. Jangan perduliin omongan sama sikapnya, emang nggak sopan. Maaf ya, jadi nggak enak..."

Gadis berjepit itu menggeleng. "Santai aja." lalu merangkul lenganku agar sejalan dengannya.

°•°•°

Duduk melingkar dengan meja bebentuk persegi panjang warna coklat yang terletak di tengah-tengah kami. Alin duduk di sisi kanan, berhadapan dengan Nino yang ada di sebelah kiriku. Sementara Sean, duduk menghadap ke arahku dengan tatapan datarnya, yang bisa kulakukan hanya meremas tangan dinginku karena gugup.

Alin berdeham. "Oke. Jadi ini kan udah pada ngumpul... Pertama, aku minta maaf sama Dea. Gara-gara kelakuanku, kamu sama Sean menjauh beberapa jam. Kedua, aku minta maaf sama si mesum. Karena aku juga, Nino sama Sean bertengkar." kulihat Alin mengambil napas dalam-dalam. "Yang terakhir, khususnya Sean. Aku minta maaf, ini emang salahku. Ide konyolku." kalimat terakhirnya memberikanku sinyal. Jantungku berdegup semakin kencang. Tolong Lin, jangan ceritain maksud dari idemu itu. Kalau bocor, habis aku. Mau ditaruh di mana mukaku kalau Sean tahu aku suka sama dia, bahkan udah lebih dari rasa suka. Batinku sembari menatapnya.

"Ide apa? Maksudnya gimana sih?" tanya Sean yang sudah menatap Alin dengan bingung.

"Bener. Maksudnya gimana? Aku ngikut-ngikut aja dramanya si alay." timpal Nino menuntut jawab ke Alin.

Refleks Alin melipat bibirnya, mungkin dia paham akan tatapanku. Aku menggeleng lemah. Alin nampak berpikir, setelahnya ia tersenyum. Membuat tanganku semakin dingin saja. "Ya, itu drama kecil aja sih, masa kita gitu-gitu aja, hehe. Maksudku, nggak seru gitu loh, kalo pertemanan kita datar tanpa ada gregetnya. Jadi, jangan berantem beneran ya... Masa pertemanan kita cepet selesainya, kan nggak lucu." lalu tesenyum lebar seakan tak punya dosa. Tapi aku beruntung karena bagaimanapun juga penjelasan Alin membuatku teramat lega.

"Ngapain si Nino mau aja ngikut idemu?" Alin mengangkat bahu.

"Dipaksa." balasnya lalu menyeruput jus tomat yang dipesannya tadi.

"Oke, udah paham. Pergi dulu. Pamit." Sean berdiri, masih menatapku datar.

"Pulang?" tanyaku sedikit tak rela.

"Menjauh." balasnya lalu meneguk minumannya hingga tandas.

"Menjauh dari kita?" Sean menggeleng. Mataku memanas seketika. Aku takut kalau dia benar-benar marah sama aku. Aku menggigit bibir bawah, sekuat tenaga menahan air mata agar tidak turun.

"Menjauh dari tempat inilah. Mau pulang nggak? Apa pada mau pulang malem?" tanyanya. Senyum lebar tak bisa kusembunyikan. Aku menatap Alin yang tengah mengangguk kecil.

"Terus aku balik sama si alay?"

"Ya sama Alin, masa bonceng tiga." terang Sean. Nino hanya mampu bergumam dan menatap Alin tajam. "Ayo!" ajaknya dengan tatapan teduhnya juga bibirnya yang menyunggingkan senyum manis untukku.

Mungkin malam ini aku akan tidur dengan mimpi yang lebih dari indah. Mungkin. Terimakasih Tuhan, masalah kecil hari ini kelar hari ini juga. Good bye monster mematikan yang mengerikan dan kutakutkan!

°•°•°

Stay Healthy :)

See You

God Bless you

avataravatar
Next chapter