17 Kafe

Selamat membaca

°•°•°

Alin menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Dia hanya fokus menyetir sejak kami mulai keluar dari kawasan sekolah, seakan memberi waktu untukku menenangkan hati. Aku beruntung Alin, punya sahabat kayak kamu. Saudara kandungku sendiri aja kalah sama kamu. Makasih....

Mobil pun berhenti, tepat di parkiran taman yang terlihat sepi. Aku yang baru tersadar, menatap keluar dengan dahi mengernyit. Mungkin Alin tersadar akan kebingunganku. Tiba-tiba Alin menggenggam tangan kananku erat. Aku pun menatapnya yang ternyata melihatku dengan pandangan serius. "Aku tau, kamu lagi enggak baik-baik aja sekarang. Aku bisa tau karna aku kan perempuan dan inget... kamu sahabat aku De. Eh... Mungkin lebih dari itu. Buat aku, kamu itu udah kayak saudaraku sendiri." terang Alin kemudian yang membuatku menarik Alin untuk mengikat tubuhnya pakai kedua tanganku yang melingkari erat-erat badan mungilnya.

"Makasih..."

"Iya, sama-sama." bukannya mengurai, Alin malah memperdalam pelukan kami. Gadis berjepit itu juga mengelus punggungku seperti menyalurkan rasa sayangnya.

"Udah... Sesak." tuturku jujur yang membuatnya terkekeh, menjauhkan dirinya dari tubuhku kemudian.

"Maaf-maaf... Yuk keluar."

Aku pun mengangguk lalu tersenyum, dibalas dengan senyum lebar Alin.

Kami sama-sama keluar, tak lupa Alin mengunci kendaraan beroda empat itu. Setelah menapaki rumput taman, pilihan kami jatuh pada salah satu bangku yang terletak di bawah pohon rindang dan nampak segar. Bersamaan dengan kakiku yang mendarat di tujuan, aku pun mendudukkan diri. Dengan tatapan kosong aku menghadap depan yang entah kedua mataku ini terarah ke mana. Faktanya, pikiranku jauh menerawang. Masih terngiang jelas permintaan Sean yang menyakitkan, untukku...

Sampai suara Alin akhirnya terdengar. Nadanya seakan ikut larut dengan kesedihanku. "Sebenernya, kemarin pas mau pulang, aku liat Sean berdiri di depan ruang tesnya mapah cewek. Malemnya aku ada niatan buat ngasih tau itu ke kamu. Tapi aku takut kalo kamu nanti malah jadi kepikiran." Alin menghela napas panjang. "Nggak taunya dia malah terang-terangan ngomong kayak gitu." mengulurkan tangannya guna mengusap-usap lengan kananku. Aku terpaksa menunjukkan senyum, agar Alin percaya bahwa aku masih kuat. "Kalo kamu mau nangis, nangis aja. Jangan dipaksain."

Aku pun menghambur ke dalam pelukannya. Mencurahkan tangisku di sana. Tangannya menenangkanku, mengelus punggungku. "A-aku cuma butuh waktu a-aja buat mikirin kejadian ini."

"Udah, nggak ada yang dipikirin lagi. Kamu lepasin Sean." refleks aku menggeleng. "Kamu harus lakuin itu. Kalo nggak kamu bakal kayak gini terus. Aku nggak suka liat kamu kayak gini. Aku nggak tega."

Mengurai pelukannya, kini aku menatap Alin. Mengusap air mataku sejenak. "A-aku nggak bisa. Dia u-udah aku pilih Lin... A-ku tulus sayang sama dia. Sekalipun harus liat dia sama yang lain, aku rela. Tapi, aku nggak bisa ngilangin rasa itu. A-ku, aku enggak bisa...."

Alin menggenggam erat kedua tanganku seraya menarik napas dalam-dalam. "Oke kalo itu keputusan kamu. Aku ngedukung, karna aku sendiri juga salah di awal. Ngedukung perasaan kamu itu. Tapi kamu harus janji sama aku, jangan pernah nangis lagi gara-gara Sean. Buktiin kalo kamu kuat. Oke?"

Aku mengangguk. "Oke."

Alin memelukku lagi. "Kamu udah aku anggep kakak sejak hari pertama kamu masuk sekolah. Nggak papa kan?" tanyanya yang membuatku tersenyum.

Aku membelai rambutnya. "Pasti bolehlah...."

"Makasih..." pelukannya mengerat.

"Sama-sama." semakin memeluknya, yang tak kalah erat sama dekapan gadis polos berjepit ini.

°•°•°

Malam ini, Diya mengajakku untuk makan di salah satu Kafe terkenal di kota yang sudah beberapa bulan ini aku singgahi. Sebenarnya aku tak ingin, tapi karena paksaan dari Diya aku pun mengiyakan. Mobil sudah membelah jalanan sekitar sepuluh menit yang lalu. Jaraknya yang tak bisa dikatakan dekat, membuatku sibuk memainkan ponsel. Sesekali menatap luar jendela yang ada persis di sampingku dengan tubuh menyender kursi penumpang.

Setelah bermenit-menit menerjang padatnya kendaraan di jalanan, aku pun turun dengan perasaan sedikit enggan. Sebelumnya, aku mengoles lipgloss yang sengaja kubawa agar bibir terlihat lebih cerah dan tak lupa memakai jaket jeans untuk menutupi kaos polos warna hijau muda berlengan pendek yang sudah melekat sedari tadi.

Kulihat perempuan yang memakai rok jeans sedikit di atas lutut--- baju merah lengan pendek itu melambai ke arahku. Sampai kakiku mendekati meja, tersaji jus stroberi dan kentang goreng sepiring penuh. Jangan lupakan dua mangkok kecil yang kutahu itu adalah saus tomat dan saus cabai.

"Lama banget." aku hanya nyengir sembari menatap Diya. Setelah mengatakan itu, pekerja kafe datang menghampiri kami dan menyodorkan buku menunya padaku. Spontan aku tersenyum tipis dan menerima benda itu. Menulis apa yang ingin kupesan kemudian mengembalikan padanya dengan senyum dan ucapan terimakasih. Karyawati itu pamit undur diri yang sebelumnya membacakan pesananku, berniat mengeceknya lagi.

"Sebenernya buat apa sih makan di sini...? Nggak biasanya kamu ngajakin makan di kafe." suaraku memecah keheningan di antara diriku dengannya.

Meletakkan ponselnya lalu menyeruput minuman berwarna merah muda itu kemudian baru menatapku. "Cari suasana beda aja. Jarang banget kan kita makan berdua di kafe ini. Kalo aku sih sering." sombong banget... Enggak ada yang nanya Diya.

"Iya sih jarang. Kalo kamu sering ke sini terus kenapa?"

Diya memutar bola matanya. "Serah kamu lah De... Males debat. Bisa-bisa ngerusak suasana." bersamaan dengan ucapan saudara kandungku itu, jus mangga dan sup krim yang kupesan pun tiba.

"Iya, maaf..."

"Hem... Ya udah, makan." kata Diya lalu mencomot tiga kentang sekaligus dan dicocolnya benda berwarna kuning itu ke saus yang berbeda rasa.

"Selamat menikmati kak..." ujar sang pelayan ramah, sambil tersenyum.

Ikut menunjukkan senyuman. Lebih lebar dari senyum yang pertama kutebarkan tadi. "Makasih..." ia pun mengangguk lalu berbalik dan mengayunkan kaki untuk menjauh, kembali ke asalnya.

Kedua mataku melirik ke arah depan, membelakangi Diya. Kursi yang sedikit lebih tinggi dari tempatku duduk dan beberapa alat musik beserta mic juga penyangganya ada di sana. "Diya... Apa biasanya ada penyanyi di sini?" tanyaku menatap Diya yang tengah menggigit kentangnya, sementara tangan kanannya sibuk memeriksa ponsel.

Diya mengarahkan pandangannya ke arahku. "Hem... Biasanya kalo malem itu dari jam delapan sampe jam sepuluh."

Aku mengangguk paham dengan Diya kembali ke kesibukannya yang sempat terganggu olehku. Aku sudah tergiur untuk meminum jus mangga cerah nan segar yang seakan menggoda untuk dihabiskan. Sebelum makan, minum dulu. Kuminum juga larutan buah mangga itu, hem... seger, manisss....

Sekarang menyendok sup krim yang tak kalah menggoda nafsu makanku. Baru dua sendok aku memasukkan sup yang terasa nikmat di lidahku ini. Ketika suapan ketiga, tenggorokanku seakan sulit untuk menelannya.

Mataku kini fokus menatap tempat yang tadi kutanyakan ke Diya. Perihal pengisi kafe yang sebenarnya tak sunyi. Perempuan itu juga yang mengisi hati Sean saat ini.

Saat ini aku melihatnya tengah sibuk menyiapkan sesuatu di depan sana. Hingga suaranya meminta ijin untuk mengganggu kegiatan para pembeli, "malem semuanya, hari ini aku bawain lagu yang mungkin cocok untuk beberapa orang. Kalo yang belum cocok dicocok-cocokin aja ya hehe. Selamat menikmati..." selepas itu suara tepuk tangan yang riuh meramaikan ruangan ini.

Aku melanjutkan makan yang tertunda sambil menyaksikannya.

Satu lagu darinya mengalun merdu. Kuakui suaranya tak bisa dikatakan jelek. Pantes Sean suka... Cantik, pinter nyanyi, plus nyenengin...

"Makasih semuanya..." ia pun turun dan berjalan ke arah meja yang berjarak tak terlalu jauh dengan tempatku.

Di sana, aku melihat laki-laki yang kusebut namanya dalam hati tadi. Dia tengah menebarkan senyum lebarnya pada gadis itu. Keduanya saling menatap dan melemparkan senyum. Bahagia. Pemandanganku itu seperti pukulan keras mengenai dadaku karena sesak menyusup seketika. Perih...

Dalam diam aku menunggu Diya yang masih sibuk dengan dunianya sendiri. Merajut sendiri hingga terbentuk rajutan yang murni karya diri sendiri. Memberikan rasa bangga serta kagum bagi perajut itu sendiri ketika menuai hasil rajutannya. Begitu pun rasaku yang kurajut sendiri hanya untukmu, murni dari hatiku yang sudah terpikat padamu sejak pertama kalinya aku menatap kedua mata teduhmu. Malam ini, rasaku itu diuji.

Kini aku bertanya pada hati, aneh memang. Tapi ini yang kutanyakan, apa kamu masih mampu merajutnya? Dan dengan tegasnya, dan bagaimana caranya, aku mendengar balasan. Rasaku yang menjawabnya : pasti! aku mampu dan selalu merajutnya.

Giliran sisi hatiku, sekarang aku yang ingin bertanya padamu, Dea. Apa kamu masih mau menungguku yang berusaha merajutnya hingga hasil itu tercipta? Bibirku ikut andil, dia tersenyum. Lidahku menyahut menggunakan bisikan lembut, ya... aku mau. Namun, biar Tuhan yang mengatur alurnya.

°•°•°

Makasih para pembaca... masih dan selalu berusaha untuk nulis.

Jaga Kesehatan.

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter