7 Jatuh

Selamat membaca

°•°•°

Bibirku terbungkam seketika, maksudku setelah teriak akibat membaca kalimat yang ditulisnya tadi.

"Dapet kata-kata kayak gitu dari mana coba tuh orang? Nggak tau apa kalo dari tadi nahan diri biar nggak keliatan salting di depannya?" aku menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Melakukannya berulang-ulang hingga ponselku berbunyi, tanda pesan whatsapp masuk.

Sean

Masih lama? 20:35

Kubalas dengan ragu dan berpikir keras :

Dikit. Kalau mau plng, plng aja. Aku bisa naek ojol.

"Astaga!" aku membelalak ketika membaca cepat jawaban Sean.

Sean

Buruan, aku tunggu.

Gk baik anak cewek plng sndiri.

Bahaya. 20:36

"Mampus! Malah ditungguin lagi, nggak tau apa kalo ke toilet cuman alesan doang? Argh... Gimana nih..."

Mau tak mau aku menyudahi percakapanku dengannya dan buru-buru keluar. Tapi, kali ini saatnya aku berpikir lebih keras dari tadi agar bisa pulang sendiri tanpa Sean. Mau gimana lagi, kertas tadi berdampak besar untukku. Aku tak ingin bersikap aneh di depannya. "Ck. Sean-Sean!"

Aku harap cukup sampai tadi saja aku kesalahan, malu. Ya, aku berulah lagi di depannya. Aku membentak Sean tiba-tiba, mau bagaimana lagi? Itu benar-benar mengalir tanpa kuminta. Begitulah respon tubuhku jika tak kuat mengontrol jantung sendiri yang lari kencang ditempatnya.

Memang sih, dia mengatakan kalau itu hanya kata-kata biasa. Oke, aku tahu itu bukan spesial, tapi mampu membuat diriku menganggapnya seperti itu. Bahkan setelah turun dari mobil, Sean mengingatkannya lagi bahwa itu murni kata-kata biasa. Disaat itulah aku membentaknya. Aku yang tengah melayang tinggi kelangit ketuju satu kali, malah dihempaskan olehnya berkali-kali.

Dering ponselku terdengar lagi. Melirik sejenak. "Tck, dia lagi." Kini bukan pesan, namun panggilan. Tak mau dia menunggu lama, aku mengangangkatnya, meskipun ragu. Sebelumnya mengatur napas agar tidak gelagapan.

"Iya. Ini mau keluar." Ia menyuruhku untuk buru-buru menyelesaikan urusan di kamar mandi karena langit sudah bertambah gelap.

Kulirik jam yang tertera pada benda pipih yang kugenggam. "Alamat! Tck... Bisa dimarahin Diya ini kalau telat." Aku berlari kearah pintu, keluar dari toilet.

"Udah?" tanya Sean tiba-tiba. Ia sudah berjalan mengikutiku. Refleks, aku mengangguk cepat.

"Ngagetin aja!"

"Hehe maaf. Ayok buruan, udah malem." sembari menarik pergelangan tanganku.

"I-iya." buru-buru berdoa dalam hati agar sampai rumah si Diya tidak buka mulut untuk menyerangku lewat omelan. Meskipun aku tahu kalau nantinya aku tetap dimarahi, ya pastinya gara-gara sudah melanggar aturan lagi. "Sabar," gumamku pelan.

°•°•°

Rumah nampak sepi dari luar. Aku melirik ponselku, kemalangan pasti akan menghampiriku sehabis ini. Doaku sepertinya tidak terkabul. Begitu pintu dibuka, suara teriakan Diya memenuhi seluruh ruangan.

"BAGUS DEA!" aku menahan napas. "Telat aja terus..." menunduk sembari menghembuskannya perlahan. "Dianter sama siapa?!" aku menelan ludah karena suaranya penuh penekanan.

"Temen..." lirihku. "Maaf. Ini juga cuma telat dua menit Diya."

"Kapan aku nyuruh kamu ngelak?!" Diya menarik rambutku yang tergerai dengan kasar, membuatku merintih kesakitan saat itu juga. "KAPAN!" Aku menggeleng. Ia melempar kepalaku layaknya bola basket ke dalam ring, membuat tubuhku refleks terpental.

Lalu Diya menarik kembali rambutku namun sedikit lebih halus dari perlakuannya yang tadi. "Maaf..."

Diya mendekatkan bibirnya di telingaku. "Lain kali kamu ngulangin ini..." sengaja ia menjeda bisikannya. "PERGI AJA SEKALIAN!" aku diam dengan kepala menunduk. Tak sedikitpun aku berniat membalas. "Paham?" tanyanya dengan kesal. Aku mengangguk pelan. "JAWAB!"

"Iya, paham Diya." Diya mengangkat daguku agar aku bisa menatapnya.

"Sekarang masuk kamar. Tidur!"

"Iya." Belum jauh aku berjalan, Diya menanyaiku lagi.

"Btw, temen yang mana yang nganter kamu?"

"Sean." Diya bergumam pelan, saking pelannya aku sulit untuk mendengar. Selepas itu ia menjauh pergi.

Sampai di dalam kamar, aku meletakkan tas di kursi meja belajar dan melempar ponselku diatas kasur. Cepat-cepat aku mengganti pakaian yang tadi kukenakan dengan kaos biru polos yang sedikit kebesaran sama celana pendek setengah paha warna hitam di dalam kamar mandi. Begitu keluar, dengan langkah gontai aku mendekati ranjang. Melempar tubuh lelahku diatas benda empuk itu yang masih sedikit berantakan.

Aku menggeleng. "Sean-Sean." teringat perjuanganku memilih pakaian dibantu Alin agar terlihat baik di mata Sean, lebih tepatnya sih... Cantik. Percaya diri sedikit, hehe.

Belum ada lima menit aku rebahan. Aku putuskan untuk merapikan ranjangku. Aku mendesah, "ah iya..." aku lupa, handphoneku butuh energi.

Aku menengok kearah Budy. "Hai! Kamu tau? Hari ini cukup melelahkan buatku. Apa kamu juga ngerasain hm?" lalu meraihnya sembari terkekeh. Jangan berpikir bahwa aku sudah gila karena mengajak bicara benda mati seperti Budy!

Aku berjalan santai keluar, tepatnya balkon. Setelah kakiku sampai di pintu kaca yang tertutup gorden.

Begitu pintunya terbuka lebar ---dengan mata terpejam--- aku menghirup udara dalam-dalam. Merasakan kedamaian dari suhu dan hembusan angin lalu duduk di kursi gantung yang berbentuk layaknya mangkok bercat putih, terletak di samping kiri pintu balkon.

"Mama, aku kangen..." seraya menatap langit malam. "Sampek kapan masalahnya kelar?" Oke, aku tahu ini berlebihan. Namun, aku sungguh merindukannya. "Gimana kabarnya Ma? Apa keadaan disana baik-baik aja?"

Masalahnya, aku sulit sekali menghubungi Mama. Semenjak tinggal disini hal itu semakin menjadi. Entah bagaimana keadaan Papa. Aku tak terlalu memikirkannya. Sosok mamahlah yang selalu teringat. Seperti halnya denganku, Diya pun nampak biasa saja dengan papah. Mungkin juga itu karena kelakuan papah yang buruk pada kami akhir-akhir ini.

Aku berharap, kehadiran Sean mampu mengubah hidupku jadi sedikit lebih cerah. Namun, apakah itu mungkin? Tadi saja dia sudah membuatku merasa tak karuan. Mataku menatap buku hitam yang berada dalam genggamanku. "Ayok Budy! Dengarkan aku berkeluh kesah..." lalu membuka lembaran demi lembaran, mencari bagian yang kosong. Mulai lah jariku menari disana.

Budy... Apa memang ini cinta? Kalau iya apa nggak terlalu cepet? Aku jadi ragu... Memangnya cinta pada pandangan pertama itu beneran ada ya? Haha konyol! Tunggu, lebih konyol mana dengan responku tadi ke dia? Kamu mau tau? Aku tiba-tiba aja ngebentak dia! Hehe, jujur Budy... Itu refleks.

Tadi, dia ngasih aku secarik kertas yang isinya aneh gitu menurutku. Sebelumnya dia bilang kalau itu cuma kata-kata biasa. Tapi, pas mulai baca isinya aku jadi bingung, itu kayak teka-teki yang gampang banget buat dijawab. Kamu tau? Jawabannya ada di sisi belakang kertas itu, cuman ada di belakangnya!

Nah waktu aku baca, kata 'i love you' terukir disana.

Bayangin betapa senengnya aku? Pengen detik itu juga teriak-teriak nggak jelas, tapi aku sadar diri kalau aku masih waras. Alhasil aku diem aja, rasanya udah kayak mayat hidup hahaha, nggak ngapa-ngapain. Sampek akhirnya suara dia nyadarin aku, dan dia beberapa kali nyadarin aku kalau tulisan di kertas itu bukan serius. Malu, kesel lah, sakitlah, campur aduk jadi satulah perasaanku Budy... Itu, yang jadi alesanku bentak dia, terutama rasa malu yang aku tanggung. Bahkan nih ya, dia mengulang katanya tadi, 'cuma kata-kata biasa'. Apa aku perlu narik kata-kataku kemarin yang bilang kalau dia itu laki-laki berhati tampan? Kesel.

Nadea.

"Dasar! Argh... SEAN...!" teriakku frustasi. Memanyunkan bibir sembari menutup Budy, menyudahi aktivitasku barusan. "Tapi... Kalo aku ngusir dia dari pikiranku aja nggak bisa, terus gimana caranya berhenti suka sama dia? Dasar!" kembali aku menatap langit hitam yang luas di atas sana.

Kurasa hujan akan segera turun. Terasa hawa dinginnya semakin meningkat dengan hembusan angin yang bertambah kencang. Spontan, kedua netra hitamku memandang pergelangan tangan kiri yang tadi tidak sengaja disentuh oleh Sean ketika mengajakku pulang. "Emang nggak sengaja? Kayaknya sengaja deh. Hehe, pede dikit."

Anehnya, kelakuan Sean yang membuatku kesal itu bisa lenyap dengan mudah hanya karena tingkah sederhananya yang tiba-tiba menarik pergelanganku. "Bodo banget ya? Ngapain coba aku baper cuman gegara di tarik doang? Wajar nggak sih?" sembari berpikir, bibirku melengkung keatas. "Kayaknya udah jatuh di tanah hatinya dia deh." aku menggeleng. "Eh bukan-bukan. Jatuh ke wajah gantengnya." sembari menggeleng pelan dengan senyum kecil yang aku rasa terpatri diwajah cantikku.

Bersamaan dengan perkataanku barusan, kilat menyambar secara mendadak yang membuatku terkejut bukan main. Tanpa pikir panjang aku pun segera berlari untuk kembali masuk kamar, tak lupa juga mengunci pintu balkon. "Dasar petir!"

°•°•°

Gimana? Maaf ya kalau kurang puas... masih dan terus berusaha.

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter