16 Jam Kosong

Selamat Membaca

°•°•°

Menunggu senja dengan duduk anteng sendiri di atas tanah beralaskan rumput segar yang tumbuh lebat di bukit ini. Bukit yang kedua kali ini aku datangi. Yang di awalnya berdua, bersamanya. Memandang hamparan rumah---yang terlihat mungil layaknya kerikil--- dengan pikiran jauh menerawang, atau... Otakku yang masih tertinggal di parkiran sekolahan. Faktanya aku bergelut sama perasaan nyeri di dada yang menyerang tanpa aba-aba.

"Aku pikir jatuh cinta itu enak. Mungkin emang enak, kayak mereka-mereka yang terlihat bahagia di depan mata. Apa ada yang bernasib sama kayak aku? Yang diem, terus cuma bisa nyebut namanya dalam doa." tertawa hambar. "Cinta sendirian, ah aku tau... Apa akhirnya nanti jadi cinta yang cuma bertebuk sebelah tangan?" lagi-lagi aku tertawa, menertawai diriku sendiri yang terlihat menyedihkan. "Miris..." lirihku seraya menjatuhkan tubuh di atas rumput dengan jari yang saling bertautan, kuletakkan di atas perut. Sedangkan kakiku lurus menyilang. Sedikit mendongak, menatap luasnya langit cerah yang sebentar lagi akan meredup.

Semilir angin membelai wajahku. Seakan menenangkanku dari pikiran yang dapat meresahkan perasaan. Hingga suara merdu miliknya masuk ke indera pendengaran. Bak mimpi di siang bolong. Seketika itu juga jantungku seakan berhenti seperti tak berfungsi. "Tumben ke sini... Pakek tiduran segala, emangnya enggak takut kalo bajunya kotor?" yang kulakukan hanya diam, enggan menoleh ke arahnya. Entah dia naik apa, aku sendiri tak mendengar deru knalpot. "Kok diem? Lagi nggak mau diganggu ya?" tanya lagi. Merasa tak enak, aku pun mengangguk pelan. Nampak dari sudut mataku, ia duduk persis di samping kiriku. Terdengar jelas helaan napasnya sebelum dia berujar lagi --- rasanya detik ini juga aku ingin teleportasi--- begini katanya , "kalo ada masalah cerita aja, siapa tau aku bisa bantu. Jangan lupa, kita kan temen."

Iya... Ada masalah yang enggak bisa dibilang kecil. Masalahnya itu... Aku takut kalau kita selamanya cuma temenan, enggak ada kemajuan. Apa kamu bisa bantuin aku merubah status kita lebih dari temen? Aku yakin kamu bakal menjauh. Biarin aja perasaan ini mengalir apa adanya. Aku lebih bahagia kok menanggung rasa ini sendiri, daripada kamu yang milih pergi terus nyuruh aku berhenti untuk mengukir rasa ini.

Seandainya ucapanku itu bisa terlontarkan---bukan hanya dibatin--- apa dia tetap menemaniku di sini? "Nggak ada apa-apa temen... Temenmu ini cuman pengen nikmatin senja aja." balasku menekan kata 'temen' dan berakhir dengan senyum setelah sedikit lama sibuk dalam bungkam. Setidaknya Sean memberiku sedikit perhatian. Itu sudah lebih dari cukup.

"Gitu dong... Masa dari tadi diem mulu. Aku kirain kamu marah gara-gara nggak jadi pulang naik motor sama aku." tersenyum geli. "Aneh ya aku, bisa mikir sampek sana."

Bukan aneh, tapi pinter. Sayangnya, meleset dikit. Haha... Aku nggak marah kok, tapi takut. Takut aja kalo kamu ada rasa sama cewek tadi. Lagi-lagi hanya bisa membatin. "Emangnya tadi kamu nganterin siapa?" tanyaku to the point karena tak sabar mendengar pengakuannya---meskipun rasa gugup menyelinap masuk ke rongga dada--- tentang fakta yang sehabis ini keluar dari bibirnya.

Senyum cerah terbit di wajahnya yang tampan. Sampai-sampai sorot mata itu terpancar binar tanda bahagia. Memandang jauh ke depan seakan membayangkan objek yang baru saja kutanyakan. Kuatkan aku Tuhan... Bukan karena terkagum akan betapa tampannya makhluk ciptaan-Mu yang duduk di sampingku ini. Tapi tentang apa yang akan aku dengar setelah ini. Seketika lelaki berjaket cokelat itu menatapku dengan raut wajahnya yang terlihat biasa saja, atau mungkin berubah sedikit murung. "Cewek yang seruangan sama aku." tuturnya yang membuatku ingin menjawab : oh... Aku kira gebetanmu. Namun urung kulontarkan karena dia melanjutkan lagi, "doain ya biar aku bisa deket sama dia. Kayaknya aku udah suka sama cewek itu." Beruntung aku sedang tak berdiri. Jika iya, mungkin aku langsung terduduk lemas. Sekuat tenaga kutahan raut wajahku agar tetap normal dan air mata yang seakan ingin melesat karena sudah mulai memanas.

Refleks aku mengangguk mantap dan masih menatapnya. Lalu merubah posisiku menjadi berdiri secepat kilat. "Pasti aku doain yang terbaik... Em, aku pulang duluan ya... Mau makan, hehe. Laper..."

Sean mengangguk senang. "Wih beneran De, makasih-makasih... Oke deh kalo kamu emang udah kelaperan, haha. Maaf ya aku nggak bisa nganter, bentar lagi mau jenguk dia juga." aku tersenyum tipis. Berbalik dan mulai berjalan menjauh darinya. "Da... Ati-ati!" aku menoleh singkat, melemparkan senyum seraya melambaikan tangan.

Keliatan udah mulai berkurangnya perhatianmu Sean... Buktinya, kamu enggak nanyain aku ke sini sama pulang naik apa... Segitu cepetnya kamu berubah.

Kuusap cairan bening yang mulai menetes di pipi. Melebarkan langkah kaki. Tak tahan ingin cepat-cepat menenangkan diri diatas ranjang. Satu lagi, gagal total aku menikmati senja yang sedari tadi dinanti-nanti.

°•°•°

Rasanya aku malas pergi ke sekolah, bangun tidur saja aku enggan. Beda jauh dengan hari-hari kemarin yang selalu semangat. Bukan tanpa sebab aku jadi seperti ini. Apalagi kalau bukan karena perubahan Sean dan kejujurannya menyukai siswi yang kebetulan satu ruangan saat tes kenaikan kelas kemarin. Oke, mungkin aku terdengar egois karena mempermasalahkan ini. Jelas, ini akibat kelakuanku sendiri. Kalau saja aku tak mencintainya, mungkin rasa malasku tak akan muncul sekarang. Ya, semua ini adalah salahku.

Berjalan gontai menuruni tangga. Aku yakin kalau Diya sudah menungguku di ruang tamu. Sean, lelaki itu menyuruhku untuk berangkat sendiri hari ini. Alasannya karena ia masih sibuk mencari sesuatu untuk cewek yang ditaksirnya. Mengingat sang penarik hatinya itu jatuh sakit semalam. "Ayok...."

"Nggak sarapan dulu?" aku menggeleng pelan. "Kenapa?"

"Males."

"Yakin?" lalu berdiri, hendak mengayunkan kakinya ke dapur.

"Iya. Ayok, berangkat aja. Aku bisa makan di kantin."

"Mumpung aku mau nungguin nih...!"

"Nggak usah Diya... Buruan berangkat." ucapku yang tadinya berdiri berhadapan dengannya, sekarang berbalik, berjalan ke pintu.

"Beneran?" tanyanya yang sudah mengekoriku.

"Iya...."

Selepasnya keluar halaman, tak lupa untuk mengunci pagar. Masuk mobil, kami menempatkan diri ke tempat duduk masing-masing. Aku menghela napas berat. Dalam hati aku berdoa agar hari ini fisik dan hatiku bisa lebih kuat lagi. Karena perasaanku sudah gelisah sejak menerima pesan Sean beberapa menit lalu.

°•°•°

Aku sibuk memandangi Alin yang tengah membaca buku, yang aku yakini itu adalah novel. Buku kesukaannya sejak ia duduk di bangku SD. Gadis berjepit itu sesekali mengembangkan senyumnya.

Hingga suara Nino membuatnya sedikit tersentak. Bukan hanya Alin, aku pun sama. "Polos apa gila Lin...!" berlanjut sama tawa aneh milik anak tengil itu. Sementara orang yang ditertawakan sudah memasang muka menahan kesal. Cepat-cepat Alin melarutkan diri kembali ke dalam kegiatan ternyamannya yang tadi kuamati. "Sean mana De?" kini duduk di bangku sebelah kiriku.

"Nggak tau."

"Hah...? Berangkat sama Sean masa nggak tau?"

"Enggak."

"Kamu misah sama dia di parkiran?"

"Enggak."

"Terus? Tasnya aja nggak ada di kelas ya berarti dia belom ke sini lah."

"Emangnya aku bilang kalo dia udah ke sini?" Nino menggeleng menatapku, dahinya mengernyit. "Ya udah, berarti dia belom dateng."

"Lah... Terus...?"

"Iya. Berangkat tanpa Sean..."

"Oh... Emang Sean ke mana?"

"Kayaknya dia ada urusan."

"Terus kenapa mukamu jadi aneh gitu."

Menelan ludah. "Cuman pengen pulang aja. Males."

"Balik aja. Gampang kan..." aku cuma bergumam, malas menanggapi omongan Nino yang lama-lama membuat kepalaku jadi nyut-nyutan.

Suara bel sekolah yang nyaring nan panjang masuk ke indera pendengaran seluruh penghuni sekolah. Beberapa siswa terlihat santai berjalan di koridor kelas dengan tampang sumringah. Sampai sosok yang membuat moodku memburuk datang dengan binar riang, pastinya beda jauh dengan raut wajahku.

"Nah ini yang diomongin baru dateng. Tumben telat, abis ke mana? Pake senyum-senyum lagi. Jijik, gaje amat haha..." tutur Nino ditambah tawanya.

Kulihat Sean masih tersenyum. Ia memilih duduk di depan lelaki yang menertawainya itu. Aku masih memperhatikan keduanya, tanpa ekspresi. Datar. "Jadi gini..." sembari menatap serius aku, Alin dan Nino bergiliran. Ia berdeham sejenak. "Aku punya rencana, kalian bertiga tolong bantuin aku. Gampang dan nggak aneh-aneh... Jadi aku minta tolong kalian buat mendukung hubungan aku sama anak kelas sebelah. Biar aku bisa deket terus jadian."

"HAH?!" teriak Alin dengan kedua bola matanya seakan ingin keluar dari tempatnya. Sedang rasa sesak tiba-tiba menyergap di dadaku. Aku masih menatapnya, namun dengan pandangan kosong.

Menghela napas berat. "Kayaknya aku nggak enak badan. Alin, mau nggak nemenin aku ijin?"

Dengan cepat Alin mengangguk. "Aku anterin pulang sekalian. Kayaknya kamu butuh istirahat di rumah." aku pun cepat-cepat memakai jaket dan membawa tas ransel cokelatku.

"Kamu sakit De?" aku mengangguk pelan. Tangannya terulur, membelai rambut atasku. "Cepet sembuh ya... Maaf, aku nggak bisa nganter." lagi-lagi aku hanya mengangguk.

"Awas bawa mobilnya... Kecil-kecil bawa mobil, sok-sokan." peringat Nino dengan nada mengejek. Alin menarik tanganku tanpa membalas ucapan Nino.

°•°•°

Gimana? Makasih buat yang masih stay... terus berusaha untuk nulis

Jaga kesehatan

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter