18 Jam Kosong 2

Selamat membaca

°•°•°

Pagi baru, semangat baru. Senyumku pun baru. Bagaimana tidak, pagi-pagi benar Sean sudah berdiri di depan pintu rumahku. Sesuai dengan janji yang ditulis melalui pesan singkatnya--- lima belas menit--- sebelum dirinya datang.

Kami jalan berdampingan dengan posisinya yang berada di sebelah kananku, membuatku sedari tadi sibuk menghirup oksigen dalam-dalam. Tangannya tiba-tiba membelai lembut rambut bagian atasku yang menjuntai hingga ke pinggang. Awalnya aku sedikit tersentak, namun beberapa detik berlalu jantungku kembali berdetak normal. "Maaf ya, kemarin aku nggak nengokin kamu De..." terlihat wajahnya yang memang merasa bersalah.

Menjawab dengan susah payah. "Ekhm... Nggak papa kok. Aku cuma kecapekan aja. Yang penting kan aku udah masuk. Bener nggak?"

Sean mengangguk. "Iya, bener..." lelaki di sampingku ini seakan mendesah resah. "Jangan sakit lagi ya Nadea. Nanti, aku nggak ada temen berangkat sama pulangnya. Iya nggak?"

Aku tersenyum. "Bukannya kamu udah ada cewek ya... Yang kamu suka itu... Pasti sama dia dong."

Sean menggeleng. "Aku nggak bisa bawa motor kalo sama dia. Takut dia jadi sakit. Dia udah ngomong sama aku kalo sesekali aja pake motor." Sean-Sean, segitu perhatiannya ya kamu sama dia... Apa aku bakal tahan kalo tiap ngobrol sama kamu, kita enggak pernah lepas dari cewek pengisi hati kamu itu... Apa aku kuat nyembunyiin rasa perih ini lama-lama? Apa aku juga kuat nahan air mata ini yang maksa pengen keluar setiap detiknya? Aku harap aku bisa. Demi rasaku, demi kamu.

"Ya udah... Kalo misal kamu butuh temen berangkat apa pulang naik motor, aku siap nemenin kamu kok. Oke kan temen...?" sambil tersenyum tulus padanya.

Sean tertawa. "Oke! Makasih temen..." tangannya mengusap bahu kiriku. Aku mendongak menatapnya tersenyum lalu mengangguk mantap. "Makasih Nadea..." ucapnya pelan sambil mengacak-acak lembut puncak kepalaku dan senyum yang nampak tulus terbit di wajah tampannya yang serasi dengan mata teduh berbulu lentik itu.

"Malah berhenti di depan pintu. Buruan masuk...!" protes Nino yang entah datang sejak kapan, aku tidak melihat kehadirannya. Mungkin karena aku terlalu menikmati momen pagi ini.

"Pagi-pagi berisik. Diem...!" sahut Sean tak terima.

Nino pun sama, ia membalas perkataan Sean dengan tampang dibuat santai. "Serah." lalu mendahului kami untuk masuk ke kelas kami yang terlihat sepi, hanya ada satu makhluk. Kakinya masih napak di lantai, tak melayang, dan nampak manis. Gadis berjepit, bentuk pita--- warna merah--- senada dengan sepatu ketsnya saat ini dan tak lupa dia juga memegang buku sedikit tebal dengan kedua tangan yang menopang di atas meja. "Tumben nggak senyum-senyum sendiri. Udah minum obat?" dilanjut dengan tawa mengejek andalan siswa jahil nan tengil itu. Dengan muka menahan marah, Alin menatapnya. Pemandangan itu membuat tawa Nino semakin menjadi. "Kamu pikir aku takut heh...? Ya nggak lah..." lalu berjalan ke tempat paling pojok. "Sama satu lagi, jangan lupa minum obat tiap hari."

Alin yang terlihat semakin marah, bangkit dari duduknya. Dia menatap tajam Nino yang sekarang tengah santai bermain ponsel. Dari tempatnya berdiri Alin berujar, "dari kemarin ngebahas tentang obat. Aku diemin malah makin ngelunjak. Mau kamu apa sih No...? Perasaan ya... Dari dulu awal masuk sekolah itu, aku nggak pernah tuh cari gara-gara sama kamu. Sama sekali nggak pernah... Terus, maksud kamu kayak gini tuh apa...? Kamu pikir diledekin terus itu enak...? Mikir...!" ia tertawa sejenak. "Satu lagi aku ingetin, kamu juga udah jadi anak SMA, kalo kamu nggak lupa...! Jadi, kamu... BUKAN ANAK TK...!" penuh penekanan di kalimat terakhir. "Paham kan kalo anak SMA bersikap? Aku rasa kamu paham. Karna aku yakin kami anak pinter." selesai mengeluarkan apa yang ingin diutarakannya, Alin kembali duduk dan sibuk membaca. Sedang aku, Sean dan Nino saling menatap dalam diam. Lain halnya denganku dan Sean, kedua mata Nino kini membelalak dengan dahi yang mengernyit.

°•°•°

Sejak kejadian Alin pagi tadi, gadis itu hanya tenggelam dalam kegiatan membacanya. Di saat aku mulai sibuk mengajaknya bicara, hanya gumaman yang kuterima dari bibirnya itu. Sampai waktu istirahat sudah berakhir sepuluh menit yang lalu. Kini aku tengah ada di dalam kelas dan duduk bersebelahan dengannya. "Ngomong dong... Masa aku dikacangin... Katanya aku udah dianggep kakak..."

Berhasil...! Alin menatapku lalu melengkungkan bibirnya ke atas. "Hehe... Maaf." aku ikut menyunggingkan senyum dan menganggukkan kepala. "Oh iya, gimana? Udah baikan belum?" aku mengangguk mantap. Ceritain kejadian semalem nggak ya? Em... Nggak usah aja lah, yang paling penting aku udah lega sekarang... Maaf ya Lin, aku nggak cerita. Aku nggak mau kamu khawatir sama aku.

"Udah kok..." sambil tersenyum tipis. Terbesit nama Sean tiba-tiba. "Eh Lin... Sean sama Nino kemana ya... Kok pada belum balik?" gadis berjepit itu mengedarkan pandangannya ke seluruh kelas. Lalu mengedikkan bahu tanda tak tahu.

Tapi, buru-buru dia nampak berpikir. "Ah aku tau, mungkin mereka masih di kantin. Apalagi kita kan jam kosong. Bebas kan...?"

"O-iya, bener juga. Apalagi modelan kayak si Nino. Pasti sibuk makan sama nongkrong."

"Bener, bener banget. Tapi kalo Sean kayaknya enggak deh... Mungkin masih ada urusan De..."

Aku mengangguk. "Iya kalik."

"Apa kamu mau keluar juga? Kantin kek..." tawarnya yang membuatku menganga.

"Kamu ngajakin ke kantin? Nggak salah?" Alin refleks menggeleng. "Nggak takut dimarahin?" kini malah terkekeh.

"Kemarin aja aku berani nganter kamu lama, sekarang cuma ke kantin ya berani lah... Namanya juga bebas... Dasar, Nadea-Nadea..."

Menggaruk-garuk kepalaku yang sebenarnya tak gatal. "Iya ya... Hehe, kurang fokus." lalu menutup mulut karena menguap. "Eh, Nino...! Dari mana aja? Seannya mana? Kok nggak ikut ke kelas?"

Nino duduk di bangku depanku yang kebetulan kosong. Ya, kebanyakan siswa pada keluyuran di luar kelas. Entah pada pergi ke mana, pokoknya sesuka hati mereka masing-masing. Bebas. "Mana aku tau Dea... Orang aku aja ditinggal pas ngabisin makan..." kini menatap Alin yang tengah menunduk membaca buku yang kutahu itu hanya cara Alin agar kelihatan sibuk. Dasar, aneh-aneh aja kelakuanmu Lin... Sedikit rasa menyesal nampak di wajah Nino. "Lin... Maaf ya, aku kan cuma bercanda. Biasanya emang aku gitu kan... Kok tadi pake marah-marah... Lagi dapet hadiah ya...?"

Sontak Alin mendongak, mengarah tepat ke Nino. "Dapet hadiah...? Maksudnya? Aku nggak dapet apa-apa tuh pagi tadi." tawaku meledak tapi buru-buru kuhentikan karena mendapat pandangan bingung milik Alin.

"Polosnya kelewatan..." lirih laki-laki di depanku yang masih bisa di dengar telingaku. "Hadiah bulanan lah, apalagi...."

Alin nampak berpikir. "Oh... Uang bulanan? Ya dapet lah... Tiap bulan nggak pernah telat kok ngasihnya."

Nino menggeleng. "Kasih tau De... Capek ngomong sama tuh anak."

Dengan cepat aku mengeleng-gelengkan kepala. "Nggak! Kamu lah... Lagian ngapain ngebahas kayak begituan. Ngomongin yang lain aja mendingan...."

"Pada ngomongin apaan sih...? Bikin pusing aja tau nggak. Aneh..." protes gadis berjepit itu karena tak kunjung paham.

"Menstruasi." singkat Nino santai.

"Nino...!" peringatku yang bebarengan dengan teriakkan Alin, "mesum...!"

"Alay! Di pelajaran kan ada." ucapnya enteng yang membuat Alin terlihat kesal.

"Tapi ya nggak usah diperjelas juga! Emang dasar, mesum ya mesum...! Oh, aku tau... Berarti dari tadi pagi kamu mikir kalo aku marah itu gara-gara lagi haid...? Dasar!" lalu kembali menunduk, membaca.

"Lah, nggak diperjelas aja belum paham... Kamunya aja yang alay! Di pelajaran itu ada." sahutnya masih merespon perkataan gadis polos yang sekarang tengah kembali menatap Nino.

"Tapi kan sama aja... Ngapain sampek mikir ke sana-sana."

"Emang itu kan, ciri-cirinya. Emosian..."

Aku yang sudah kesal akibat mendengar perdebatan kedua remaja itu mulai membuka suara, menyela Alin. "Udah...! Berhenti! Jangan berisik... Pusing aku dengernya... Nino!" lelaki itu menatapku. "Tadi bilangnya mau minta maaf, eh malah debat... Terus gimana? Jadi minta maaf nggak?"

Nino membuang napas pelan. "Iya minta maaf..."

Sedang si polos manggut-manggut dan sedikit menyunggingkan senyum. "Aku maafin."

"Hei!" yang kuyakini itu adalah suara Sean. Refleks tersenyum lebar dengan mataku yang berusaha mencari di mana sumbernya. Tapi... Tak ada dua detik senyumku lenyap seketika akibat kedua mataku yang sudah terlanjur menangkap sosok cantik tengah berdiri persis di samping kiri lelaki itu.

°•°•°

Gimana? Masih semangat nulis nih... apa pada semangat membaca?

Jaga kesehatan ya!

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter