3 Awal Mulanya

Selamat membaca

°•°•°

PRAAANG...!

Terdengar suara pecahan piring dari arah belakang. Aku yang baru saja pulang sekolah berlari menuju dapur, karena menurutku disana lah sumber suaranya. Karena Nadiya masih punya urusan diluar, mengharuskan aku pulang lebih dulu dengan naik ojek online.

"Mama!" aku melihat Mama sedang berjongkok dengan beberapa pecahan piring ditangannya. Sedang Papa berdiri dengan santainya, beliau menatap kami tanpa ekspresi. Aku mendekat kearah Mama. "Kenapa lagi?" aku berbisik dengan tangan kiri yang kugunakan untuk mengusap pelan punggungnya.

Aku takut jika melihat Mama seperti ini, pasti satu masalah yang besar sudah terjadi. Aku bukan anak kecil lagi, aku sudah remaja, aku paham jika mereka sedang bertengkar. Hanya saja aku masih bertahan dengan sikap sopanku. Aku tahu, Mama sudah lama menyimpan sedihnya dalam diam.

Mama hanya menggeleng. Aku menatap kedua matanya yang masih berusaha menahan air itu agar tidak keluar. Aku tahu benar, pertengkaran di antara Mama dan Papa dimulai lagi.

Kini aku berdiri agar dapat menatap Papa yang masih menatap kami berdua. "Pa... Kenapa?" bukannya menjawab, Papa malah menyuruhku untuk pergi. "Masuk kamar!" aku menggeleng lemah menatap Mama. Aku masih berdiri, sedikit pun tak berniat untuk mematuhi perkataan Papa. Aku lelah melihat wanita yang melahirkanku menahan sedihnya sendiri. "NA-DE-A!" aku masih menatap Mama.

Kulihat wanita yang nampak sedih itu menatapku. Beliau mengangguk, bermaksud menyuruhku agar mau mematuhi perkataan Papa. Dengan berat hati aku pergi menjauh, menuruti keinginan Mama yang sebenarnya tak mau kulakukan. Aku tidak masuk kamar, aku lebih memilih ke ruang tamu karena aku berniat pergi keluar, entah kemana nanti, yang penting aku pergi menenangkan pikiran.

Aku tidak tahu kapan ini akan berakhir. Semenjak Papa sering keluar kota, pulangnya pasti akan marah-marah tidak jelas. Itu yang membuat kami bertiga ---Mama Diya, dan aku--- semakin heran.

"Kenapa De?" tanya Diya yang sudah duduk disampingku. Entah kapan datangnya aku tidak tahu, karena pikiranku serasa masih tertinggal didapur, dimana orang tuaku meluapkan emosinya tadi.

"Lagi." aku menutup wajahku dengan jaket biru yang tadi kupakai disekolah.

"Berantem?" aku mengangguk. "Sampek kapan mereka kelar? Udah tua bukannya tambah romantis malah nambah-nambahin dosa."

"Bisa nggak sih kamu kalo ngomong disaring dulu? Gitu-gitu mereka orang tua kamu." Diya menarik jaket yang menutupi wajahku.

"Hei... Emang bener kan? Apa pedulinya Papa? Dulu sama sekarang udah beda De! Sadar nggak kamu?"

"Iya tau, tapi Papa itu orang tua kita. Kamu kalo ngomong dijaga. Apa aku salah nasehatin kamu?"

"Nggak salah, tapi hakku juga kalau ngebantah omongan kamu. Paham?" aku yang tidak mau ini semakin panjang, hanya mengangguk membalas perkataannya.

"KALAU GITU SURUH MEREKA PERGI!" teriak Papa yang membuatku dan Diya refleks berlari menghampiri mereka.

"Siapa yang di suruh pergi?" Diya menatap Papa dengan tatapan tajamnya.

"KAMU! ANAK YANG SUSAH DIATUR!" aku hanya menatap Papa. Segampang itu Papa ngomong?

Kini giliran Mama yang berbicara. "Dia yang kamu bilang susah diatur itu anak kamu. Dia kayak gitu juga karna siapa? Sadar Pa..."

"Tugas kamu yang ngatur dia, bukan aku."

"Tapi dia bukan cuma anakku. ANAK KITA!" Papa diam. "Oke, kalau Papa minta anak-anak pergi demi kebaikan mereka, Mama setuju." sembari menatapku dan Diya dengan sedih.

"Ma..." ucapku dan Diya bersamaan. Aku menggeleng, heran dengan ucapan Mama.

"Sekarang beresin perlengkapan kalian. Besok pagi kalian pergi." setelah mengatakan itu Papa melenggang pergi, masuk kamar.

"Ma... Maksud Mama apa? Aku sama Diya harus pergi? Pergi kemana?" aku benar-benar tidak tahu apa yang ada dipikiran kedua orang tuaku terutama Mama.

"Ma, kalau memang Mama nggak suka sama kelakuan aku ngomong aja. Kalau Papa benci punya anak kayak aku kenapa nggak dari dulu Diya diusir sekalian? Kenapa baru sekarang? Diya kan udah susah diatur dari dulu."

"Diya, Dea. Mamah ngelakuin ini buat kalian. Tunggu masalah Mama sama Papa selesai. Mungkin memang ini yang terbaik. Mama sama Papa butuh waktu."

"Mama yakin nggak papa?" beliau mengangguk. Aku yakin kalau Mama terpaksa mengusirku dan Diya seperti ini. Jujur, menurutku ini konyol.

"Mama yakin Dea. Diya, Mama minta tolong sama kamu. Jagain Dea." Diya mengangguk asal.

"Oke... Terus, aku sama Diya harus kemana?"

"Keluar kota. Mama yang bakal urus semuanya. Sekolah baru sama rumah baru juga Mama yang urus. Yang paling penting sekarang, kalian beres-beres. Besok pagi, kalian harus siap berangkat." aku hanya bisa mengangguk pasrah. Sedang Diya, anak itu sudah pergi sebelum Mama selesai menerangkan.

°•°•°

Mobil yang kutumpangi dengan Diya berhenti tepat didepan pagar hitam yang tingginya mungkin sekitar tiga meter.

"Ini bener alamatnya?"

"Bener lah. Kalau nggak percaya telpon Mama, tanyain bener nggak yang ini rumahnya." aku mengangguk.

"Iya, percaya."

"Yaudah turun, malah ngeliatin aja."

"Iya." lalu membuka pintu, turun menuruti perintah Diya. Baru saja turun, aku kembali ke depan pintu mobil dengan tubuh membungkuk. "Kuncinya?" karena memang Diya yang membawa. Tak butuh waktu lama Diya mencari, segera ia berikan padaku.

Begitu pagar rumah kudorong lebar, selebar badan mobil, Diya pun masuk. Hanya sampai halaman karena memang tidak memiliki garasi.

Kuhirup udara disekitarku dalam-dalam kemudian mengembuskannya perlahan. "Huuh... Oke... Belajar mandiri Nadea."

Aku menurunkan koper dan rasel kami di ruang keluarga. Dengan cepat merebahkan diriku di sofa. "Pegelnya, hoam..."

"Masak apa mau beli?" tanya Diya disaat aku ingin memejamkan mata.

"Beli aja ya, aku capek." Diya mengangguk.

"Mandi sana, habis itu cari makan."

"Istirahat dulu sebentar."

"Setengah jam! Kalau ini masih sore terserah kamu ngapain dulu. Udah jam makan malem. Kamu pikir aku nggak capek? Nyetir juga capek!" aku hanya mengangguk. Malas meladeni perkataan Diya.

Bukan salahku juga kalau sampai disini langit sudah tidak terang, karena di perjalanan pun kita juga sering berhenti di beberapa tempat. Bukan hanya tempat peristirahatan, tapi tempat wisata. Membuat seluruh tubuhku pegal-pagal. Belum lagi Diya yang menyuruhku membawakan barang-barang yang sudah dibelinya. "Butuh tidur sekarang..." sebelum pergi tidur, aku memilih mandi karena tubuhku serasa di lumuri lem kertas, lengket semua.

Hanya butuh waktu sepuluh menit aku mandi. Aku memutuskan untuk memakai celana pendek selutut dengan kaos warna putih tanpa kerah.

Rasanya aku baru saja mengecek ponsel tadi, tapi aku merasakan tubuhku di goncang-goncang dengan kencang oleh seseorang. Aku yang setengah sadar, memaksakan kedua mataku untuk terbuka.

"Bangun! Merem aja... Mau cari makan jam berapa?"

"Aku tidur berapa jam?"

"HAMPIR DUA JAM!" lalu ia melenggang pergi dengan raut wajah yang sudah pasti kesal. "AKU TUNGGU DIMOBIL!" sambungnya.

Aku mengecek ponsel. "Pantes marah... Untung nggak ditarik nih rambut."

Buru-buru aku mencari jaket di dalem koper dan dompet yang ada di tas selempangku. Secepat kilat aku menyusul Diya yang pastinya akan meledak jika aku tak kunjung menyusulnya.

"Untung aku mau ngebangunin." belum sempat aku membalas, Diya sudah bersuara lagi, "nggak mau minta maaf atau ngomong apaan gitu?" tanyanya dengan tatapan ke arah ponsel yang sedang dia pegang.

"Makasih... Maaf deh, aku kecapekan."

"Oke. Sekarang cariin tempat makan. Googling!"

"Iya."

Sembari aku mencari, Diya menjalankan mobil dengan perlahan untuk keluar dari perumahan.

"Warung makan biasa aja gimana? Cuman sepuluh menitan kalau dari sini. Mau?" Diya mengangguk. Kuperhatikan sesekali, dia tengah mengetik sesuatu di benda pipih itu. Takut kalau ujung-ujungnya bertengkar, aku pun hanya diam melihat kegiatannya yang sebenarnya berbahaya jika di teruskan. Mengingat Diya membawa mobil dengan dua nyawa di dalamnya.

Tak lama, kami pun berhenti diwarung makan yang menyediakan aneka 'bakaran dan gorengan'. Aku memilih ayam bakar dengan sambal tomat yang menurutku terasa sedikit pedas. Sedang Diya memilih ikan bakar yang sambalnya hanya sambal kecap.

"Tiga hari lagi kita masuk sekolah yang baru. Kata Mama kelas kita beda." terang Diya di sela-sela makannya.

"Tiga hari lagi?" Diya mengangguk. Aku tersenyum cerah. "Bagus dong... Nggak sabar jadi pengen cepet-cepet masuk sekolah..."

Diya tersenyum miring menanggapi ucapanku. "Nggak sabar juga dapet kenalan baru."

Aku yang mendengar ucapan pelannya itu menggeleng. "Kamu udah punya pacar Diya. Inget..." Diya malah tertawa. "Jadiin kedua lah."

Lagi-lagi aku menggeleng, terbuat dari apa perasaannya itu. Heran, bisa semudah itu Diya mengatakannya. "Jangan kelewatan Diya... Cowok juga punya perasaan. Apalagi kamu, kamu kan cewek. Seharusnya kamu lebih tau lah kayak gimana...."

Lagi-lagi Diya tersenyum miring. "Kalau nggak tau apa-apa diem aja. Nggak usah lah sok nasehatin. Urusin diri kamu dulu, jangan kebanyakan ngomong buat orang lain. Dah... Buruan di makan tuh, biar cepet pulang." aku pun melanjutkan makan yang kurasa akan cepat habisnya, karena memang lapar sudah melanda.

Niatku baik untuknya, kalau tidak diterima ya bukan jadi masalah untukku. Yang terpenting dari hal itu, aku sudah memperingatinya sebelum ia bertindak lebih jauh lagi. Tapi semua ada ditangannya, kembali lagi ke orangnya. Aku cuma bisa kasih masukan aja. Hati-hati Diya.

°•°•°

Gimana? Paham kan kenapa mereka bisa dirumah baru sama di sekolah baru?

Makasih yang masih baca.

See You

Gbu

avataravatar
Next chapter