3 SUNYI

Suasana kelas begitu ricuh seperti ada di dalam pasar. Siswa kelas X PARIWISATA tengah sibuk menyontek tugas milik siswa lain yang telah selesai di kerjakan.

Namun, Meyess lebih memilih untuk tidur di bangkunya yang paling belakang. Sedangkan Shapa yang duduk di sebelahnya sibuk mengerjakan tugas miliknya sendiri, dan milik Meyess dengan sepenuh hati meskipun tidak di minta ataupun di suruh.

Gadis itu terlihat serius mengerjakan tugasnya, sesekali keningnya bertaut dengan  pena yang sedang menari-nari di atas kertas putih.

"Yey!! Akhirnya selsai juga!" Shapa menoleh ke samping, di mana Meyess tengah tertidur pulas, "Woy! Kebo bangun!" lanjutnya berteriak tepat di kuping gadis pucat itu.

Meyess tak bergerak sedikit pun. Hal itu membuat kening Shapa bertaut dalam, temannya ini tidur terlalu pulas atau bagaimana?

Shapa mencoba menggoyang-goyangkan punggung Meyess dengan kencang, sampai akhirnya gadis pucat itu menggerakkan tubuhnya sedikit. Kedua netranya terbuka secara perlahan, menatap teman sebangkunya dengan tatapan datar tanpa ada kalimat yang keluar sedikit pun.

"Alhamdulillah ternyata masih idup," ucap Shapa seraya mengelus dada.

"Loh, emang kenapa?" sahut Meyess dengan suara seraknya. Gadis itu mulai bangun, membenahi pakaiannya yang lusuh, dan kembali duduk di tempatnya.

"Gue tadi teriak lo gak denger?"

"Engga, gue ngantuk banget semalem gak tidur, sekarang mulai laper. Ke kantin yuk, udah istirahat kan?"

"Udah."

"Yok! Kantin sekarang!" ajak Meyess sebelum kembali beranjak dari duduknya.

"Kuy!"

***

"Meyesss!" teriak Gadis sambil berlari menghampiri dua gadis yang berjalan santai di depan sana.

Meyess yang mendengar namanya di panggil langsung menoleh ke belakang, di mana suara itu berasal. Ia mengernyit, menyipitkan matanya karena sinar matahari yang menyilaukan mata.

"Lo mau ke mana?" tanya Gadis seraya mengatur napasnya.

"Shapa, sini!" Meyess menoleh ke belakang sambil berteriak pada temannya yang terus berjalan meninggalkannya.

Shapa menoleh dengan raut muka yang terkejut, kemudian ia segera berjalan mundur secara perlahan. Memutar badannya, dan berkata, "Hai! Gadis!"

"Hai! Shafa," sahut Gadis dengan senyum manisnya.

"Eh! Iya, sorry ya Dis tadi gue malah panggil Shapa dulu. Kenapa panggil gue pake buru-buru tadi?" tanya Meyess yang kali ini menatap Gadis tanpa senyuman.

"Jadi gini, kemarin kan ada pengumuman buat olimpiade biologi, gue ikut sama tim gue. Tapi masalahnya salah satu tim gue ini keluar, sekarang kurang satu, jadi gue mau ajak lo buat gabung," jelas Gadis, "Gimana?"

"Hm... gimana ya? Kita kan anak prodi pariwisata, terus gak ada sangkut pautnya sama biologi, gue gak minat."

"Um! Kalau misalnya lo berubah pikiran dalam waktu dekat ini hubungin gue ya! Sekarang gue ada meeting sama tim, jadi gue duluan, bye Mey, Shafa!" ucap Gadis sebelum melenggang pergi dengan berlari menyusuri koridor.

"Gue kalau di tawarin sih juga gak mau, cuman anak ambis yang mau belajar," ucap Shapa.

"Sama, gue males. Kalau bahasa Inggris mah gue masih mau."

"Yaudahlah, jadi ke kantin gak nih?"

"Engga, rooftop aja yuk!"

****

Meyes terus saja menghembuskan napasnya secara perlahan. Perhatiannya masih fokus pada pemandangan kota dari atas. Shapa terus memperhatikan sahabatnya itu dengan kening bertaut dalam.

Berkali-kali memandangi wajah cantik itu dengan banyak mimik wajah yang selalu berubah tak pernah membuatnya bosan. Bersama dengan Meyes dalam keadaan senang ataupun sedih itu terasa sangat menyenangkan. Semuanya datang begitu saja secara bergantian, tapi lebih banyak tawa yang datang mengunjungi mereka berdua.

Shapa mengambil napas kecil, perhatiannya beralih pada pemandangan yang ada di depannya, dan berkata, "Udah jam pulang, lo gak mau pulang Mey?"

"Masih belum."

"Kenapa?" Shapa kembali menoleh.

"Gue lagi males pulang, lebih enak di sini sama lo."

"Sepi lagi ya?"

Meyes menoleh, memberikan anggukan dengan senyum tipis, "Gue rasa semua orang punya kesibukan kecuali gue. Aktivitas gue cuman sekolah, terus pulang di rumah buat makan sama tidur doang. Gak ada yang asik, lo tau gak sih yang bikin beban pikiran gue apa?"

Shapa menggeleng sebagai jawabannya.

"Hantu."

****

"Kok gue belom bisa lihat sih?"

Gadis itu mendengus kesal, menendang kaleng soda yang tergeletak di depannya dengan kasar. Helaannya kembali keluar, pelipis yang penuh dengan keringat itu dia bersihkan dengan punggung tangan. Memperhatikan matahari dengan mata yang memicing.

Sebentar lagi senja akan datang, tapi sampai saat ini dia masih belum sampai di rumahnya. Sudah jauh dari pergi dari sekolahnya menuju rumah, mungkin sudah dua puluh menit waktu berharga yang dia buang. Namun, sampai saat ini Meyes masih berdiri di depan toko buah yang berada di persimpangan.

Suasana hatinya sedang tidak baik, Meyes juga tidak tahu apa sebabnya. Namun, karena suasana hatinya yang sekarang ini membuatnya pulang dengan jalan kaki.

Gadis itu kembali melanjutkan jalannya, otaknya penuh dengan pertanyaan soal hantu yang harus dia lihat. Soal mata ketiga yang seharusnya dia miliki, tapi tak kunjung datang.

Semua usahanya tidak membuahkan hasil, atau mungkin karena orang yang dia pilih tudak pernah tepat, dan cara yang dia pilih pun tidak tepat. Namun, bisa saja karena Tuhan tidak mengijinkan, Meyes tahu ini akan sulit, tapi dia tidak mau menyerah karena masih terlalu dini.

Langkahnya terhenti di depan pagar hitam besar. Pintu pagarnya di kunci dengan gembok besar berwarna hitam, dia tidak di jemput, tidak ada yang meneleponnya, dan tidak ada pula yang peduli dengan dia. Rumahnya terkunci, dan sekarang apa yang harus Meyes lakukan selain menunggu?

Gadis itu kembali mendengus kesal, menendang batu kerikil yang ada di dekatnya dengan pelan, dan kemudian mengambil posisi. Menaiki pagar yang tidak terlalu tinggi itu lumayan susah untuknya meskipun memiliki kaki jenjang yang sangat tinggi. Ini susah karena rok sekolahnya yang pendek, Meyes benci bagian ini.

Tak lama alas sepatunya telah menginjak tanah. Dia segera berjalan memasuki area rumahnya, membuka pintu dengan kasar, dan menaiki anak tangga. Berlari menuju kamarnya yang berada di ujung, Meyes membuang asal sepatu beserta kaos kakinya. Ranselnya dia letakkan di atas meja belajar dengan dasi sekolahnya.

Dia kembali menghela, merebahkan tubuhnya di atas ranjang empuk berwarna hitam itu dengan helaan napas lega. Perhatiannya beralih pada jam dinding, ini masih pukul lima lebih tiga puluh.

Tak mau membuang waktu lebih lama lagi, Meyes segera beranjak, dan berlari untuk mandi. Selesai membersihkan tubuhnya, dan memakai baju tidur berwarna merah dia kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Meyess meraba-raba nakas di sebelahnya, meraih benda pipih yang tergeletak di atasnya.

Baterainya tersisa lima persen, tidak akan bisa bertahan dalam waktu lama. Pasti hanya beberapa menit, dan setelah itu mati. Meyes memilih untuk memberikan energi ponselnya, kemudian beranjak, dan berlari keluar.

"Kenapa Tuhan ngasih gue keluarga yang sibuk kaya gini? Gue minta kasih sayang padahal, bukan uang atau rumah mewah kaya gini. Tiap hari sendirian, tiap hari ngerasa kesepian, bokap sama nyokap juga gak mau ngasih art cuman buat nemenin gue. Bilangnya mereka bisa, tapi nyatanya kerjaan yang lebih penting," ucapnya dengan nada kesal ketika menuruni anak tangga.

avataravatar
Next chapter