9 Perjanjian (2)

Tiap detakanmu terdengar begitu bermakna

Detak yang mengisahkan tentang

Sang rindu yang harus terpasung dalam lingkaran waktu

Dan airmata berkata…

Aku beruntung bertemu denganmu…

Para aksara yang hanya bisa tertulis dalam kalbu

***

"Ruby, cepet makannya." Hardik Winner. Aku yang merasa segan pada Pak Ivan memutuskan lebih memilih untuk diam dan segera menghabiskan makanan ku.

Winner tidak banyak bicara. Ia lebih banyak menghindari ku entah untuk alasan apa. Winner seolah menyembunyikan sesuatu dan entah apa itu. Orang itu memang selalu aneh tapi kali ini Winner menjadi semakin aneh dan membuatku penasaran.

Sarapan kali ini gratis dari Pak Ivan. Mungkin karena Pak Ivan mengira ada hubungan di antara aku dan Winner sehingga Pak Ivan mentraktir kami sarapan pagi ini.

Setelah makan, Winner segera membawa ku menuju rumah sakit. Aku sudah tahu dan berusaha mempersiapkan diri bila kedua orang tua Aldo akan mengusir ku namun kali ini, aku tidak peduli karena aku hanya ingin memuaskan kerinduan ku pada Aldo.

Apakah rasa yang ku miliki untuk Aldo adalah sebuah kesalahan? Kami hanya berbeda latar belakang. Dan mungkin bagi kedua orang tua Aldo ini menjadi masalah besar karena mereka ingin Aldo dekat dengan perempuan yang memiliki latar belakang yang baik bukan seperti diri ku ini. Meski begitu, apakah aku salah jika aku mencintainya? Melihatnya berlalu malam itu, membuat hati ku terasa sakit. Memikirkan tentang Aldo membuat ku merasa bersalah.

"Kamu gak bawa sesuatu ke rumah sakit?" Tanya Winner memecahkan keheningan yang ada di antara kami.

"Aku-" aku malu mengakui jika aku tidak punya uang untuk membeli buah karena harga buah yang dijual di kios buah dekat rumah sakit pasti mahal.

"Aku mau beli buah dulu kalau gitu."

Winner berhenti di sebuah kios buah yang tidak jauh dari rumah sakit. Ia meminta agar buah yang sudah dipilih ditata parcel. Aku tidak heran ketika Winner harus membayar mahal untuk sebuah parsel buah yang akan diberikan pada Aldo.

"Tolong dibawa ke mobil." Winner memandang ku. "Anggap aja ini ongkos transportasi ngantarin kamu seharian ini. Nanti jangan lupa bawa parselnya pas di rumah sakit."

Aku tidak protes karena aku sadar diri. Hari ini aku memang merepotkan Winner. Aku membawa parsel buah yang besar itu seorang diri. Parsel yang ku bawa menutupi wajah ku hingga sulit untuk melihat jalan. Aku hanya melihat sepatu Winner supaya aku tahu aku harus berjalan kemana. Winner bertanya ke bagian informasi untuk mengetahui kamar tempat Aldo dirawat. Setelah itu kami menaiki lift. Entah ke lantai berapa. Aku tetap mengikuti Aldo hingga ke sebuah ruang rawat paviliun.

Rasa gugup kini telah menggantikan rasa lelah setelah membawa parsel buah. Winner mengetuk pintu hingga pintu itu terbuka. Pasti mamanya Aldo yang membuka pintu untuk kami.

"Pagi tante, saya mau besuk Aldo. Sekalian bawa pesan dari teman-teman kelas."

Sejak kapan teman kelas menitip pesan? Aku menatap Winner yang berdiri di samping ku. Winner tampak bersinar dan terlihat sangat tenang. "Maaf Tante teman-teman lain belum bisa datang. Mungkin beberapa ada yang mau nyusul. Oh iya Tante, ini ada sedikit buat Aldo dari kami."

Mama Aldo mengambil parsel itu dari kedua tangan ku. Senyumannya yang mengembang saat berhadapan dengan Winner raib sudah saat melihat wajah ku yang tersingkap di balik parsel besar yang ku bawa.

"Maaf tante, Apa kami boleh lihat Aldo?" Tanya Winner sopan.

"Winner boleh masuk. Ruby, Tante mau ngomong sama kamu dulu." Mama Aldo memandang Winner dengan senyum manis. "Winner, tante minta tolong bawa ke dalam parselnya."

Mama Aldo menyerahkan parsel itu pada Winner setelah itu berbalik memandang ku dengan garang. Winner masuk ke dalam meninggalkan ku dengan mama Aldo.

"Ruby, kamu gak perlu lihat Aldo. Semuanya gara-gara kamu. Seharusnya kamu tahu siapa kamu. Siapa Aldo. Kamu gak pantas buat Aldo. Ruby, jujur saja. Tante gak mau kamu muncul di depan Aldo lagi." Mama Aldo terlihat lebih tenang namun kata-katanya tetap pedas seperti biasanya.

"Tante, Ruby mohon." Pinta ku. Airmata ku kini menetes juga.

"Kamu boleh ketemu Aldo tapi dengan satu syarat." Papa Aldo tiba-tiba datang menghampiri kami.

"Papa-" Mama Aldo terlihat protes. Untuk beberapa saat mereka Menjauhi ku untuk berbicara sebelum akhirnya kembali menemui ku yang masih berdiri di tempat yang sama.

"Kamu boleh ketemu Aldo sekarang tapi setelah itu kamu harus berjanji kalau tidak akan pernah lagi menemui Aldo. Ruby, malam ini Aldo harus berobat ke luar negeri. Om harap kamu mengerti mengapa kami keberatan kalau kamu dekat dengan Aldo. Kamu harus janji tidak akan berusaha menemui Aldo lagi. Kalau perlu, Om akan usahakan supaya kamu dan mama kamu bisa dapat tempat tinggal yang jauh lebih baik."

Hati ku sakit mendengar ucapan orang tua Aldo yang merendahkan kami. Aku mengerti mengapa mereka tidak menyukai kami. Tapi aku sungguh tidak bisa menerima orang tuanya menginjak ketulusan perasaan ku pada Aldo dengan menawarkan tempat tinggal yang layak untuk ku dan mama. Aku menarik nafas panjang berusaha untuk menenangkan diri di saat kepala dan hati ini terasa sangat panas kemudian aku memandang ke arah mereka dengan berani.

"Ruby janji kalau Ruby tidak akan menemui Aldo lagi kalau itu yang Om Tante mau. Sekarang Ruby mau masuk dulu."

Ku langkahkan kaki ku dengan berani untuk masuk ke kamar Aldo. Air mata ini meluncur begitu saja saat melihat Aldo yang terbaring di ranjang dengan banyak luka dan perban di kepalanya. Aldo tidak membuka matanya. Banyak selang dan monitor yang mengelilinginya. Hati ku benar-benar hancur saat ini. Aku juga melihat Winner yang memberi jalan agar aku bisa mendekat pada Aldo. Ku genggam tangan Aldo yang lemah.

"Aldo, maafkan Ruby. Ruby hanya mohon Aldo bangun." Akhirnya aku menangis keras karena sudah tak tahan lagi. "Kamu harus tahu kalau Ruby sayang banget sama kamu."

Aku mengecup dahinya yang dibalut perban. Aldo tidak bergerak. Hati ku sakit seperti tertusuk pedang tajam. Aku menyentuh pipinya untuk pertama kali dan mungkin untuk terakhir kalinya. Setelah ini aku tidak akan berusaha untuk menemuinya dan kisah ku dengan Aldo Prasetya akan berakhir.

"Aldo berjanjilah untuk sembuh."

Aku berharap jika takdir akan mempertemukan aku kembali dengannya atau mungkin berhenti berharap adalah pilihan yang terbaik. Tembok itu terlalu tinggi untuk ku sebrangi. Aku menghapus airmata ku dan berusaha untuk berhenti menangis namun aku tidak mampu.

"Winner, aku-", aku tak sanggup untuk melanjutkan perkataan ku.

"Ayo kita pulang." Winner mendekati ku. Menghapus airmata yang membuat wajah ku lembab. Winner menatap ku lekat. "Jangan sampai orang tua Aldo melihat kamu lemah." Bisiknya lembut. Aku tak pernah mengira jika seorang Winner dapat menghantarkan perasaan hangat di hati ku. "Hapus airmata kamu. Sekarang kita pulang." Kata Winner.

Aku agak sedikit terkejut saat Winner menggenggam tanganku. Ini terasa agak sedikit aneh karena belum pernah ada yang memperlakukan aku seperti ini sebelumnya. Winner berpamitan singkat dan menuntun ku keluar dari ruang perawatan dan tak melepaskan tanganku hingga kami benar-benar keluar dari rumah sakit dan masuk ke mobil Winner.

Selamat tinggal Aldo. Apakah aku egois jika masih mengharapkan Aldo menemukan aku suatu saat nanti? Namun satu hal yang pastti keluar dari kehidupan Aldo Prasetya adalah hal bijaksana yang dapat aku lakukan saat ini.

avataravatar
Next chapter